“Janjinya cuma seminggu, nyatanya sudah setengah bulan Mona belum juga membayar hutangnya.”
“Mungkin belum kiriman. Kerja di negeri Jiran, hanya sebagai kuli bangunan, hutang ongkosnya paling juga belum lunas.”
“Tetangga kita ini kerjanya hanya gali lobang. Selalu lupa untuk menutupinya.”
“Mau bagaimana lagi,” ada nada kecemasan dalam jawabannya."
“Na juga pinjam gelangnya Hajah Rukayyah,”sang suami menimpali lagi.
“Bukan urusan kita, Pa,” perempuan itu mencoba menyudahi.
“Hidup di mana saja kita selalu dikerjar-kejar tukang hutang. Rasanya tidak tenang.”
Susi menundukkan kepala karena sudah tidak tahan. Tiba-tiba air mukanya seperti sedang kurang darah. Tetapi akhirnya ia lega saat berhasil mengangkat tema lain dalam obrolannya. Tentang harga beras misalnya, yang akhir-akhir ini selalu naik. Andai saja ia tidak menanduskan sawahnya, tentu saja berkarung beras akan menghiasi dapurnya.
Berkarung beras di kepalanya itu hanyalah khayalan. Sebenarnya ia lebih senang menunggu tanggal muda. Gaji suaminya sebagai Sekretaris Desa yang tergolong Pegawai Negeri Sipil itu dirasanya sudah cukup menghidupi dirinya dan keluarga.
Ia telah memilih menjadi ibu rumah tanga saja. Mengikuti tren busana terbaru, mengoleksi lipstik dari yang murahan sampai yang eksklusif, PKK, arisan, dan menjalani kegiatan tidak penting lainnya yang menurutnya sangat heboh. Coba saja periksa lemari pakaiannya. Warna apa yang tidak ada? Model apa yang tidak punya? Mejikuhibiniu semuanya lengkap bergelantungan bagai bunuh diri dengan hanger. Aroma rumahnya seperti butik. Menyeruak menawarkan kedengkian para tetangga.
Baginya, tetangga di kampung itu cuma baik saat ada maunya. Contohnya meminjam baju, uang, atau meminta garam. Tetapi sebenarnya tidak. Di kota, pagar-pagar tinggi menjadi batas. Tak ada ceritanya minta atau pinjam. Tak ada juga yang bisa dimintai bantuan untuk mengerok saat masuk angin. Susi sudah buta, tak menyadarinya.
***
Masyarakat di desanya sudah sepakat bahwa nama Susi adalah akronim dengan kepanjangan Super Sibuk. Baginya tiada hari tanpa jalan-jalan. Paling tidak ke pasar cari kain murah yang bisa didesain jadi seperti mahal. Lumayan bisa dipakai mengantar anaknya ke sekolah atau jalan-jalan ke taman bunga di malam hari. Ya, pikirannya tak pernah lepas dari pakaian baru.
Awalnya suaminya menegur agar Susi juga menabung untuk masa depan anaknya. Suaminya bilang mata itu seperti botol terbuka yang akan terus mengisi diri sampai meluap luap. Kita sendiri yang harus menyumbatnya dengan menutup hasrat pada apa yang tidak menjadi kebutuhan. Jangankan ia menyesal, mendengarkan saja juga tidak. Buktinya saat itu ia bilang oke, besoknya sudah mulai lagi. Kondangan, khitanan, karnaval, bahkan melayat pun bajunya harus baru. Harus senada dengan kerudung, tas dan sandalnya. Menghadapi itu semua suaminya pasrah total.
Kedahsyatannya dalam berbusana dan berdandan itu membuat Musa seorang manusia jenaka di kampungnya berkomentar, “Bajunya berjanggar-janggar mirip ayam jago punya Siri.”
