Zakiyah akhirnya
dibawa ke Puskesmas setelah sebelumnya tiga dukun beranak tak sanggup menangani
proses persalinannya. Ia dibonceng suaminya dengan motor tua berwarna hitam
polos tanpa nama. Yang tampak di bagian bawah lampu depannya adalah tulisan
Honda. Tangan perempuan berbadan buncit itu gemetar berusaha menguatkan
pegangannya ke pundak suaminya. Bibirnya pucat pasi menggumamkan rintihan di
sepanjang perjalanan.
Usia kandungan Zakiyah sudah
satu tahun lima bulan dua puluh tiga hari. Kejadian di luar kebiasaan itu
mengundang buah bibir segar para panduduk kampung. Obrolah-orolah kecil
mengenainya bisa dijumpai di warung-warung kopi,
“Sebernarnya
Zakiyah itu mengandung anak apa sih?”
“Mungkin...
karena keburu punya anak, trus si Sulaiman tak kunjung berhasil, akhirnya dia
mau ngawinin istrinya sama setan. Hiiiiiii... ngeri!”
“Hus!
Sembarangan kamu, Mad! Sulaiman itu orangnya takwa. Istrinya perempuan saleha yang
rajin ngaji. Mana mungkin dia bersekutu dengan setan!”
“Mungkin
saja... ketimbang salah satunya dibilang mandul, iya kan?!”
Atau kau bisa menguping
perkumpulan ibu-ibu arisan,
“Ayo,
Bu... dikocok lotrenya. Jangan sampai gak keluar-keluar kayak jabang bayinya si
Zakiyah, lho... hehe.”
“Ah
iya, kalau saya sih yakinnya tu jabang bayi kena kutukan.”
“Bukan,
saya kurang sependapat dengan situ, Jeng. Bukan si jabang bayi yang kena kutuk,
tapi keluarganya Zakiyah tujuh turunan kali...”
“Eh
ya? Kalau saya mengira, tu jabang bayi sudah mati dalam kandungan sebelum lahir
ke dunia hihihi.”
“Ai...
Bu Enda ini bisa aja!”
Atau barang kali kau
tengah berjalan-jalan santai melewati got jembatan tempat para remaja
nongkrong. Kau bisa mendengar tebakan macam ini,
“Apa
isi perutnya Zakiyah?”
“Di
dalam perut ada perut-perutan.”
“Hahaha...
ya bisa diterima.”
“Ayo,
apa lagi.”
“Kenapa
jabang bayi alias perut-perutannya gak mau keluar?”
“Karena
dia gak mau hidup melarat. Hahay.”
“Bisa,
bisa, bisa!”
Begitulah
Zakiyah dan suaminya, Sulaiman, harus menerima gunjingan dari seluruh penjuru
kampung. Tentulah nasib yang demikian seperti sebuah seretan paksa untuk masuk
ke dalam jurang yang petang dan dalam. Sungguh sangat menyedihkan.
Mereka hanya tinggal berdua saja, karena sejak
menikah keduanya sepakat untuk berpisah dari mertua. Keputusan itu atas dasar
kesepakatan berdua, meski sebelumnya Zakiyah benar-benar tak mau dinikahkan
dengan Sulaiman. Tetapi akhirnya ia tahu bahwa Sulaimanlah yang terbaik bagi
hidupnya. Bukti bahwa suaminya bertanggung jawab, kini, Sulaiman tidak mau
tergantung pada mertuanya. Mayoritas, mereka yang tak mau berpisah dengan orang
tua, masih banyak bergantung untuk sekedar mengepulkan asap tungku.
Untuk
itu, dengan segenap keberaniannya Sulaiman membawa Zakiyah pada kehidupan yang
sama sekali baru. Mereka membangun rumah di desa Rembulan, tepat di kaki bukit Pangilen.
Di bukit itu, mereka benar-benar mendapatkan kehidupan baru yang menyatu dengan
alam. Zakiyah bisa merasakan angin fajar mengalir lewat rumput selutut membelai
mukenahnya usai melaksanakan shalat subuh berjemaah. Begitu pun Sulaiman yang
memandang kebahagiaan adalah memiliki perempuan shaleha.
Sampai
akhirnya Tuhan menunjukkan jalan takdir kehidupan rumah tangga mereka yang tak
disangka-sangka. Tuhan menganugerahi mereka calon anak yang tak kunjung lahir
ke dunia. Itu tak membuat keduanya gentar dan berputus asa atas karunia Tuhan. Meski
seluruh kampung kini menghangatkan pembicaraan dengan kejadian itu, tetapi
Sulaiman justru meneguhkan hati Zakiyah dan terus mengajaknya berdo’a agar
Tuhan memberi jalan keluar.
“Tuhan adalah
sebaik-baiknya jalan keluar. Teguhlah! Kau pasti mampu, Dik,” kata Sulaiman
ketika menemui Zakiyah tersedu sepulang dari mencuci beras di sumber. Sumber itu
biasa digunakan sebagai tempat penduduk mandi dan mencuci. Anak-anak kecil
biasa berenang, bermain air, dan menangkap udang di sana. Barang kali telah ada
seseorang yang menyentuh perasaan terdalamnya.
