Di penghujung tahun ini, senang sekali saya berkesempatan mengikuti acara RAKARA residensi cerpen yang diadakan oleh Lesbumi MWCNU Gapura, Sumenep, bekerjasama dengan komunitas Damar Korong. Inilah acara yang ingin saya ikuti sejak lama, bermukim di sebuah tempat untuk mengisolasi diri dari riuhnya dunia demi menemukan kembali gairah dan konsentrasi menulis. Tak disangka, dari acara ini saya benar-benar menemukan hal luar biasa dan bahkan di luar ekspektasi.
Awalnya saya mendapat informasi acara ini dari guru saya, Kiai M Mushthafa. Beliau memantik semangat menulis saya yang telah lama redup. Berbekal izin suami dan karya cepen amatir yang coba saya tulis lagi secara dadakan alhamdulillah saya lolos sebagai 15 peserta dari 46 pendaftar se-Madura.
Bagi saya ini adalah awal yang baik untuk mulai menekuni kembali proses tulis-menulis. Benar saja, saya dipertemukan dengan orang-orang hebat sebagai mentor di acara tersebut. Sebutlah Matroni Muserang, A. Warist Rovi, Khairul Umam, Siswanto, serta mentor lain yang telah lama berkecimpung di dunia sastra, menerbitkan buku, dan menembus media-media hebat di Indonesia. Tak terbayangkan pula di antara 15 peserta itu, saya dipertemukan kembali dengan Ummul Hasanah, kawan lama sesama alumni Annuqayah yang lama tinggal di Fiji sebagai staf khusus di Kedutaan Besar Rapublik Indonesia.
Meski cukup singkat, yakni dua hari dari tanggal 27-28 Desember, acara ini benar-benar memberikan kesempatan dan kenangan berharga bagi saya. Terutama di hari kedua, saat memulai pagi dengan olah tubuh, tadabbur alam menyusuri jalanan asri daerah Tastaman, riset data tentang produksi gerabah ke rumah warga di desa Andulang, dan kemudian eksplorasi pantai Bintaro yang menyuguhkan eksotisme surga tersembunyi bagi penikmat sepi.
Fokus menulis di bibir pantai Bintaro rasanya seperti meditasi yang mampu menyegarkan mental. Hujan yang tiba-tiba turun sama sekali tak menjadi masalah. Kami semua mulai berkonsentrasi menyusun kerangka cerpen untuk kemudian dipresentasikan di depan mentor pada waktu yang telah ditentukan. Ini sungguh sangat menantang namun juga mengasyikkan. Bermain-main lagi dengan imajinasi, memilah diksi, menyusun paragraf adalah kesibukan yang ingin saya tekuni kembali.
Acara ditutup dengan penampilan dari sanggar Conglet, Language Theater Indonesia, deklamasi, dan musikalisasi puisi. Sayangnya rombongan kami dari SMAGA Annuqayah pulang tanpa menuntaskan acara karena cuaca dan jarak yang tidak mendukung. Di mobil, sambil mendekap tas setengah kering karena kehujanan siang tadi, saya merenungkan banyak hal. Betapa benar adanya bahwa Gapura adalah lumbung sastrawan. Tua muda bergiat di bidang sastra.
Mengamati ketua panitia, Kak Abdullah Member, mendadak saya teringat orang-orang kampung saya yang sebaya dengannya hanya sibuk membajak sawah atau menyabit rumput. Saat remaja di sini mampu berkarya dan pandai beretorika, anak muda di sekitar saya menghabiskan waktu dengan bermain game, tak sempat bersentuhan dengan buku, apalagi menulis. Sungguh semangat literasi adalah sebuah budaya yang mesti diupayakankan sebab bukan tidak mungkin kita akan mampu menggapai kembali kejayaan peradaban Islam yang dulu tegak berkibar. Bismillah.
Tambuko, 29 Desember 2024