Lelaki mana yang tidak tertarik dengan kemolekannya. Pipinya khumaira dengan polesan merah pipi merk ternama. Garis hitam tajam tak pernah luput melingkari matanya. Ketika wajahnya terbungkus hijab, maka ia mirip artis dalam sinetron Tukang Cendol Naik Haji. Hanya menjadi rahasianya bahwa ia pernah menerima lembaran kertas merah bergambar Dr.(H.C.)Ir.Soekarno dan Dr. (H.C.) Drs. Mohammad Hatta dari lelaki berondong yang ingin mendapatkan satu ciumannya. Ah, maut rasanya. Andai gambar dalam uang kertas itu diganti dengan fotonya, maka ketenaran baginya adalah niscaya. Namun khayalan-khayalannya selalu seperti membumbui burung terbang. Ia bahkan kesal ketika mengingat malah munyuk yang ada dalam gambar uang lima ratusan tempo dulu.
Saat suaminya bertanya asal-usul uang itu, ia seperti murid cerdas yang cekatan memberi jawaban. Entah dari kakaknya yang bekerja ke Lombok atau menang arisan. Suami yang malang. Ia tidak pernah memperpanjang perkara apalagi curiga. Kalau ada penghargaan untuk kategori suami paling pengertian, Rudilah juaranya.
Susi memang tidak pernah mencurigakan. Mereka selalu tampil mesra. Tangan perempuan bertahi lalat di bawah mata kirinya itu tidak pernah tidak melingkari pinggang kanan suaminya saat membonceng. Ke mana pun Rudi pergi ia selalu mengiringi. Hanya beberapa kali mereka pernah beradu mulut. Salah satunya tentang keinginan Susi yang tidak dituruti.
“Aku pengen kebab Turki. Katanya di kampung Arab ada habib baru buka kedai,” ujarnya dengan nada manja.
“Jangan sok artis! Makan yang enak-enak tidak akan diliput jadi berita infotainment.”
Pipi Susi kembung kanan kiri. Bibirnya panjang lima centi. Bagaimana mungkin ia melewatkan kesempatan menjadi yang super tahu tentang makanan? Bukankah selama ini selalu ia yang memulai obrolan tentang kuliner di Sumenep? Seakan ia sudah menjadi juri di ajang master chef Indonesia.
Hampir semua makanan di kota berlambang kuda itu ia cicipi. Ia sering dudukdi meja Toby's dan kedai HK. Ia tahu dimana soto babat Madura yang paling dahsyat rasanya. Ia akrab dengan penjual rujak selingkuh rasa maut. Ia bahkan sudah pernah mencicipi bakso di seantero kotanya, bakso kondang 99, Adil, Kembang, Prima, tak lupa juga bakso urat di dalam pasar Anom.
Pengalamannya soal makanan yang diumbarkan berkali-kali pada tetangganya membuat mereka tertawa-tawa, walau hanya dalam hati. Seseorang yang bersuami orang Bangkalan tersenyum sinis. Dalam hati ia mengumpat,
“Dasar mulut tidak berpendidikan! Mungkin akan berhenti mengoceh kalau disumabat dengan bebek Sinjai.”
Kehebohan seakan tak pernah surut dalam hidupnya. Tetapi tidak dengan hari ini. Hari yang merupakan kiamat bagi dirinya. Mona mengatakan yang sejujurnya pada Rudi tentang siasat Susi yang meminta bantuannya untuk meminjam uang.
“Memangnya dari mana aku tahu kalau kamu sedang punya uang, Rud?” katanya tanpa tedeng aling-aling.
Rudi terdiam lama sekali. Pikirannya buntu. Lebih parah lagi saat Na juga bertandang ke rumahnya dan melaporkan hal yang senada.
“Susi juga menyuruhku meminjamkan gelang Hajah Rukayyah. Sekarang sudah dilelang pegadaian. Kita semua sudah dengar kabar kan kalau gelangnya 24karat dengan berat 20 gram.”
Hanya sekejap saja semuanya menjadi nyata. Perlahan, pikirannya mundur jauh sejauh-jauhnya. Siapa yang ianikahi? Tidak lain adalah maling di rumahnya sendiri.
Dari kejauhan tampak Susi berkibar-kibar dengan gaun merah terang dan kerudung kuning menyala-nyala. Wajahnya berubah ketika menyadari Mona, Na, dan suaminya duduk bersama-sama. Ia berdiri di ambang pintu dengan muka pasrah dan tungkai yang bergetar-getar tak mampu menopang tubuhnya. Dengan dua kata Rudi berhasil merobohkan keangkuhannya.
