Pada saat itu (30/11/09), saya dan ketujuh teman lainnya berkesempatan untuk berpetualang ke goa Payudan. Goa yang menyimpan seribu kenangan tentang mistik, cinta dan teka-teki. Tempat para pendahulu mengukir sejarah madura.
Degan amat bangga kami mendaki gunung layaknya kelompok Laskar Pelangi yang tergabung dalam anggota Societied de Limpai. Bedanya, jika anggota de Limpai tersebut terdiri dari banyak laki-laki dan satu orang perempuan, kelompok kami sebaliknya. Banyak perempuan dan satu lelaki. Meskipun begitu saya sudah merasa cukup aman dan tenang.
Bersama terik yang lurus di atas ubun-ubun, kami berjejer rapi seperti semut melewati sawah luas yang ditumbuhi tunas-tunas jagung. Sengatan matahari yang begitu menggigit terabaikan oleh riangnya kami bersenandung bergantian. Merenungi ciptaan Tuhan yang tak tanggung-tanggung indahnya. Saya pun bernyanyi dengan volume yang amat kecil karena saya malu jika lagu yang saya senandungkan itu terdengar oleh seluruh kawan. Ssst… lagu itu berjudul: Apa Kata Bintang milik Gita Gutawa yang dirilis sekitar tahun 2008 lalu.
Tak terasa, usai saya bernyanyi peluh-peluh bercucuran dari seluruh penjuru badan. Nyeri lutut, betis, dan tumit mulai terasa. Kering kerongkongan saya. Haus. Akhirnya kami memutuskan untuk beristirahat sejanak di sebuah gubuk kecil yang terletak di pinggir sawah di dataran yang agak tinggi----tempat petani beristirahat atau menjaga tanaman dari gangguan hama.
Di sana kami hanya minum air putih. Sedangkan bekal belum kami sentuh. Kami bersepakat untuk membukanya setelah samapai di tujuan. “Sedikit saja kalau minum! Ntar yang lain gak kebagian.” Celetuk salah satu kawan. Maltufah namanya.
Persediaan air yang kami bawa memang sangat terbatas. Hanya satu muk kecil saja. Sebenarnya kami berencana membawa muk yang berukuran lebih besar, namun mengantisipasi ketidak mauan anggota untuk membawa, rencana tersebut gagal. Akhirnya dengan penuh kekompakan air yang amat sedikit tersebut kami bagi rata.
Lelah dan dahaga sudah sedikit terobati, kini kami harus melanjutkan perjalanan panjang yang baru kami tempuh ¼ saja. Saya tetap semangat, meski saya dan Ulfa sering tertinggal karena berjalan terlalu lembek. Meskipun bergitu kami berdua tetap ceria dan menyempatkan berteriak, “Tunggu, Bang!” serempak kami lantang. Ini akal-akalan kami berdua saja agar teman-teman mengunggu kami.
Setelah menempuh separuh perjalanan berliku dan rimbun oleh tumbuhan liar, akhirnya kami manemukan jalan beraspal yang lurus menuju goa. Tanjakan semakin curam. Kaki ini semakin berat rasanya untuk melangkah. Dalam diam saya bernapas panjang. Ingin rsanya berhenti di situ dan tak melanjutkan perjalanan. Namun, keinginan yang sungguh pengecut tersebut pupus oleh sorak kawan yang begitu menggebu.
Dari ketinggian kami dapat melihat sawah-sawah yang terhampar luas dengan pepohonan kelapa yang berjejer rapi. Membuat saya merasakan dejavu. Semakin tinggi saya mendaki semakin bisa saya menikamati alam yang elok di musim jagung. Rumah-rumah berpetak-petak sangat rapi seolah bukan dunia nyata. Laksana dunia khayalan yang diimpikan banyak orang. Saya hanya menggeleng dan bergumam: subhanallah. Tak salah jika Kek Lesap, Putri Kuning, Adi Poday dan yang lainnya memilih untuk bertapa di tempat yang amat indah ini.
Di sela-sela waktu saat kami menikamati keindahan alam dengan amat dalam, kami juga ditakutkan oleh suara kerosak, anjing menggonggong, atau bahkan sesekali desis ular. Mereka terasa amat dekat dengan kami. Di semak-semak pinggir jalan yang kami lewati. Kanan dan kiri. Terkadang pula kami ditakutkan oleh suara sesama teman yang pura-pura meniru bunyi hewan. Suasana jadi tambah menegangkan namun kocak.
Setelah menempuh perjalanan yang amat panjang, akhirnya kami sampai di kamar mandi terbuka tempat para petualang mencuci muka atau sekedar mengambil air. Dari situ kami sudah dapat melihat halaman goa. Kira-kira 40 meter lagi kami sudah sampai. Artinya bekal akan segera di buka. Hore!
Air sudah penuh. Selanjutnya tinggal proses terakhir yaitu menuju rumah juru kunci untuk pamit masuk goa. Saya dan bak Luf bertugas untuk menghadap. Sedangkan kelima teman yang lain menunggu di beranda.
Bak Luf dengan santai mengisi daftar tamu sebelum ia dikejutkan oleh kalimat sang juru kunci, “Masing-masing orang harus membayar uang sebesar Rp. 2.500.”
Alis bak Luf mengernyit ke arah saya. Saya mengerti apa maksudnya. Tentulah artinya ia keberatan. Untunglah bak Luf pintar bernegoisasi yang membuat kami hnya membayar Rp. 15.000,- saja.
Dengan kecepatan yang tinggi, saya melangkah dengan pasti melewati 30 anak tangga. Kemudian menatap bangga mulut goa yang menurut saya peuh teka-teki itu. Tentang batu ular yang meneteskan air, tentang cinta Putri Kuning, juga tentang si anak ajaib Adi Poday.
Pada bebatuan yang besar saya beristirahat sendiri. Sementara teman-teman yang lain sibuk memilih tempat yang berbeda. Sejenak seolah kami terpisah berkeping-keping---berpetualang dengan angan masing-masing. Saya keluarkan kertas dan balpoin dari dalam tas kesayangan saya. Saya berniat menulis sesuatu, namun rencana tersebut urung saat Titin menyuguhkan bekal di hadapan saya. Ada markisa, jambu, pisang, dan kripik kencur (dalam bahasa Madura kami bisa menyebutnya latkolat). Saya tak menyia-nyiakan waktu lagi. Saya langsung mengambil jambu masak.
Momen inilah saya dapat merasakan kebersamaan yang teramat. Sepertinya kami telah melaksanakan sistem holopis kuntul baris. Dan ini amat menyenangkan.
“Hei lihat! Ada kera di atas pohon.” Teriak si Kecil. Dengan sigap ia meminta pisang pada bak Luf. Sesaat kemuadian terjadialah suasana tegang. Saat ia menaiki pohon besar di atas jurang untuk memberikan pisang tersebut pada sang kera. Sang kera pun semakin lari ke atas. Kami kembali lega ketika ia berhasil turun dengan selamat.
Kera-kera itu…
Senang rasanya dapat melihat mereka pada kesempatan ini. Jarang-jarang mereka keluar sekedar menampakkan muka. Tapi kini ada 3 ekor kera besar dan 1 kera kecil bermain bersama kami. Rasa senang ini semakin terasa saat tiba pada giliran saya memeberikan pisang. Kera-kera itu rakus mengambil pisang yang saya lemparkan. Masih tinggal separuh pisang di tangan, mereka mangambil lagi tanpa berpikir panjang apakah teman saya dapat atau tidak. Pada adegan ini saya dapat memetik pelajaran bahwa orang rakus dan tak berperasaan itu seperti kera.
Cukup lama kami bermain-main. Kami terpana melihat lincah cerdas kera dalam memanjat pohon sampai ke ranting-ranting. Cara mereka makan dan cara mereka menatap kami.
Keasyikan bermain tidak membuat kami lupa akan acara terpenting kami. Yaitu masuk goa, bertahlil dan wawancara pada sang juru kunci. Les’s go.
Kami pun bersiap masuk goa dengan membawa dua seneter yang disediakan oleh juru kunci. Hening. Saya dapat merasakan air murni yang menetes dari batu mulut goa ke dalam gentong. Ini juga salah satu keanehan yang terjadi. Menurut saya keanehan ini merupakan teka-teki yang tidak berkesudahan. Tak ada yang tahu. Tak satu pun. Kecuali Tuhan.
Dengan tertatih kami menyusuri jalan yang amat sempit dan petang. Di dalam goa kami bertahlil dengan syakral dan penuh perasaan. Sayang, kami tak dapat masuk bersama. Salah satu teman kami tak dapat idzin masuk. Katanya selain mahrom tidak boleh masuk bersama. Dia memeilih untuk duduk di halam goa saja.
Senja masih muda. Semua kegiatan telah selesai dilaksanakan. Kami harus segera berkemas. Saat berkemas tiba-tiba saya ingat Ibu. Saya agak takut kalau-kalau Ibu mencemaskan saya. Tapi hati kecil saya berusaha menguatkan dan meyakinkan bahwa Ibu tidak sedang cemas sebab sebelumnya saya sudah pamit.
