Senin yang dingin, 3 Maret 2014. Sekitar pukul 06.30 WIB,
suara berat perempuan memanggil nenek. Dengan suara tongkat dan gesekan panjang
sandalnya nenek keluar dan menyeru kepada saya agar membuatkan teh untuk tamu
yang datang. Karena pintu luar terbuka, saya tahu yang bertamu adalah Bibi
Sohati, kemenakan sepupu nenek. Setiap kali bertamu, bibi memang menolak
disuguhi kopi atau teh karena penakit diabetes yang dideritanya. Nenek pun
mengerti ketika saya mengurungkan niat menuju dapur. Saya duduk menemani bibi
di luar.
Nenek kembali ke kamrnya dan datang lagi membawa roti. Roti
yang kemarin paman bawa untuknya. Belum bertanya perihal kedatangan bibi
pagi-pagi betul, ia sudah memulai cerita bahwa baru saja ia datang dari
Polindes untuk memeriksa penyakitnya pada dokter I suaminya bidan E yang tempat
peraktinya sekitar 50 meter ke barat rumah saya. Tetapi kalimat lanjutannya
bernada kecewa karena dokter I belum bangun dan istrinya mengatakan tak mau
membangunkannya dengan alasan dokter I lelah karena kerja lembur.
“Saya disuruh nunggu sampai jam Sembilan.”
Saya mengerti mengapa bibi memilih untuk menunggu di rumah
bukan pulang ke rumahnya. Selain karena ingin bertemu nenek, jarak dari rumahnya
ke Polindes, yakni sekitar 1 km, cukup jauh baginya yang harus berjalan kaki
dengan beban penyakit di usianya yang hampir berkepala lima. Ketika saya
bertanya mengapa tidak periksa ke bidan E saja, ia menjawab hanya bisa lebih
baik jika dokter I yang mengobatinya. Saya tak dapat melanjutkan pertanyaan
lagi dengan kata mengapa, karena jawabannya dirasakan oleh bibi sendiri.
Lalu terjadi obrolan panjang antara nenek dan bibi. Saya
beranjak ke dapur untuk mempersiapkan sarapan. Beberapa jam kemudian ibu keluar
dan mengingatkan kepada bibi bahwa telah sampai pukul sembilan. Bibi Sohati
berangkat ke Polindes lagi.
Nenek belum beranjak dari kursinya, bibi sudah datang lagi
dan mengatakan kepada kami bahwa dokter I sudah berangkat bertugas ke Puskesmas
di Kecamatan Guluk-Guluk. Bibi pamit pulang dan menolak disuguhi sarapan.
Demikianlah adegan yang klise di pagi hari. Sederhana tetapi
membuat iba hati. Sebuah keratan kisah tentang pasien yang gagal bertemu
dokternya. Tentang bibi Sohati yang pulang dengan membawa sepaket harapan
beserta rasa kecewanya.
***
Masyarakat dan
Kesehatan
Kesehatan memang mahal. Tapi pelayanan yang baik masih sulit
didapatkan. Kenyataannya memang begitu. Masyarakat khususnya di pedesaan yang
menderita masalah medis sudah merasa cukup dengan mengontrol kesehatannya ke
dokter. Dokter mendiagnosa lalu memberi obat, pasien membayar lalu pulang,
selesai. Atau dengan gambaran lain, dokter menjadi penyedia jasa bayaran,
pasien menjadi konsumen. Kaku, dan tak jauh berbeda dengan pembeli dan penjual
di toko kelontong.
Masyarakat kita belum kritis dalam persoalan kesehatan.
Contoh kasusnya, begitu dikatakan tekanan darahnya berapa, mereka sudah
mengangguk-angguk seolah sangat paham. Padahal sang dokter belum menjabarkan
apakah yang dimaksud tekanan darah atas atau bawah. Umumnya yang dilaporkan
adalah tekanan darah atas, tetapi apakah tekanan darah bawah tak penting untuk
juga diketahui? Sayangnya masyarakat tak tahu caranya bertanya, sementara
dokter enggan memberi tahu.
Ini masih kasus sederhana tentang bagaimana sulitnya
informasi kesehatan didapatkan oleh masyarakat awam. Belum lagi jika menyentil
persoalan pelayanan kesehatannya. Akan ada banyak cerita yang menguap di
masyarakat kita.
Sementara itu, sekolah kedokteran semakin gencar diminati
oleh para pelajar. Terbukti dengan data yang kompas.com sajikan pada Sabtu, 25 Mei 2013 lalu tentang jurusan
kedokteran yang menduduki peringkat pertama dari sepuluh jurusan favorit
lainnya. Ini bukan hal yang sangat mengejutkan tentunya, mengingat tenaga medis
memang cukup dibutuhkan di negeri ini. Tetapi jika ilmu kedokteran dijalankan
sebagai sebuah bisnis, niscaya mengundang keruwetan dari sebuah bisnis. Dan
sesuatu yang tidak dilandasi dengan cinta akan berakhir sia-sia.
Generasi Patch Adams
Mari kita teladani kisah inspiratif Patch Adams. Ia adalah
revolusioner sosial. Dokter yang mendirikan Gesundeit Institut, klinik
pengobatan gratis di West Virginia. Ia telah merawat lebih dari 15.000 orang
dengan metode yang bukan semata-mata pendekatan klinis yang diterapkan rumah
sakit pada umumnya, melainkan menyembuhkan dengan humor dan kebahagiaan. Pak
Adams dan rekan-rekannya rela menjadi badut untuk menghibur anak-anak yang
sakit, atau menjadi sahabat yang mengajak pasiennya berjalan-jalan menuruni
bukit.
Lalu mari kita bandingkan dengan para tenaga medis di
sekitar kita. Amati dengan cermat bagaimana mereka memperlakukan pasien dan
setebal apa sekat bernama formalitas yang mereka bangun di atas gengsi
menyandang pangkat terhormat. Bahkan yang lebih mengejutkan lagi adalah emosi
yang diekspresikan dengan amarah yang terlontar tanpa rasa bersalah. Maka
akhirnya boleh jadi pasien sehat secara fisik tapi hidupnya menyedihkan.
Saya yakin bahwa tenaga profesional di bidang kesehatan yang
merasa lelah, marah, dan malas tidak menyadari potensi yang menarik dalam
hubungan antara dokter dan pasien.tentu saja pekerjaan yang demikian tidak
didasari dengan cinta. Sehingga mereka melupakan prinsip dalam ilmu kedokteran
yang harusnya melibatkan rasa sayang pada orang lain. Jika prinsip utama ini
dipegang teguh oleh para dokter, maka kasus Bibi Sohati tidak akan terjadi.
Endingnya akan muncul generasi Patch Adams yang mengobati dengan hati.
Tambuko, 13 Maret 2014
Catatan: Beng Nu, saya yakin kamulah generasi Patch Adams
itu… :))
3 komentar:
makin bagus tulisanmu, Corn. saya senang karena ternyata kamu masih sempat menulis
Terima kash sudah menyempatkan mampir dan berkomentar di blog ini, Ra. Sejak awal, komen-komen lora yang mencambuk saya untuk terus menulis :)) Ditambah lagi teguran suami kalau malas nulis. Lengkap! Insya Allah saya akan sempatkan untuk terus menulis di sela kesibukan saya, walau tidak rutin. Hehee...
Posting Komentar