“Kita cerai!”
“Mungkin belum kiriman. Kerja di negeri Jiran, hanya sebagai kuli bangunan, hutang ongkosnya paling juga belum lunas.”
“Tetangga kita ini kerjanya hanya gali lobang. Selalu lupa untuk menutupinya.”
“Mau bagaimana lagi,” ada nada kecemasan dalam jawabannya."
“Na juga pinjam gelangnya Hajah Rukayyah,”sang suami menimpali lagi.
“Bukan urusan kita, Pa,” perempuan itu mencoba menyudahi.
“Hidup di mana saja kita selalu dikerjar-kejar tukang hutang. Rasanya tidak tenang.”
Susi menundukkan kepala karena sudah tidak tahan. Tiba-tiba air mukanya seperti sedang kurang darah. Tetapi akhirnya ia lega saat berhasil mengangkat tema lain dalam obrolannya. Tentang harga beras misalnya, yang akhir-akhir ini selalu naik. Andai saja ia tidak menanduskan sawahnya, tentu saja berkarung beras akan menghiasi dapurnya.
Berkarung beras di kepalanya itu hanyalah khayalan. Sebenarnya ia lebih senang menunggu tanggal muda. Gaji suaminya sebagai Sekretaris Desa yang tergolong Pegawai Negeri Sipil itu dirasanya sudah cukup menghidupi dirinya dan keluarga.
Ia telah memilih menjadi ibu rumah tanga saja. Mengikuti tren busana terbaru, mengoleksi lipstik dari yang murahan sampai yang eksklusif, PKK, arisan, dan menjalani kegiatan tidak penting lainnya yang menurutnya sangat heboh. Coba saja periksa lemari pakaiannya. Warna apa yang tidak ada? Model apa yang tidak punya? Mejikuhibiniu semuanya lengkap bergelantungan bagai bunuh diri dengan hanger. Aroma rumahnya seperti butik. Menyeruak menawarkan kedengkian para tetangga.
Baginya, tetangga di kampung itu cuma baik saat ada maunya. Contohnya meminjam baju, uang, atau meminta garam. Tetapi sebenarnya tidak. Di kota, pagar-pagar tinggi menjadi batas. Tak ada ceritanya minta atau pinjam. Tak ada juga yang bisa dimintai bantuan untuk mengerok saat masuk angin. Susi sudah buta, tak menyadarinya.
***
Masyarakat di desanya sudah sepakat bahwa nama Susi adalah akronim dengan kepanjangan Super Sibuk. Baginya tiada hari tanpa jalan-jalan. Paling tidak ke pasar cari kain murah yang bisa didesain jadi seperti mahal. Lumayan bisa dipakai mengantar anaknya ke sekolah atau jalan-jalan ke taman bunga di malam hari. Ya, pikirannya tak pernah lepas dari pakaian baru.
Awalnya suaminya menegur agar Susi juga menabung untuk masa depan anaknya. Suaminya bilang mata itu seperti botol terbuka yang akan terus mengisi diri sampai meluap luap. Kita sendiri yang harus menyumbatnya dengan menutup hasrat pada apa yang tidak menjadi kebutuhan. Jangankan ia menyesal, mendengarkan saja juga tidak. Buktinya saat itu ia bilang oke, besoknya sudah mulai lagi. Kondangan, khitanan, karnaval, bahkan melayat pun bajunya harus baru. Harus senada dengan kerudung, tas dan sandalnya. Menghadapi itu semua suaminya pasrah total.
Kedahsyatannya dalam berbusana dan berdandan itu membuat Musa seorang manusia jenaka di kampungnya berkomentar, “Bajunya berjanggar-janggar mirip ayam jago punya Siri.”