Untunglah
di saat-saat Zakiyah butuh orang banyak untuk menguatkannya, orang tua dan
mertuanya berkunjung ke rumahnya. Karena mertuanya seorang peracik jamu
tradisional, dia tak jarang mendapatkan buah tangan jamu khusus ibu hamil. Orang
tuanya pun tak kalah perhatiannya. Zakiyah selalu dibelikan susu penunjang
kesehatan ibu hamil dan vitamin bagi jabang bayinya. Tetapi kebaikan mertua dan
orang tuanya itu justru semakin membuatnya bersalah karena tak kunjung menganugerahi
mereka cucu yang lucu dan menggemaskan.
“Mas,
ibu pasti sudah rindu menggendong bayi,” katanya lirih. Matanya berkaca-kaca
menahan bendungan air yang tak kunjung mengalir. Gurat merah di mukanya seperti
menahan kesedihan mendalam yang berkepanjangan.
“Sudahlah.
Yakinlah saja, bila saatnya tiba, bayi kita akan lahir dengan wajah kombinasi
bibir mungilmu dan mata tajamku. Hmm...” mendengar suaminya menggombal, Zakiyah
tak dapat menahan tawanya. Air mata yang tadinya mau tumpah, kini mengalir
bersama garis senyum yang mengembang di mukanya. Betapa hidup tak kan indah bila tak diselingi
dengan sesekali canda untuk mengisi spasi dari waktu ke waktu.
©©©
Bukan
tak pernah ada tanda-tanda kelahiran. Suatu malam, saat manusia dan jagat raya
terlelap dalam dunia masing-masing, Zakiyah mengeluh kesakitan kepada suaminya.
Kala itu, kandungannya masih berusia delapan bulan dua puluh hari. Sulaiman
terlonjak dari tempat tidurnya, memegang erat tangan istrinya, mengusap rambut
panjangnya, dan sesekali mengecup keningnya. Ia menguatkan istrinya untuk
bertahan sebelum berangkat menjemput dukun yang berjarak sekitar satu kilometer
dari rumahnya. Mak Sumaryam namanya.
Mak
Sumaryam sudah kesohor kecakapannya membantu perempuan melahirkan dengan
sukses. Tak hanya dari desa Rembulan saja yang mengandalkan tenaganya, tetapi
dari desa tetangga juga kerap kali berkunjung ke kediamannya atau menjemputnya
dengan hormat.
Malam
itu pun Sulaiman tergopoh memakai sarung dan kopyah. Ia segera memanaskan mesin
motor bututnya yang setia menemani perjalanannya dari masih muda sampai hampir
menjadi seorang ayah. Suara knalpot motornya yang cukup cempreng itu berhasil memecah
malam yang senyap. Sepanjang perjalanan, mulut Sulaiman komat-kamit membaca
do’a untuk istrinya. Ia berharap sepulangnya dari rumah Mak Sumaryam nanti
istrinya tetap sehat dan mampu melahirkan anaknya dengan selamat.
Lelaki
berpeci hitam yang hatinya cukup gemetar itu menekan rem sesampainya di halaman
rumah Mak Sumaryam. Beranda rumah itu hanya memakai lampu dengan kapasitas lima
watt. Sorot cahaya lampu itu mengarah pada bunga mawar merah yang berjejer rapi
memagari rumahnya. Sehingga bias komposisi keduanya menggambarkan suasana
rumah-rumah pada masa lalu.
Ragu,
Sulaiman mengetuk pintu. Dalam hatinya terlintas perasaan tak enak bila
menganggu tidur Mak Sumaryam. Tetapi bayangan istrinya yang menjerit kesakitan
meyakinkan tangannya untuk mengetuk pintu dan memaggil salam.
“Siapa?”
suara tua dengan nada gemetar menyahut dari dalam.
“Saya,
Mak Su... Saya Sulaiman. Suaminya
Zakiyah.”
“Ah,
yayaya...” sebentar kemudian, terdengar suara kaki menggeser sandal.
“Zakiyah
mengeluh kesakitan, Mak. Saya khawatir dia sudah sampai waktu melahirkan.”
“Tunggu.
Saya siap-siap dulu,” jawab perempuan lanjut usia yang rambutnya telah sempurna
berwarna putih itu. Ia memang tak pernah banyak kalau berkata-kata. Hanya
sepatah-sepatah. Tetapi jelas, nadanya tampak ramah dan membuat semua lawan
bicaranya merasakan keseganan. Selain tersohor menjadi dukun, ia memang
mewarisi garis keturunan darah biru dari seorang raja. Sehingga keluarganya
menjadi tokoh masyarakat yang dihormati.
Di
luar, Sulaiman telah menunggu dengan perasaan campur aduk antara cemas dan
bahagia membayangkan anak pertamanya lahir ke dunia. Mak Su keluar dengan
menggenggam kresek hitam berisi alat-alatnya. Ia memberi aba-aba pada Sulaiman
bahwa dia telah siap meluncur.
Sesampainya
di tempat, Mak Su diantar ke kamar Zakiyah.
Sebagaimana umumnya para dukun
melahirkan, ia juga menanyai terlebih dahulu rasa sakit apa, seperti apa, dan
di bagian mana gerangan rasa sakit yang dirasakan perempuan hamil itu. Zakiyah
menjawab tak jelas, membuat Mak Su sedikit kebingungan.
Mak
Su memijat-mijat Zakiyah. Mulai dari betis sampai semua titik yang membuat
tubuh perempuan itu lentur. Mak Su sampai menguap ngantuk, tetap tak ada
tanda-tanda si bayi mau keluar. Sampai akhirnya pagi menggelar subuh pun
Zakiyah malah semakin nyaman-nyaman saja kelihatannya. Dengan perasaan malu,
Sulaiman berterima kasih dan lalu mengantar Mak Su pulang selepas shalat subuh.
Dan
begitulah berulang kali kejadian serupa itu berlangsung. Mak Su sudah tiga kali
dijemput secara dadakan. Sampai Sulaiman tak nyaman sendiri, sehingga ia
diam-diam mengundang dua dukun lain yang juga bernasib tak jauh berbeda dengan
Mak Su. Tak jadi membantu melahirkan melainkan hanya memijat-mijat saja. Sampai
akhirnya tak ada dukun yang bersedia untuk membantu kelahiran Zakiyah karena
semua orang kini tahu gosip terbaru mengenai perempuan yang tak kunjung
melahirkan itu.
Itu
membuat keluarga Zakiyah dan Sulaiman harus menanggung malu yang luar biasa. Terlebih
bagi pasangan suami-istri yang umur pernikahannya masih dua tahun itu. Sulaiman
akhirnya memutuskan untuk membawa istrinya ke Puskesmas saja kalau-kalau secara
dadakan ia mengeluh sakit perut lagi. Rasa cemas yang tampak di wajah Sulaiman
membuat istrinya merasakan was-was akan kondisi anaknya yang kini masih dalam
rahimnya.
Begitukah perasaan seorang ibu bila buah
hatinya tak kunjung menyapa dengan tangis? Ah, siapa pun ibu, yang jelas ia
telah berusaha melewati masa-masa antara hidup dan matinya. Ia yang bersedia
berjuang dengan segenap jiwa raganya demi melahirkan seorang generasi di muka
bumi.
©©©
Hingga
benar-benar datang masa itu. Setelah kandungan Zakiyah sampai di usia satu
tahun enam bulan, akhrinya Sulaiman yakin bahwa anaknya akan lahir. Zakiyah
terus berusaha menguatkan pegangannya yang gemetar. Seperti tak ada daya untuk
memegang perut suaminya. Lelaki dengan badan tinggi tegap yang menyetir motor
dengan sebelah tangannya itu juga berusaha
memegangi lengan istrinya dengan tangan yang satunya. Sekilas mereka tampak
seperti lambang kekuatan yang mengentaskan kerapuhan. Mungkin itu yang dimaksud
nilai setia yang kerap diperbincangkan oleh banyak orang. Mungkin juga bukan.
Mungkin saja.
Tetapi
lihatlah! Betapa Sulaiman setia menjaga dan mengenggam tangan istrinya di ruang
persalinan. Hanya itu yang mampu menambah kekuatan seorang perempuan dalam
menghadapi masa yang demikian bahayanya. Dan Sualiman seperti tercipta untuk
selalu mengerti.
Ia memejamkan mata menunggu kelahiran buah
hati pertamanya. Suasana tiba-tiba menjadi pekat dan senyap. Suara tik-tak jam,
erangan seorang perempuan dan kalimat dukungan seorang bidan. Dalam diam dia
mengingat masa lalu yang mengundang rasa takutnya semakin jelas membayang. Malam,
mengapa tiba-tiba berubah menjadi sedemikin jahatnya saat perasaan Sulaiman
begitu galau.
Ia
teringat sumpah Zakiyah pada saat melamar untuk dijadikan tunangan. Mula-mula
Zakiyah tak memberi keputusan. Tetapi keluarga Zakiyah sudah terlanjur
menerima. Maka secara tegas namun sembunyi dari kedua orang tuanya, Zakiyah
meberikan jawaban berupa selembar surat. Beginilah kira-kira isi surat itu:
“Saya
bersumpah! Jika sampai saya menikah dengan anda, maka semoga bayi pertama saya
tidak keluar dan sulit untuk dilahirkan. Maka jangan coba memaksa saya lagi
untuk menikah dengan anda.”
Dengan
segenap perasaan getir Sulaiman bedo’a semoga sumpah itu tak menjadi do’a yang
dikabulkan. Ia berharap anak dan istrinya sama-sama selamat. Tiba-tiba kepalanya
limbung dengan napas naik-turun. Seolah hanya ia yang merasakan kiamat kecil,
malam itu. Sebab hanya dialah yang tahu dan terus mengingat tentang sumpah
Zakiyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar