Sekiranya kau menyimak kembali catatan tercecer dalam kerlip lampu pasar malam lalu. Enam sekawan menukar uang dengan karcis untuk masuk rumah hantu tak berhantu. Lalu tawa, lalu canda, lalu kuda-kudaan berputar-putar.
Setidaknya kau bisa melanjutkan percakapan, kalau saja tidak kau lupakan malam itu. Dering handpone, panggilan tak terjawab, SMS masuk, dan pulsa-pulsa yang berdansa. Kalau saja. Tapi mungkin kau lupa. Ah! Sudahlah.
Sepertinya malam itu kau tahu betapa mudahnya martabak itu dibuat. Pijat-pijat bola pimpong tepung, pecahkan telur dalam gelas karet berisi bawang, kocok-kocok, goreng dalam genangan minyak yang meletik-letik. Lalu kau gigit pinggir martabak dalam lumatan rindu. Sendiri.
Semestinya kau mengajak kami untuk makan bersama-sama. Bernyanyi di beranda, melihat bintang-bintang, tertawa, atau mungkin puisi. Sementara kau tak pernah tahu bagaimana persahabatan itu seharusnya dinikmati seperti mengunyah sepotong martabak sambil menggigit cabai.
Guluk-Guluk, 25 Maret 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
-
Dalam hidup kita membangun sebuah cerita. Ketika cerita itu berlalu ia berubah nama menjadi kenangan. Masing-masing kita memilikinya. Namun...
-
Generasi tahun 90-an pasti tidak asing dengan sinetron Gerhana. Drama serial televisi menceritakan tokoh bernama Gerhana yang lahir bertepat...
-
Selama menikah, kejutan dari suami hampir bisa dihitung jari. Bagi saya yang memang agak sedikit cuek dengan hadiah, itu adalah hal wajar. N...
3 komentar:
Hehe...memuji yang baik bukan dengan sanjungan, tapi dengan memberitahukan mana yang salah!
Anonim Keyah Pole
Mantap yang Nabrak
Setidaknya kau bisa melanjutkan percakapan, kalau saja tidak kau lupakan malam itu. Dering handpone, panggilan tak terjawab, SMS masuk, dan pulsa-pulsa yang berdansa. Kalau saja. Tapi mungkin kau lupa. Ah! Sudahlah.
Anonim Keyah Pole 2
Posting Komentar