Sore ini, 26 Juni 2013, saudara angkat saya melahirkan bayi
berjenis kelamin laki-laki. Jika prediksi bidan di kampung saya benar, seharusnya
ia sudah melahirkan seminggu yang lalu. Tetapi bagi kami sekeluarga waktu tak
jadi soal, yang penting proses persalinan gampang serta ibu dan bayinya selamat
itu sudah anugerah yang begitu besar dan patut kami syukuri.
Ketika saya menjaga bayi itu, epak angkat saya mulai
bercerita bahwa saya diasuhnya sejak bayi sebab ibu tidak diizinkan pulang
oleh pihak rumah sakit umum daerah Pamekasan dikarenakan bekas jahitan operasi
sesarnya harus dirawat secara intensif. Maka keluarga saya memutuskan agar saya
dibawa pulang oleh emak dan epak, tetangga dekat yang memang sudah dianggap sebagai famili. .
“Epak takut kamu ditukar,” kenangnya cemas.
“Ndak mungkin tertukar. Kan sudah ada tanda surung ibumu di
lenganmu,” bantah emak.
“Kalau ada yang nukar dengan tandanya!?” debat epak.
“Terlalu sering nonton sinetron memang begitu, Pak,” sahut
suami saya yang akhirnya meredakan cekcok keduanya.
Maklum, orang awam seperti keluarga saya lebih banyak
menyimpan rasa khawatir dari pada pasrah kepada pihak rumah sakit yang pastinya
sudah mengusakan pelayanan maksimal. Karena saya bisa dibawa pulang, epak
dan emak akhirnya merasa senang bisa merawat saya sampai ibu, ayah, dan keluarga saya
diperkenankan pulang dari rumah sakit.
Yang menjadi masalah selanjutnya adalah para tetangga saya
mengolok-olok saya anak yang ditukar. Ini membuat saya yang masih duduk di
kelas tujuh MTs berpikir panjang dan menarik kesimpulan bahwa mungkin tetangga saya benar, ayah dan ibu saya
bukan orang tua kandung saya. Ketika saya menyampaikan beban pikiran saya sambil
tersedu kepada ayah dan ibu, mereka hanya menertawai saya,
“Dulu ibu memang satu kamar dengan orang Pakong. Tapi bayinya
laki-laki. Coba perempuan ibu pun boleh curiga,” kisah ibu berusaha
menengkanku.
“Lagian, wajahmu itu mirip sekali dengan ayahmu. Jangan suka
percaya kata tetangga! Mereka Cuma mengolok-olok biar kamu nangis,” lanjut ibu.
“Sudah jangan nangis lagi! Kamu sudah besar,” Ayah
mengakhiri perbincangan dengan bijak. Saya hanya tersenyum malu.
Setelah beranjak balita, prilaku lekat saya bukan kepada
orang tua kandung saya melainkan kepada epak dan emak. Mereka berdua menganggap
saya seperti anak kandung mereka hingga saat ini, saat saya beranjak dewasa dan
bersuami. Tetapi rasa sayang saya untuk ibu dan ayah kandung saya tentu lebih
besar lagi. Karena akhirnya saya mengerti kasih sayang ayah dan ibu kandung itu
laksana mata air abadi yang akan terus mengaliri setiap sungai-sungai kecil
dalam kehidupan kita.
1 komentar:
"Putra" "Putri" yang DIPERTEMUKAN :)
Posting Komentar