Cuaca mendung siang itu, pada tanggal 3 Februari 2013, tak menyurutkan tekad kami untuk sampai di Bedugul. Kami sudah tak sabar menyaksikan keindahan danau Beratan yang selama ini hanya kami lihat di gambar. Maka kami berempat, saya, Eng (panggilan untuk suami), Devi dan Ayik berangkat menggunakan motor dengan berbekal jas hujan.
Kami berangkat dari Sesetan, Denpasar, rumah saudara yang bekerja di Bali sejak delapan tahun yang lalu. Kesempatan untuk berlibur di tempat yang menjadi ikon pariwisata di Indonesia itu menjadi sangat leluasa bagi saya, karena akses transportasi gratis, berupa mobil travel, milik Kak Mus bisa saya manfaatkan kapan saja. Maka libur smester waktu itu saya gunakan untuk berlibur sekaligus bulan madu.
Objek wisata yang menjadi target kala itu adalah, Kuta, Sanur, Serangan, Waterboom, dan Bedugul. Danau Beratan menjadi target utama karena lokasinya cukup jauh dari Sesetan. Danau Beratan terletak di kawasan Bedugul, Desa Candikuning, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan, Bali. Danau ini berlokasi pada ketinggian sekitar 1.239 meter di atas permukaan laut. Jadi saya sudah bisa membayangkan jalanan menanjak yang akan saya lalui. Berangkatlah kami menerobos gerimis.
Sesampainya di terminal Mengwi, hujan tutun begitu lebatnya, memaksa saya meringkuk di dalam jas hujan. Tentu saja tak ada keindahan yang dapat di saksikan dalam kondisi hujan selebat itu. Saya hanya pasrah dan berdoa semoga cuaca segera reda.
Hujan berangsur-angsur reda saat kami memasuki desa Pacung. Dari situ tersingkaplah pemandangan yang ingin saya saksikan. Jalanan yang licin dan berkelok-kelok membuat saya sedikit getir. Namun semua terbayar dengan keindahan alam yang luar biasa memikat.
Di sepanjang jalan, saya menyaksikan pohon-pohon menjulang rapi. Kebun sayur mayur tumbuh subur. Warna merah strawberry juga sangat memanjakan mata. Beberapa tikungan tajam dan tanjakan terjal sudah tak saya hiraukan lagi.
Sayangnya kala itu saya tak berani mengeluarkan ponsel untuk mengambil gambar karena gerimis masih belum usai. Ditambah lagi cuaca yang semakin dingin serta kabut tipis memaksa saya hanya merekamnya dalam ingatan.
Kami melewati Kebun Raya Eka Karya, lalu pasar Candi Kuning yang menjajakan oleh-oleh kripik tela dan bayam khas Bedugul, sebelum akhirnya sampai di pintu gerbang danau Beratan. Ayik membayar parkir empat ribu untuk dua motor. Lalu kami menuju stan penjual makanan.
Mula-mula suamiku ingin membeli nasi. Saya tak berani karena takut lauknya tidak halal. Tapi kata Ayik di tempat itu rata-rata penjualnya muslim. Karena masih was-was kami memilih pop mie instant. Sehabis mie kami pindah ke gerobak jagung bakar. Masing-masing kami menghabiskan jagung bakar berukuran jumbo dengan pilihan rasa pedas berlevel. Perjalanan sekitar satu jam tiga puluh lima menit melewati rute terjal ternyata menciptakan rasa lapar yang akut.
Rencananya kami akan menyewa speed boat untuk mengelilingi danau. Tapi lagi-lagi cuaca tidak mendukung. Kawasan mulai sepi. Kami mengembalikan tiket yang sudah kami bayar ke loket karena gerimis menebal menurunkan rintik serupa pecahan es. Kecewa rasanya mengingat tujuan utamanya memang keliling danau.
Kami menebus kekecewaan itu dengan belanja. Banyak pedagang menawarkan buah strawberry, salak, dan anggur yang dibanderol dengan harga sangat murah. Juga pakaian pantai berjenis katun rayon diobral dengan harga saudara kandung. Kami menikmati momen itu sembari menunggu para suami shalat asar di masjid al-Hidayah yang terletak di ketinggian. Kebetulan, waktu itu kami sama-sama berhalangan.
Hanya dari kejauhanlah kami bisa menyaksikan Pura Ulun Danu berdiri tenang di atas danau, seperti di gambar uang kertas lima puluh ribuan. Pura itu merupakan sebuah bangunan suci umat Hindu yang dibangun untuk memuja Dewi Danu sebagai pemberi kesuburan. Bangunan Pura itu adalah candi berusia tua yang terawat dengan baik dan bersih. Karena itulah, danau Beratan dianggap juga sebagai danau gunung suci.
Uniknya, dua bangunan milik umat Muslim dan Hindu bersatu di tempat yang berdekatan. Itu menjadi simbol toleransi beragama yang begitu kuat, mengingat orang-orang hanya mengenal tempat itu sebagai kawasan mayoritas Hindu. Tetnyata salah, masyarakat Muslim di tempat itu juga banyak. Terbukti dari maraknya perempuan berhijab yang berdagang di sepanjang kawasan danau. Entah mereka penduduk lokal atau hanya pendatang. Intinya kerukunan umat beragama di tempat itu menjadi simbol unik yang perlu diteladani.
Setelah cuaca terang, kami memilih pulang kerena waktu sudah mulai petang. Kami meninggalkan Bedugul dan berharap bisa berkunjung lagi di kemudian hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar