Dalam satu pekan, dua orang tetangga saya meninggal dunia
susul menyusul. Belum genap tujuh hari, dua orang desa tetangga pun wafat
bergiliran. Maut memang tak pandang usia. Tua atau muda kalau sudah sampai pada
janjinya akan pulang ke rahmatullah kapan pun saja.
Lumrahnya, tahlilan di desa dilaksanakan usai shalat isya’.
Berhubung yang wafat bukan hanya satu atau dua orang, maka ada pula tahlilan
yang digelar bakda shalat asar. Tentu kondisi macam ini akan sangat menyibukkan
kaum lelaki. Tetapi yang terpenting dan menarik bukanlah bahasan tentang
kesibukan mereka, melainkan pernyataan suami saya tentang bagaimana orang-orang
yang wafat “membangun nama” semasa hidupnya.
Istilah membangun nama yang baru saya dengar itu hanyalah
karangannya semata saat saya mulai belajar silsilah keluarganya dari bani
Jalalain.
“Eng, kalau Si Anu itu termasuk kemenakan sepupu dari Ayah
kenapa ia tidak pernah ke rumah?”
Pertanyaan saya yang hanya satu potong itu ia jawab dengan
beberapa bahasan. Dan begitulah saat saya bertanya apa saja, tentang bola,
elektronik, otomotif, sampai kancing dan resleting pun cakupan bahasannya akan
sangat luas. Saya menyukainya dan ingin selalu bertanya meski saya akan
dianggapnya sangat cerewet.
“Karena Abanya Si Anu sudah wafat.”
Apa hubungannya, batin saya. Tetapi tanpa pertanyaan itu
diungkapkan, ia melanjutkan jawabannya. Pada akhirnya saya mengerti bahwa ada
atau tidak adanya sesepuh sangat berpengaruh bagi ikatan tali kefamilian
keturunannya. Mungkin karena anak cucu yang sungkan bahkan malas ke rumah
sesepuh untuk menyambung tali kekeluargaan atau sesepuh yang tak mau
menyambangi anak cucu dan mengajari mereka silsilah keluarga. Pada kata
sungkan, malas, dan tak mau inilah puncak awal perpecahan keluarga.
Suami saya juga menjelaskan bahwa sejatinya semua orang yang
telah dewasa tengah mengumpulkan citra. Citra baik atau buruk itu akan tampak
tanpa dipamerkan. Jika seseorang menabung banyak citra kebaikan, baik bagi diri
sendiri maupun orang disekitarnya, maka tak perlu meminta untuk dihormat sebab
keharuman dirinya akan semerbak tercium oleh dunia yang menjadikannya penuh
wibawa. Pada titik itulah nama seseorang terbangun dengan sangat kokoh.
Selanjutnya saya tak hanya mengerti tapi memahami secara
dalam tentang pribahasa “harimau mati meninggalkan belang, sedangkan gajah mati
meninggalkan gading”. Tanpa diperintah, orang-orang akan membedakan siapa yang
mempunyai citra baik dan buruk.
Saya lalu membandingkan empat orang yang meninggal dunia di
sekitar saya itu. Ternyata benar, orang-orang masih berpikir dua kali untuk
tahlilan ke rumah almarhum Fulan atau Fulanah. Bahkan beberapa bulan yang lalu,
saya ingat, di desa saya ada seorang kakek yang meninggal dunia. Setiap malam
yang bertahlil dan mendoakannya tak lebih dari sepuluh orang. Sementara itu ada
pula almarhum yang dihadiri jama’ah tahlil lebih dari lima ratus orang tiap
malamnya.
Ini adalah suatu perbandingan nyata betapa kebaikan akan
mengharumkan nama kita bahkan setelah kita tiada. Dan tanpa kita sadari, detik
ini kita tengah membangun nama.
Tambuko, 22 Oktober 2013
1 komentar:
Ooo.. iya, iya, iya..
Posting Komentar