Menjelang empat puluh hari wafatnya ibu, suami bersih-bersih rumah. Ia menemukan catatan harian ibu dan mengirim fotonya kepadaku yang kala itu sedang sendiri di toko. Aku kembali larut dalam sedu sedan yang dalam.
Ibu dan kakakku memang suka menulis catatan harian. Katanya untuk mengenang peristiwa penting. Aku meniru jejak mereka sejak Sekolah Dasar kelas akhir. Sampai detik ini kegiatan menulis catatan menjadi kebiasaan. Kadang juga pelarian saat ada banyak beban menumpuk di kepala.
Catatan ibu yang ditemukan suami berisi perjalanan hidup beliau, termasuk cerita kelahiranku, kakak, kepergian ayah, dan kelahiran kedua cucunya. Di akhir catatan beliau menyampaikan wasiat agar membacakan beberapa surat dalam Al-Qur'an, tahlil, dan amal jariyah.
Aku tertegun membaca berulang-ulang catatan itu. Kapankah persisnya ibu menulis risalah yang seolah berisi salam perpisahan? Sangat tegas seperti kepergian terencana. Ibu bagai tahu waktunya di dunia tak cukup panjang.
Pada alinea kedelapan ibu menuliskan betapa berat perjuangan beliau menyekolahkan anak-anaknya tanpa suami. Beliau mengurus sawah dan usaha toko kelontong dengan baik entah bagaimana repotnya. Tetapi orang-orang datang membawa barang hanya bermodalkan lidah, bukan rupiah. Sampai akhirnya ibu balik badan, toko itu gulung tikar karena banyaknya bon dalam catatan utang.
Tak kulihat ibu bersedih karena usahanya pailit. Beliau hanya mengungkapkan penyesalan karena tak dapat menjaga amanah ayah. Karenanya aku pernah membuka toko itu lagi dengan berjualan pentol ikan dan es pelangi sampai akhirnya aku diminta mertua untuk ikut suami ke Ambunten.
Ibu melepasku dengan senyuman dan kepasrahan saat seluruh famili mempertanyakan apakah ibu sanggup tinggal seorang diri. Beliau malah berucap rida aku tinggal di belahan bumi manapun dan berpesan agar aku taat pada suamiku. Aku yang kala itu terbiasa memeluk ibu rebah dalam dekapnya yang tenang.
Mengingat itu detik ini membuat dadaku penuh dengan emosi tak terbendung. Ritme nafas tak beraturan. Hingga mata terasa hangat, menumpahkan air yang asin. Dalam pejam aku mengingat raut wajah ibu saat tersenyum, saat bersedih, dan saat-saat terakhir beliau di rumah sakit.
Cerita tentang ibu tak akan pernah ada habisnya, karena ibu adalah sosok yang sangat kompleks bagiku. Kata Nadin Amizah dalam lagunya, anak dan ibu seperti detak jantung yang bertaut. Ibu menjadi sosok paling memahami tersebab jalinan batin yang kuat. Aku mengamini lagu itu karena aku merasakan betapa kepergian ibu membuatku kehilangan banyak kepingan penting dalam hidupku.
Banyak pelayat datang bercerita tentang kebaikan-kebaikan ibu. Karena ibu memang tak hanya baik pada anaknya, melainkan kepada banyak orang di sekitar kami. Lebih gamblangnya ibu seolah menjadi pahlawan. Dan karena kepahlawanannya itu pernah suatu kali aku berdebat sengit dengan beliau.
Pernah ada selentingan ibu meminjam emas tetangga. Kabar buruk itu membuat saya segera mengklarifikasi. Ibu bersumpah tidak pernah melakukan seperti yang dituduhkan. Beliau menangis saat aku mulai merasa ragu. Ibu memohon agar aku percaya, tetapi aku masih menepis, meminta bukti.
Kami menagis sambil beradu mulut yang akhirnya dibuktikan bak Tin bahwa nama ibu hanya dimanfaatkan seseorang yang sedang butuh pinjaman. Begitu nama ibu disebut, siapapun akan berbaik hati. Karena kebaikan ibu yang terlampau luas itu, akhirnya ada yang menyalahgunakan untuk kepentingan tak bernurani.
Hingga detik ini aku menyesal karena pernah meragukan ibu. Menyesal karena tak mencoba mengenal ibu lebih dalam. Aku mengutuk diriku ketika ingat wajah merah ibu penuh air mata, kata-kata beliau saat aku bantah, dan jawaban terbata-bata yang keluar dari bibirnya. Semua terkenang begitu menyakitkan.
Tetapi aku sadar perasaan sedih adalah hal yang wajar. Kiranya setiap orang pasti merasakan kesedihan sesuai porsi ujiannya masing-masing. Hanya karena kesempatan untuk mengungkapkan penyesalan ini sudah tak ada lagi bagiku, maka perasaan sedih tadi sakitnya terasa gigantis.
Selagi ada waktu, jika ingin meminta maaf kepada orang tua sebaiknya segera ungkapkan. Rasa sayang yang begitu kuat harus ditunjukkan. Karena jika sampai batas itu tiba, maka rasa sesal tak akan ada penawarnya. Seperti aku yang berkutat dengan rasa bersalah karena kurang berlaku baik pada ibu.
Sekarang tak ada lagi yang merekahkan senyum ketika melihat kedatanganku. Tak ada lagi yang memanggilku Mul dengan nada sejenaka ibu. Beliau tempat ternyamanku berbagi setiap inci isi hati sudah tiada dalam pandangan mata namun kekal dalam doa-doa.
9 Februari 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar