Sudah cukup lama saya dan
suami terpikir untuk memulai sebuah bisnis. Keinginan itu bahkan sudah ada
sejak usia pernikahan kami baru menginjak sebulan. Tetapi kami selalu
kebingungan tentang apa yang harus dilakukan.
Mula-mula kami sepakat untuk
berternak ayam petelur. Dengan mempertimbangkan modal yang tidak sedikit dan segala
resikonya kami sepakat. Berbekal uang yang cukup, Eng (panggilan untuk suami) memesan
kurung ayam yang berukuran panjang untuk lima ratus ayam broiler lengkap dengan
tempat pakannya. Kami sudah berencana menempatkan kandangnya di sawah belakang
dapur. Sampai di sini saya membayangkan usaha ini mungkin akan mengubah
kehidupan kami.
Sayangnya, setelah semuanya
siap dan tingggal membeli ayam, Abah mertua saya bertandang ke rumah. Beliau
mengutarakan ketidaksetujuannya pada usaha yang akan kami jalankan. Alasannya begitu
sederhana, beliau tidak mau pada akhirnya kami menanggung rugi seperti famili
di Ambunten yang juga rugi dalam usaha ini. Tetapi belakangan saya menyadari
bahwa alasan itu sangatlah klise. Sebenarnya Abah tidak ingin terpisah dari
Eng. Beliau khawatir Eng tidak punya kesempatan untuk ke rumah Ambunten jika
kami terlalu sibuk.
Saya maklum karena Eng adalah
anak laki-laki satu-satunya di keluarga mertua saya. Kalau Abah sakit, yang
paling sering disebutnya adalah nama Habibi. Bahkan semua perabotan rumah, mulai
dari piring, sendok, ember tahu, sampai karung kedelai diberi nama HBB. Saya
menyadari sepenuhnya bahwa dialah anak yang paling disayang. Akhirnya semua peralatan
yang telah kami beli terborong dengan separuh harga pada pembisnis ayam petelur
dari desa tetangga. Harapan saya tertelan. Kami balik badan.
Usai kejadian itu, kami lebih
sering berada di Ambunten dari pada di Tambuko. Eng membantu usaha pabrik tahu
tempe yang dirintis Abah Senin sampai Jum’at, Sabtu Minggunya kami membantu
mengajar di SMP Islam swasta yang dikelola oleh Paman saya, suami dari sepupu Ibu.
Tetapi lama kelamaan kami berpikir bahwa
tak nyaman rasanya bila terus bergantung pada keluarga. Tak nyaman pula bila
kami harus terus bolak-balik Ambunten-Tambuko dalam waktu yang begitu sering. Maka
kami memutuskan untuk memulai usaha mandiri.
Bukan kebetulan, almarhum Ayah
saya meninggalkan sebuah bangunan toko yang dulu dikelola Kakak. Setelah Kakak
memulai usaha di Bali, toko itu perlahan bangkrut. Toko-toko di kampung memang
lebih sering dihutangi dari pada dibeli. Buktinya buku bon hutang bejibun dari
nama dan angka. Walhasil toko tersebut menjadi lebih besar pasak dari pada
tiang. Akhirnya kami mengalami apa yang orang-orang sebut bangkrut.
Bertahun-tahun toko itu mati,
sunyi. Setiap sore, saat menghidupkan lampu, saya merasa nestapa memikirkan
betapa teganya saya menelantarkan sesuatu yang Ayah tinggalkan. Kadang-kadang
saya menangis dalam hati memikirkan perjuangan ayah yang saya akhiri dengan
kesia-siaan. Kadang pula ada sinar terang dalam diri yang meyakinkan saya untuk
membukanya kembali, suatu hari nanti. Entah kapan.
Setengah bulan yang lalu Ibu berembuk
dengan Eng tentang seseorang yang akan menyewa toko. Ibu menyampaikan bahwa
orang tersebut akan membuka warnet. Eng sepakat dan memasang tarif tahunan.
Tetapi saya merasa ada aura kepedihan di mata Ibu. Saya yakin beliau berharap
kami sendiri yang membuka toko itu kembali. Tetapi beliau juga pasti mengerti
bahwa tak mudah mengumpulkan banyak biaya sebagai modal. Kami semua ada dalam
lingkaran dilema. Dilema panjang yang menunjukkan jalan baru.
Untunglah Ibu belum
menyampaikan kepada calon penyewa toko itu. Karena seminggu setelah berembuk,
Eng mengajak saya ke pasar untuk belanja peralatan es krim. Ya, kami akan
berjualan es krim! Tiga hari setelah mulai berjualan, kami berjumpa kendala
lagi. Pintu ruang freezer kulkas
keluarga kami rusak sehingga es tidak mudah membeku. Kami sudah nekat dengan
usaha ini, maka selanjutnya pun harus lebih nekat. Kami butuh kulkas baru
khusus freezer, tetapi dari mana uang
untuk membeli? Saya akhirnya merelakan cincin pemberian Eng yang dibeli dari
tabungan kami selama ini. Untuk apa memakai emas? Bukankah emas memang bentuk
dari tabungan yang bisa dijual sewaktu-waktu jika ada keperluan? Walau Eng
berat hati saya coba membujuknya dengan kemampuan yang saya punya.
Kulkas baru datang. Semangat
baru semakin menggebu. Dimulai dengan basmalah, kami membuka toko kembali
dengan berjualan es krim serta pentol ikan cakalan yang diracik Eng sendiri. Sebelum
menuliskan catatan ini, saya selalu teringat Madrenya Dewi Lestari. Imajinasi
saya menampilkan gambar Tansen yang mendapat warisan kunci saat menghadiri
pemakaman seseorang yang sama sekali tidak ia kenal. Dengan kunci itu, ia mebuka
sebuah toko roti “Tan de Bakker” yang mati suri selama lima tahun.
Tansen juga mendapat kejutan
dari dalam lemari pendingin! dia
mendapatkan Madre. Madre adalah adonan putih keruh atau adonan biang
hasil perkawinan dari tepung, air dan fungi bernama Saccharomyses exiguous yang
lahir pada tahun 1941. Dengan bimbingan Pak Hadi, orang yang menyerahkan
warisan, Tansen begitu bersemangat memulai kehidupan barunya. Tansen jua sering
menulis di blog menceritakan kisah yang ia alami, mulai dari silsilah keluarga
baru hingga Madre.
Saya tertegun mengingatnya.
Ada banyak pelajaran yang dapat dipetik. Betapa kami harus mempelajari berbagai hal dalam menjalani hidup dan memiliki
pemikiran yang matang dalam menatap masa depan. Kisah rajutan Dee itu begitu
menginspirasi bagi saya. Seakan ruh Madre mengalir dalam kehidupan kami,
berdenyutan di nadi ini.
Tambuko, 03 Januari 2015
2 komentar:
wah, keren! semoga sukses ya. saya juga senang berniaga, saya terinspirasi oleh Rasulullah yang menjadi pebisnis sukses di masa mudanya. Rasulullah juga pernah bersabda bahwa seorang yang tangannya kasar karena bekerja itu lebih baik daripada seorang yang berpangku tangan.
semangat, ya!
i'll always support u... :)
kapan-kapan saya juga akan menulis kisah seperti ini juga :D
salam rindu,
Zyadah
Terima kasih sudah mampir untuk menyemangati saya, Ning. Ayo segera menikah. Saya tunggu ceritanya. Eheeee...
Posting Komentar