Bersama senja yang masih muda kami menyusuri jalan beraspal yang semula kami lewati. Tapi kami tidak lewat sawah lagi. Kami berniat mampir ke rumah kawan di lereng bukit.
Dalam perjalanan pulang, kami tak mengenal jeda. Kami berjalan seperti mobil tanpa kendali. Bahkan hebatnya kami mengalami akselerasi dalam melaju. Jalan yang kami tempuh seperti hanya separuh dari perjalanan berangkat.
Saya lebih takjub lagi ketika melewati sumber Beddih. Air-air mengalir ke seluruh penjuru arah. Begitu bening dan riaknya membuat saya tergoda untuk mandi. Namun hati saya sedikit miris ketika melihat sampah-sampah bertebaran di sekitar sumber bahkan tergenang di atas air. Saya jadi membayangkan nasib sumber-sumber di seluruh tanah air jika anak-anak bangsa tak dilatih agar peka dan peduli terhadap lingkungan sejak dini.
Lamunan saya menjadi buyar saat teman-teman mengajak segera berangkat ke rumah bak Vita dan bak Ana FM. Maka serempaklah kami berangkat. Seperti Maleo lari lari di jalanan saja. Hanya sejenak kami bertamu lalu kembali meneruskan perjalanan.
Seperti biasa, saya dan Ulfa selalu tertinggal. Kami berdua memang selalu berjalan lelet. Entah jalan teman-teman yang semakin cepat ataukah saya dan Ulfa yang semakin lelet. Kami jadi ketinggalan jejak. Kami dihadapkan pada dua jalan yang bercabang dan bingunglah kami harus lewat yang mana.
Kami berdua pasrah dan siap menghadapi apapun resiko terhadap jalan yang kami pilih. Sesaat kemudian, kami sadar sepenuhnya bahwa kami nyasar. Tak ada tanda-tanda teman kami di depan sana. Kini kami berdua tertawa berhadap-hadapan.
Jadilah kami berdua naik gunung lagi untuk mencara jalan yang tepat. Dari ketinggian saya dapat melihat teman-teman kebingungan mencari kami berdua. Saya memberi aba-aba bahwa kami telah kemabali ke jalan semula. Saya kira mereka akan membiarkan kami berdua tertinggal atau tersesat, namun tidak. Mereka sungguh teman-teman yang baik. Dari situ, saya dapat merasakan kebersamaan yang jika diukur, nominal pun tak bisa. Tawa kmi lepas bersama angin di sore itu.
Gubuk Karang Jati, 08 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
-
Dalam hidup kita membangun sebuah cerita. Ketika cerita itu berlalu ia berubah nama menjadi kenangan. Masing-masing kita memilikinya. Namun...
-
Generasi tahun 90-an pasti tidak asing dengan sinetron Gerhana. Drama serial televisi menceritakan tokoh bernama Gerhana yang lahir bertepat...
-
Selama menikah, kejutan dari suami hampir bisa dihitung jari. Bagi saya yang memang agak sedikit cuek dengan hadiah, itu adalah hal wajar. N...
4 komentar:
Cerita yg bagus. Kalau ada fotonya, bisa tambah keren tuh.
Oya, sekitar awal 2002 dulu saya ke situ, sepertinya ga pake bayar..
Satu lagi: penggunaan kata "moratorium" tidak pada tempatnya. Lihat kamus.
Siyah. Mantep, gayeng ceritanya. renyah dan gurih, seperti krupuk.
Terus tambah maju, Corn!
Membaca sepenggal cerita perjalanan ke Payudan, sungguh telah menumbuhkan kembali kerinduan saya akan panorama bukit kecil tertinggi di seluruh negeri Madura.
Nanda Corn dengan bahasa sederhana telah mampu menorehkan apa yang terlihat dan yang terasa selama perjalanan menuju Payudan. Dengan begitu, maka pembaca seolah-olah diajak berjalan kaki menyusuri semak-semak sambil sesekali harus melangkah dengan mengangkat kaki tinggi-tinggi karena batu sebesar bayi menghalangi jalan kita.
Tapi, lain kali harus hati-hati dengan bahasa khas santri semisal: ketidakmauan. Kata itu bukankah bisa diganti dengan keengganan?
Oke, selamat berkarya. Kalau bisa, tuliskanlah sebuah cerpen berdasarkan pengalaman langsung datang ke Payudan. Hasilnya pasti eksotis.
Kami dulu memulai mengarang dengan cara sederhana seperti itu.
wah, bagus banget ceritanya! ini kan yang bareng aku ya?? kok aku gak diceritakan juga di dalamnya??
HARIRI MH
Posting Komentar