Minggu pagi menjelang siang,
sekawanan anak kecil berlarian menyusuri jalan tak beraspal yang di tengahnya
tumbuh mengalir rumput semata kaki. Tampak ibu jari dan telunjuk kaki mereka mencengkeram
leher sandal kuat-kuat saat tiba di tanjakan seram. Kemudian mereka melewati
pematang yang mengharuskan melakukan beberapa lompatan. Di antara anak kecil
itu ada saya, belasan tahun yang lampau, saat saya masih tidak sungkan
menghirup ingus keluar ke dalam.
Bagi anak kecil di segala masa,
hari libur adalah kesempatan berharga untuk bersuka cita. Anak-anak di kampung
kami mengisi hari libur dengan membantu orang tua di sawah. Misalnya hari libur
di musim tembakau, kami membantu mencabut bibit tembakau di bedengan untuk
dipencar di atas lubang tanah gulud. Kala itu kami berangkat terpisah dari para
orang tua karena ingin berlama-lama di sumber Bukoh. Sumber mata air satu-satunya
di desa kami yang subur tak kenal musim.
Sumber Bukoh terletak di lereng
gunung Pangelen, Tambuko, Guluk-Guluk, Sumenep. Tepat di selatan sumber adalah
sawah milik tetangga saya, Pak Matjuher. Jarak yang harus kami tempuh untuk
sampai di tempat itu kurang lebih satu setengah kilo meter. Memang tidaklah
dekat, tetapi sensasi kegembiraan bermain percikan air bersama teman-teman
tidak bisa dibandingkan dengan kebanggan membayar tiket masuk waterpark. Airnya
asli proses alamiah mengalir di antara pohon dan bebatuan.
Dulu banyak sekali ibu rumah
tangga berdatangan untuk mencuci, anak-anak menyemplungkan diri, atau laki-laki
memandikan sapi. Sekali lagi itu dulu, belasan tahun lalu.
Saat ini, jelas sudah jarang
orang-orang bertandang ke sana. Menghindari alasan malas berjalan, pipa air
sudah banyak terpasang dari mulut sumber ke rumah penduduk. Jadi walau tak lagi
disambagi, sumber itu tetaplah mencurahkan kesegaran pada tenggorokan yang
kerontang, pada tubuh yang kepanasan, dan pada jiwa haus akan kesadaran.
Dari seorang kawan masa kecil
yang mengomentari foto saya yang berlokasikan di sumber Bukoh, di media sosial,
saya tahu saat ini banyak masalah terjadi. Bermula dari semakin kecilnya aliran
sumber air, banyak warga berebut dalam urusan pengairan sawah. Beberapa warga
juga mengeluh karena saluran pipa tidak lagi berfungsi. Saya terkesiap baru
tahu urusan macam itu. Maklum terakhir berkunjung sekitar enam tahun lalu.
Hidup lama di pesantren yang ketika pulang langsung dipersunting bindara shaleh,
saya pun manut mengabdi di rumah mertua.
Sebenarnya itu hanya alasan saya.
Untuk bisa menyerap informasi, bergantung pada seberapa kuat keinginan diri.
Semua itu tidaklah terlalu aneh bagi saya yang lebih sering memilih
bermalas-malasan. Tetapi ada yang lebih sinting lagi dari penyakit saya. Semua
orang tahu bahwa air merupakan bagian terpenting dalam hidup. Tapi ironisnya
hampir bisa dipastikan lebih banyak orang yang tidak tahu jika selasa, 22 Maret
2016 kemarin adalah Hari Air Sedunia.
Sebagian orang mungkin
menyepelekan, tetapi sebagiannya lagi memilih berdiskusi mencari solusi
menghadapi krisis air dan memperdalam wawasan tentang betapa berjasanya air
bagi hidup. Misalnya tubuh yang jatuh bangun kita pelihara ini terdiri dari 55%
sampai 78% air. Bumi yang kita huni, melayani dan menyuplai apa yang kita cari,
menampung 71% air yang terus berputar ke atas ke bawah. Coba bayangkan jika
tiba-tiba Tuhan menguji makhluk dengan fenomena sedot air sejagad raya. Apa
yang terjadi? Barang kali kita tak jauh berbeda dengan bangkai ikan di pinggir
lautan. Mungkin karena itulah, air kemudian diperingati setiap tahunnya, di
seluruh dunia.