Lelaki mana yang tidak tertarik dengan kemolekannya. Pipinya khumaira dengan polesan merah pipi merk ternama. Garis hitam tajam tak pernah luput melingkari matanya. Ketika wajahnya terbungkus hijab, maka ia mirip artis dalam sinetron Tukang Cendol Naik Haji. Hanya menjadi rahasianya bahwa ia pernah menerima lembaran kertas merah bergambar Dr.(H.C.)Ir.Soekarno dan Dr. (H.C.) Drs. Mohammad Hatta dari lelaki berondong yang ingin mendapatkan satu ciumannya. Ah, maut rasanya. Andai gambar dalam uang kertas itu diganti dengan fotonya, maka ketenaran baginya adalah niscaya. Namun khayalan-khayalannya selalu seperti membumbui burung terbang. Ia bahkan kesal ketika mengingat malah munyuk yang ada dalam gambar uang lima ratusan tempo dulu.
Saat suaminya bertanya asal-usul uang itu, ia seperti murid cerdas yang cekatan memberi jawaban. Entah dari kakaknya yang bekerja ke Lombok atau menang arisan. Suami yang malang. Ia tidak pernah memperpanjang perkara apalagi curiga. Kalau ada penghargaan untuk kategori suami paling pengertian, Rudilah juaranya.
Susi memang tidak pernah mencurigakan. Mereka selalu tampil mesra. Tangan perempuan bertahi lalat di bawah mata kirinya itu tidak pernah tidak melingkari pinggang kanan suaminya saat membonceng. Ke mana pun Rudi pergi ia selalu mengiringi. Hanya beberapa kali mereka pernah beradu mulut. Salah satunya tentang keinginan Susi yang tidak dituruti.
“Aku pengen kebab Turki. Katanya di kampung Arab ada habib baru buka kedai,” ujarnya dengan nada manja.
“Jangan sok artis! Makan yang enak-enak tidak akan diliput jadi berita infotainment.”
Pipi Susi kembung kanan kiri. Bibirnya panjang lima centi. Bagaimana mungkin ia melewatkan kesempatan menjadi yang super tahu tentang makanan? Bukankah selama ini selalu ia yang memulai obrolan tentang kuliner di Sumenep? Seakan ia sudah menjadi juri di ajang master chef Indonesia.
Hampir semua makanan di kota berlambang kuda itu ia cicipi. Ia sering dudukdi meja Toby's dan kedai HK. Ia tahu dimana soto babat Madura yang paling dahsyat rasanya. Ia akrab dengan penjual rujak selingkuh rasa maut. Ia bahkan sudah pernah mencicipi bakso di seantero kotanya, bakso kondang 99, Adil, Kembang, Prima, tak lupa juga bakso urat di dalam pasar Anom.
Pengalamannya soal makanan yang diumbarkan berkali-kali pada tetangganya membuat mereka tertawa-tawa, walau hanya dalam hati. Seseorang yang bersuami orang Bangkalan tersenyum sinis. Dalam hati ia mengumpat,
“Dasar mulut tidak berpendidikan! Mungkin akan berhenti mengoceh kalau disumabat dengan bebek Sinjai.”
Kehebohan seakan tak pernah surut dalam hidupnya. Tetapi tidak dengan hari ini. Hari yang merupakan kiamat bagi dirinya. Mona mengatakan yang sejujurnya pada Rudi tentang siasat Susi yang meminta bantuannya untuk meminjam uang.
“Memangnya dari mana aku tahu kalau kamu sedang punya uang, Rud?” katanya tanpa tedeng aling-aling.
Rudi terdiam lama sekali. Pikirannya buntu. Lebih parah lagi saat Na juga bertandang ke rumahnya dan melaporkan hal yang senada.
“Susi juga menyuruhku meminjamkan gelang Hajah Rukayyah. Sekarang sudah dilelang pegadaian. Kita semua sudah dengar kabar kan kalau gelangnya 24karat dengan berat 20 gram.”
Hanya sekejap saja semuanya menjadi nyata. Perlahan, pikirannya mundur jauh sejauh-jauhnya. Siapa yang ianikahi? Tidak lain adalah maling di rumahnya sendiri.
Dari kejauhan tampak Susi berkibar-kibar dengan gaun merah terang dan kerudung kuning menyala-nyala. Wajahnya berubah ketika menyadari Mona, Na, dan suaminya duduk bersama-sama. Ia berdiri di ambang pintu dengan muka pasrah dan tungkai yang bergetar-getar tak mampu menopang tubuhnya. Dengan dua kata Rudi berhasil merobohkan keangkuhannya.
“Kita cerai!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar