Suara anak laki-laki memanggil berkali-kali untuk membeli tahu ketika saya sedang shalat ashar. Fokus dalam bacaan shalat menjadi buyar ketika langlah kaki mulai mendekati tempat keluarga saya menyimpan uang. Saya tetap melanjutkan shalat walau setan telah berhasil menggoncangkan hati dan meracuni pikiran dengan keinginan memergoki apa yang dilakulam anak itu.
Selepas shalat tanpa dzikir dan doa, lekas saya beranjak menuju tempat tadi. Mendadak saya dikejutkan dengan pemandangan tas terbuka lebar dan posisi uang yang acak-acakan. Awalnya saya ragu memanggil anak itu, sebab menduga sayalah yang kurang teliti menghitung. Tetapi karena mata dan pikiran saya masih awas serta tidak divonis mengidap alzeimer, maka saya meminta suami agar memanggilnya kemari.
Anak itu berdiri di depan suami sembari menenteng plastik berisi tahu. Badannya tinggi kurus dengan kulit sedikit lebih gelap dari kulit sawo matang. Mukanya terlihat pucat dengan nada suara tegang. Jawabannya berputar-putar sekitar tidak, menggeleng, bersumpah, dan lebih banyak menunduk yang membuat kami iba lalu membiarkannya pulang.
Saya dan suami berdebat sengit saling menyalahkan. Saya protes, dia kurang tegas. Dia protes balik karena saya hanya diam. Intinya kami sama-sama tidak tegas.
Dari kejadian ini sayalah yang merasa paling bersalah. Seluruh keluarga di rumah mertua bepergian dan menitipkan rumah kepada saya dan suami. Karena perasaan bersalah inilah saya menghitung jumlah uang berulang-ulang. Dan memang benar, deretan paling atas hanya ada lima ribu. Seharusnya lima puluh ribuan baru saja saya terima dari Muhni yang membeli dua papan tahu.
Suami meminta saya melupakan kejadian ini, tapi saya tidak patuh dengan menceritakan ulang secara kronologis kepada emak dan aba. Perasaan semakin tidak enak saat ipar, Yuk Sul, menyalahkan saya dan suami yang tidak becus menjaga dagangan. Akhirnya aba memutuskan agar saya dan kakak ipar berkunjung ke rumah tersangka. Bukan karena nominal, melainkan agar menjadi pelajaran dan tidak dijadikan kewajaran.
Satu kilo meter menyusuri sungai ke arah timur dari rumah, kami telah disambut oleh seorang nenek yang baru turun dari ranjang kamarnya. Kancing bajunya belum selesai dipasang ketika ia mempersilakan kami duduk. Saya bimbang berterus terang tentang maksud kedatangan kami karena si nenek terbatuk-batuk dan mengatakan tidak enak badan. Tentu saja ia juga sedikit kaget memerima tamu di sore petang.
Yuk Sul memulai pembicaraan dengan halus dan berhati-hati. Saya mencolek jari kelingking kakinya karena takut sang nenek tersinggung. Benar dugaan saya, suaranya meninggi dengan tatapan sinis. Ia mengelak cucunya tidak mungkin melakukan hal buruk seperti yang kami tuduhkan.
Seorang perempuan menggendong balita perempuan memecah ketegangan. Ia pun tak kalah heran mendapati tamu di waktu yang bukan sepantasnya. Pada tetangga yang berpapasan di jalan tadi, ketika ditanya, Yuk Suk memberi jawaban ingin memarani jahitan. Ibu dari anak itu adalah penjahit. Menjahit mungkin hanya pekerjaan sampingan selain mengajar dan bertani.
Ibu dari anak itu adalah seorang guru TK swasta di kampung kami. Mengetahui fakta ini keheranan muncul berlipat-lipat di dalam pikiran saya. Saya juga menduga kuat bahwa si ibu sangat terpukul mendengar berita ini. Tetapi kami bersama harus memastikan apakah benar bocah yang masih duduk di bangku SMP itu mencuri?
Di sinilah batin dan pikiran saya bertarung. Logika meyakinkan bahwa anak itu benar-benar telah mencuri. Sementara batin saya menolaknya dengan asumsi anak seorang pendidik jauh dari kemungkinan melakukan hal yang tidak baik.
Sejauh ini saya telah melakukan hal yang berani dan beresiko. Bagaimana mungkin hanya dari rasa curiga yang kuat saya sanggup melontarkan tuduhan, bahkan kini berhadapan dengan keluarganya. Jika anak itu tidak mengku, tentu saya akan sangat malu. Sebaliknya, jika ia mengaku kami juga tidak enak hati pada keluarganya. Jelasnya kami semua, di ruang depan yang panjang, masih menunggu kedatangan si anak yang belum pulang dari tempat bermain.
Ketika saya menoleh, dari kejauhan tampak anak kurus panjang mengenakan kemeja hitam tengah melintasi jembatan sungai. Ibunya menyusul. Entah apa yang mereka bicarakan dalam waktu yang cukup singkat. Sebentar kemudian mereka telah masuk rumah. Saya memberanikan diri bertanya secara gamblang dengan diksi pilihan yang saya rasa tidak akan menyinggungnya.
Ia hanya mengangguk lalu menunduk. Ibunya keluar dari kamar dan menyerahkan uang kertas berwarna biru. Sekali lagi Yuk Sul bertanya pada anak itu apakah ia dipaksa mengaku hanya supaya urusan ini segera usai. Apabila benar, maka si ibu sungguh sangat naif mengakui kesalahan yang akan dikenang sepanjang perjumpaan. Akan tetapi si ibu menggeleng dan mengakui dengan pasti anaknya bersalah.
Di jalan yang lengang karena sudah petang, uang kertas bergambar danau Beratan saya genggam erat dengan petanyaan dan dugaan tumpang-tindih. Mengapa anak-anak mencuri? Mereka mencuri karena tidak mengerti. Mereka mencuri karena membutuhkan identitas dan pengakuan kawan-kawannya. Mereka mencuri karena mencontoh yang salah. Mereka mencuri karena tidak diberi uang jajan atau terlatih boros sehingga selalu merasa kurang. Mereka mencuri karena penyakit gangguan kejiwaan kleptomania. Dari semuanya, yang paling pasti adalah pencurian terjadi hanya karena adanya kesempatan.
Ambunten, 6 Juni 2016.
Selepas shalat tanpa dzikir dan doa, lekas saya beranjak menuju tempat tadi. Mendadak saya dikejutkan dengan pemandangan tas terbuka lebar dan posisi uang yang acak-acakan. Awalnya saya ragu memanggil anak itu, sebab menduga sayalah yang kurang teliti menghitung. Tetapi karena mata dan pikiran saya masih awas serta tidak divonis mengidap alzeimer, maka saya meminta suami agar memanggilnya kemari.
Anak itu berdiri di depan suami sembari menenteng plastik berisi tahu. Badannya tinggi kurus dengan kulit sedikit lebih gelap dari kulit sawo matang. Mukanya terlihat pucat dengan nada suara tegang. Jawabannya berputar-putar sekitar tidak, menggeleng, bersumpah, dan lebih banyak menunduk yang membuat kami iba lalu membiarkannya pulang.
Saya dan suami berdebat sengit saling menyalahkan. Saya protes, dia kurang tegas. Dia protes balik karena saya hanya diam. Intinya kami sama-sama tidak tegas.
Dari kejadian ini sayalah yang merasa paling bersalah. Seluruh keluarga di rumah mertua bepergian dan menitipkan rumah kepada saya dan suami. Karena perasaan bersalah inilah saya menghitung jumlah uang berulang-ulang. Dan memang benar, deretan paling atas hanya ada lima ribu. Seharusnya lima puluh ribuan baru saja saya terima dari Muhni yang membeli dua papan tahu.
Suami meminta saya melupakan kejadian ini, tapi saya tidak patuh dengan menceritakan ulang secara kronologis kepada emak dan aba. Perasaan semakin tidak enak saat ipar, Yuk Sul, menyalahkan saya dan suami yang tidak becus menjaga dagangan. Akhirnya aba memutuskan agar saya dan kakak ipar berkunjung ke rumah tersangka. Bukan karena nominal, melainkan agar menjadi pelajaran dan tidak dijadikan kewajaran.