Namun itu semua hanyalah wacana.
Sedangkan realitas yang ada justru berpunggungan. Sementara sebagian orang memilih
jalan membela lingkungan, lebih banyak lagi yang memilih menghancurkan. Korbannya,
sumber mata air kering karena pohonnya ditebang. Keadaan ini, bukan tidak
mungkin pada akhirnya akan menjadi penyebab kelangkaan air bersih.
Belajar dari Masyarakat Bali dan Mollo
Di beberapa tempat di Indonesia,
di Bali misalnya, pohon di agungkan sebagai arwah keramat. Jangan heran jika di
jalanan pohon-pohon dipakaikan sarung motif kotak berwarna hitam putih. Itu
semua menunjukkan rasa hormat, kepercayaan, rasa terima kasih, dan getaran
ketakutan terhadap eksistensi diri.
Masyarakat Bali percaya bahwa
lambang yang mereka ciptakan adalah jendela yang membuka pandangan terhadap
dunia trensenden. Melalui kepercayaan tersebut mereka terus berusaha menjaga
komunikasi dan keakraban dengan alam. Jadi akan sangat langka menjumpai
penebangan pohon di sana, apalagi secara serampangan. Sebaliknya, tanah dan
airnya subur, lingkungannya pun selalu terlihat eksotis dan menghibur.
Selain Bali ada yang lebih
syakral lagi, orang-orang Mollo, Timor Tengah Selatan (TTS), Flores, Nusa
Tenggara Timur, memandang alam sebagai tubuh manusia. Menurut mereka itulah
kunci keselamatan hidup. Mereka melambangkan batu sebagai tulang, tanah sebagai
daging, air sebagai darah, dan hutan sebagai paru-paru, kulit, dan rambut.
Sebagai darah, air berfungsi untuk menyuplai oksigen dan mengembalikan karbon dioksida
pada hutan atau yang dilambangkan sebagai paru-paru. Jika tak ada air, maka
seperti tubuh kehilangan darah, lenyaplah kehidupan.
Lakukan dari Hal Sederhana
Lalu apa yang bisa kita lakukan
untuk menghadapi kondisi global yang kita bentuk sendiri? Kita coba mulai dari
hal yang paling penting, yaitu membangun kesadaran bahwa kita saat ini tengah
berada di ambang resiko paling berbahaya; krisis air. Aksinya, kita lakukan
dari hal sederhana seperti menghemat air. Untuk berhemat, tidak perlu melakukan
hal-hal sulit seperti sosialisasi, ceramah bertema lingkungan, atau memasang
plakat. Kita hanya perlu mengontrol diri agar menggunakan air sesuai kebutuhan
serta segera mematikan kran air supaya tidak sampai meluap dan terbuang
percuma.
Sejujurnya saya tidak tahu apakah
dengan cara menghemat akan punya dampak untuk melawan krisis air di masa
mendatang, sementara ada lebih banyak orang yang menghambur-hamburkan. Tetapi
jika ini dilakukan bersama-sama, akan lebih memungkinkan menepis nasib sengsara
bagi anak cucu. Bukankah begitu?
Akhirnya untuk menutup tulisan
ini saya hanya bisa mengutip ceramah mantan presiden Gorbachev dari Soviet
dalam peringatan (KTT) Bumi +5 yang dilakukan oleh NGO pada tahun 1997, dalam
paper yang ditulis Maria Hartiningsih untuk acara lokakarya bertema lingkungan
yang diselenggarakan Satunama, Yogyakarta. Beliau mengingatkan bahwa manusia
sedang menghancurkan dirinya sendiri dengan menghancurkan alam dan lingkungan.
Namun alam dan lingkungan akan memperbarui dirinya sendiri secara incremental
pada saat manusia tak bisa lagi bertahan.
22 April 2016.