15 Maret 2014

Membangun Nama

Dalam satu pekan, dua orang tetangga saya meninggal dunia susul menyusul. Belum genap tujuh hari, dua orang desa tetangga pun wafat bergiliran. Maut memang tak pandang usia. Tua atau muda kalau sudah sampai pada janjinya akan pulang ke rahmatullah kapan pun saja.

Lumrahnya, tahlilan di desa dilaksanakan usai shalat isya’. Berhubung yang wafat bukan hanya satu atau dua orang, maka ada pula tahlilan yang digelar bakda shalat asar. Tentu kondisi macam ini akan sangat menyibukkan kaum lelaki. Tetapi yang terpenting dan menarik bukanlah bahasan tentang kesibukan mereka, melainkan pernyataan suami saya tentang bagaimana orang-orang yang wafat “membangun nama” semasa hidupnya.

Istilah membangun nama yang baru saya dengar itu hanyalah karangannya semata saat saya mulai belajar silsilah keluarganya dari bani Jalalain.

“Eng, kalau Si Anu itu termasuk kemenakan sepupu dari Ayah kenapa ia tidak pernah ke rumah?”

Pertanyaan saya yang hanya satu potong itu ia jawab dengan beberapa bahasan. Dan begitulah saat saya bertanya apa saja, tentang bola, elektronik, otomotif, sampai kancing dan resleting pun cakupan bahasannya akan sangat luas. Saya menyukainya dan ingin selalu bertanya meski saya akan dianggapnya sangat cerewet.

“Karena Abanya Si Anu sudah wafat.”
Apa hubungannya, batin saya. Tetapi tanpa pertanyaan itu diungkapkan, ia melanjutkan jawabannya. Pada akhirnya saya mengerti bahwa ada atau tidak adanya sesepuh sangat berpengaruh bagi ikatan tali kefamilian keturunannya. Mungkin karena anak cucu yang sungkan bahkan malas ke rumah sesepuh untuk menyambung tali kekeluargaan atau sesepuh yang tak mau menyambangi anak cucu dan mengajari mereka silsilah keluarga. Pada kata sungkan, malas, dan tak mau inilah puncak awal perpecahan keluarga.

Suami saya juga menjelaskan bahwa sejatinya semua orang yang telah dewasa tengah mengumpulkan citra. Citra baik atau buruk itu akan tampak tanpa dipamerkan. Jika seseorang menabung banyak citra kebaikan, baik bagi diri sendiri maupun orang disekitarnya, maka tak perlu meminta untuk dihormat sebab keharuman dirinya akan semerbak tercium oleh dunia yang menjadikannya penuh wibawa. Pada titik itulah nama seseorang terbangun dengan sangat kokoh.

Selanjutnya saya tak hanya mengerti tapi memahami secara dalam tentang pribahasa “harimau mati meninggalkan belang, sedangkan gajah mati meninggalkan gading”. Tanpa diperintah, orang-orang akan membedakan siapa yang mempunyai citra baik dan buruk.

Saya lalu membandingkan empat orang yang meninggal dunia di sekitar saya itu. Ternyata benar, orang-orang masih berpikir dua kali untuk tahlilan ke rumah almarhum Fulan atau Fulanah. Bahkan beberapa bulan yang lalu, saya ingat, di desa saya ada seorang kakek yang meninggal dunia. Setiap malam yang bertahlil dan mendoakannya tak lebih dari sepuluh orang. Sementara itu ada pula almarhum yang dihadiri jama’ah tahlil lebih dari lima ratus orang tiap malamnya.

Ini adalah suatu perbandingan nyata betapa kebaikan akan mengharumkan nama kita bahkan setelah kita tiada. Dan tanpa kita sadari, detik ini kita tengah membangun nama.

Tambuko, 22 Oktober 2013

1 komentar:

M. Faizi mengatakan...

Ooo.. iya, iya, iya..