Satu kilo meter menyusuri sungai ke arah timur dari rumah, kami telah disambut oleh seorang nenek yang baru turun dari ranjang kamarnya. Kancing bajunya belum selesai dipasang ketika ia mempersilakan kami duduk. Saya bimbang berterus terang tentang maksud kedatangan kami karena si nenek terbatuk-batuk dan mengatakan tidak enak badan. Tentu saja ia juga sedikit kaget memerima tamu di sore petang.
Yuk Sul memulai pembicaraan dengan halus dan berhati-hati. Saya mencolek jari kelingking kakinya karena takut sang nenek tersinggung. Benar dugaan saya, suaranya meninggi dengan tatapan sinis. Ia mengelak cucunya tidak mungkin melakukan hal buruk seperti yang kami tuduhkan.
Seorang perempuan menggendong balita perempuan memecah ketegangan. Ia pun tak kalah heran mendapati tamu di waktu yang bukan sepantasnya. Pada tetangga yang berpapasan di jalan tadi, ketika ditanya, Yuk Suk memberi jawaban ingin memarani jahitan. Ibu dari anak itu adalah penjahit. Menjahit mungkin hanya pekerjaan sampingan selain mengajar dan bertani.
Ibu dari anak itu adalah seorang guru TK swasta di kampung kami. Mengetahui fakta ini keheranan muncul berlipat-lipat di dalam pikiran saya. Saya juga menduga kuat bahwa si ibu sangat terpukul mendengar berita ini. Tetapi kami bersama harus memastikan apakah benar bocah yang masih duduk di bangku SMP itu mencuri?
Di sinilah batin dan pikiran saya bertarung. Logika meyakinkan bahwa anak itu benar-benar telah mencuri. Sementara batin saya menolaknya dengan asumsi anak seorang pendidik jauh dari kemungkinan melakukan hal yang tidak baik.
Sejauh ini saya telah melakukan hal yang berani dan beresiko. Bagaimana mungkin hanya dari rasa curiga yang kuat saya sanggup melontarkan tuduhan, bahkan kini berhadapan dengan keluarganya. Jika anak itu tidak mengku, tentu saya akan sangat malu. Sebaliknya, jika ia mengaku kami juga tidak enak hati pada keluarganya. Jelasnya kami semua, di ruang depan yang panjang, masih menunggu kedatangan si anak yang belum pulang dari tempat bermain.
Ketika saya menoleh, dari kejauhan tampak anak kurus panjang mengenakan kemeja hitam tengah melintasi jembatan sungai. Ibunya menyusul. Entah apa yang mereka bicarakan dalam waktu yang cukup singkat. Sebentar kemudian mereka telah masuk rumah. Saya memberanikan diri bertanya secara gamblang dengan diksi pilihan yang saya rasa tidak akan menyinggungnya.
Ia hanya mengangguk lalu menunduk. Ibunya keluar dari kamar dan menyerahkan uang kertas berwarna biru. Sekali lagi Yuk Sul bertanya pada anak itu apakah ia dipaksa mengaku hanya supaya urusan ini segera usai. Apabila benar, maka si ibu sungguh sangat naif mengakui kesalahan yang akan dikenang sepanjang perjumpaan. Akan tetapi si ibu menggeleng dan mengakui dengan pasti anaknya bersalah.
Di jalan yang lengang karena sudah petang, uang kertas bergambar danau Beratan saya genggam erat dengan petanyaan dan dugaan tumpang-tindih. Mengapa anak-anak mencuri? Mereka mencuri karena tidak mengerti. Mereka mencuri karena membutuhkan identitas dan pengakuan kawan-kawannya. Mereka mencuri karena mencontoh yang salah. Mereka mencuri karena tidak diberi uang jajan atau terlatih boros sehingga selalu merasa kurang. Mereka mencuri karena penyakit gangguan kejiwaan kleptomania. Dari semuanya, yang paling pasti adalah pencurian terjadi hanya karena adanya kesempatan.
Ambunten, 6 Juni 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar