Suatu sore yang santai di bulan Juni 2015, saya mengajak suami ke rumah sahabat di Batuampar, Guluk-Guluk, Sumenep. Jarak dari rumah kami hanya berbatas 4 desa ke arah barat. Bermain ke rumah teman menjadi pilihan kami sebagai salah satu kegiatan positif untuk sharing dan atau mencurahkan isi hati.
Sahabat bagi saya bagaikan keluarga. Mereka adalah rumah di
mana kita bisa berbagi suka dan duka. Biasanya sahabat akan semakin akrab jika
memiliki kesamaan atau keberagaman yang dapat dipadukan. Kami memiliki
keinginan yang sama; ingin segera dikaruniai momongan.
Berbagai masalah saling kami keluhkan mulai dari dia yang
menstruasinya tidak teratur sementara saya sebaliknya, kesehariannya yang diisi
dengan berlama-lama di kamar mandi dan mengetes kehamilan, sampai hal yang
paling sensitif pun tak segan saling kami bagikan. Sering kami telfonan, atau
sekedar BBM-an.
Kami menempuh usaha masing-masing. Dia mengkonsumsi asam
folat dari susu program kehamilan, sedangkan saya berkutat dengan tablet
provertil dan vitamin E. Kami saling berbagi tips dan bacaan. Intinya kami
selalu kompak dalam segala hal, terlebih soal kehamilan.
Pernah saya berkhayal dia hamil duluan. Itu akan sangat
menyakitkan bagi saya yang menikah satu tahun lebih dulu darinya. Tapi apa
boleh buat, anak bukan dibikin dari adonan melainkan anugerah Tuhan. Tapi
tidak, kami masih melalui hari-hari dengan penantian yang sama.
Sebenarnya, di kampus dia adalah kakak kelas saya. Tetapi
kami mulai membangun keakraban saat sama-sama berkecimpung di organisasi kampus
Lembaga Pers Mahasiswa. Keakraban semakin erat saat suami kami adalah sepasang
sahabat yang soulmate. Sampai akhirnya saya menggapnya bagian dari keluarga.
Kadang-kadang saya merasa lebih dewasa darinya yang kalau
berbicara lebih mirip anak-anak dengan nada yang ditarik-tarik. Dia cantik
dengan tubuh pendek. Kecantikannya saya perhatikan adalah garis turunan dari
paras ayu sang ibu. Saya suka ibunya. Beliau langsung akrab dalam perjumpaan
pertama kami dulu. Ya saya suka dengan
orang yang ramah dan murah senyum, seperti beliau.
Tema obrolan yang membuat saya nyambung dengan ibunya adalah
soal kedermawanan. Kebetulan beliau baru saja datang dari acara haul kerabatnya
yang letak rumahnya terpisah sekitar lima petak sawah ke arah barat.
Ia berkisah tentang kebaikan-kebaikan yang dilakukan
kerabatnya itu. Setiap kali mengadakan acara-acara sajiannya selalu spesial dan
membuat para tetangga senang, kenangnya. Singkatnya orang kaya yang dermawan
itu mempunyai usaha yang lancar dan tanpa ragu-ragu ia belanjakan hartanya di
jalan Allah.
Memang begitu seharusnya, orang kaya. Namun saya
menyanggahnya bahwa untuk menjadi dermawan tidak harus menunggu kaya. Orang
kaya yang bersedekah sudah terlalu biasa. Tak ada yang mengejutkan. Tetapi jika
sifat kedermawanan dimiliki orang miskin maka itu yang patut diberi
penghargaan. Orang yang rajin menabung untuk masa depan dirinya sendiri dapat
dikategorikan dalam golongan fixed
mindset, pikiran yang buntu, yang hanya memikirkan kenyamanan diri sendiri. Sementara yang mengeluarkan hartanya
untuk dibagikan kepada sesama adalah golongan growth mindset, pikiran yang tumbuh, yang selalu berempati pada
sesama, begitu kira-kira kata Pak Rhenald Kasali dalam sebuah artikel harian
Jawa Pos yang saya temukan sebagai pembungkus nasi.
Obrolan kami selesai saat ibu berlalu ke dapur. Saya melihat
sahabat saya itu membenahi simpul sarungnya. Saya perhatikan perutnya agak
besar. Mungkin dia tidak menjaga berat badannya sehingga bentuk tubuhnya tidak
proporsional dengan tinggi badannya, pikir saya. Saya terus menerka-nerka tidak
jelas saat dia menyusul ibu ke dapur mengambil es krim buatannya.
Kakak perempuannya datang dan menyapa kami. Saya tersenyum.
Ia mengerti tentang keinginan kami. Mungkin adiknya bercerita. Ia berujar
semoga dilancarkan. Saya mengamininya dengan datar.
Setelah mengobrol panjang dan tentunya sudah menghabiskan
banyak makanan ringan, saya berpamitan. Ibu menyiapkan sesuatu untuk saya bawa.
Saya berterima kasih dengan tak enak hati karena merepotkan.
Di pintu, kakaknya tiba-tiba mengungkapkan kalimat yang
menghantam perasaan saya. Ia meminta sambung doa untuk keselamatan dan
kelancaran bagi kehamilan si adik. Saya tersenyum tipis dan kaku. Mungkin
tampak sekali. Saya balas dengan kata-kata manis setelah si adik berkata jujur
bahwa kehamilannya sudah memasuki usia enam bulan.
Di jalan, pikiran saya gamang sembari menerawang
kenangan-kenangan saya dengan sahabat saya itu. Bagaimana kami berbagi saran dan bagaimana kini ia
menjadikan saya orang nomor seribu untuk tahu yang sebenarnya.
Motor kami melaju dalam remang. Saya rebahkan kepala di
punggung suami seperti membagikan lara yang mendalam. Ia pasti memahami apa
yang saat itu mendera batin saya.
Malam datang memperburuk suasana. Dalam hati saya mengerti,
sesuatu yang terasa sangat menyakitkan itu bukan karena kehamilannya mendahului
saya, melainkan perasaan kecewa kelas profesor atas kejujurannya yang tertunda.
Jujurlah mulai sekarang!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar