Semalam saya bermain ke rumah Istifadah di Ketawang Laok, Guluk-Guluk, sembari menunggu Mas Jur menghadiri acara kompolan shalawat nariyah di Pamekasan bersama suaminya. Biasanya saya ikut ke acara itu, karena banyak istri teman suami yang juga hadir. Namun semalam saya memilih di rumah Iis saja dengan rencana yang sudah kami buat, yaitu memasak seblak sayur jeletot markopolot.
Di beranda rumahnya, Iis menunggu bersama kedua anaknya. Anak pertamanya bernama Lina dan yang kedua Naya. Lina sudah sangat akrab dengan saya karena perjumpaan kami yang cukup intens sejak balita. Sebaliknya, Naya yang berusia 10 bulan selalu menangis saat melihat saya, entah apa alasannya. Mungkin karena terlalu cantik sehingga sampai kelihatan jelek.
Usai mengobrol sejenak, Iis menyiapkan bahan-bahan yang akan kami masak berupa, sayur, mie, sosis, krupuk, bakso, berikut bumbu-bumbunya. Dapurnya seperti biasa, sangat bersih dan rapi. Namun kerapian itu menjadi bahan olok-olok bagi saya, sebab itu atas arahan umminya di tanah rantau.
Ummi Iis cukup ekstrem dalam kebersihan dan menurut hemat saya, sudah menerapkan gaya hidup minimalis jauh sebelum Fumio Sasaki, Francine Jay, dan Marie Kondo, menerbitkan bukunya dalam versi bahasa Indonesia. Setiap kali melakukan panggilan video, beliau selalu mengontrol kebersihan dan kerapian rumah. Bahkan selembar handuk yg bertengger di atas pintu akan menjadi perkara besar.
Pernah suatu kali, umminya menelpon dan ingin melihat kondisi dapur. Iis kebingungan karena waktu itu dapurnya lebih parah dari kapal pecah. Ia berinisiatif mematikan data sejenak untuk membereskan cucian kotor dan mengembalikan barang-barang ke tempat semula, lalu mengarang cerita bahwa jaringan di Madura sedang tidak stabil. Namun setelah video dilanjutkan, umminya tetap curiga, itu hanya alasan. Iis tersenyum menyadari usahanya yang konyol.
Iis berkisah, sudah terbiasa rapi sejak remaja. Awalnya memang karena tuntutan, namun akhirnya menajadi kebiasaan yg menurutnya sangat membantu menghilangkan kemalasan dalam berbenah. Maka beruntunglah anak yang dididik untuk disiplin dan rapi sejak dini.
Berbanding terbalik dengan hidup saya yang tak pernah didekte ibu. Ibu secara suka rela mencuci baju saya bahkan setelah saya berkeluarga. Saat saya larang, beliau mencuri waktu mengumpulkan pakaian kotor saya dan merapikan rumah tanpa lelah. Bagi sebagian anak, cara ibu saya dianggap sebuah keberuntungan. Namun ternyata malah memupuk kemalasan dan ketidakdisiplinan. Dampaknya sangat saya rasakan ketika ibu sudah tiada. Betapa ketergantungan akan sangat menyiksa.
Sampai akhirnya, saya diperkenalkan dengan buku Seni Hidup Minimalisnya Franchine Jay oleh Ning Cece. Saya berjanji kepada diri sendiri untuk belajar berbenah mempraktikkan streamline sebagaimana dipandu di bab dua dalam buku tersebut. Berusaha menjalani hidup dengan barang sesedikit dan sesederhana mungkin, namun dapat bermanfaat secara maksimal. Barangkali akan terasa sangat melelahkan di awal, mengubah kebiasaan lama yang sangat berantakan menjadi rapi setiap hari.
Niat besar di atas segala rencana ini tentunya saya berharap tidak hanya sekedar teori, tetapi harus berani memulai. Seperti kebiasaan yg sudah Iis praktikkan tanpa terkonsep selama ini.
Kerapian di rumah Iis juga didikung oleh usaha laundry rumahan miliknya. Saya pikir pekerjaan itulah yang juga turut andil dalam membantunya menangani kemalasannya mencuci pakaian. Ia biasa menerima jasa cuci-kering setiap hari terutama dari santri di pondok pesantren di Guluk-Guluk. Dalam penuturan ceritanya, terkadang ia dibuat kesal dengan pelanggan yang teledor mengikutkan pakaian dalamnya. Namun ia bebas membuang benda itu karena termasuk larangan dalam tata tertib usahanya.
Kadang-kadang ia juga mengeluh perihal proses cuci kaos kaki dengan noda membandel. Saya mengusulkan agar ia tidak menerima jasa cuci kaos kaki, mengingat bau keringat di kaki sangat menjijikkan. Iis menolak usulan itu, karena tarif kaos kaki lumayan mahal dibandingkan pakaian.
Katanya, ia pernah menerima pemberian kaos kaki seplastik merah besar dari pengurus pondok. Jumlahnya kira-kira empat puluh pasang. Karena kebingungan menangani kaos kaki sebanyak itu, ia bagi-bagikan pada sanak famili yang memiliki anak sekolah. Juga tetangga yang butuh untuk dipakai ke sawah.
Dugaan kuat kami, benda pembungkus kaki itu hanya dimanfaatkan sekali pakai. Sungguh miris anak pesantren zaman sekarang jika dibandingkan dengan hidup kami di pondok dulu yang sungguh sederhana. Kiriman uang hanya pas-pasan sampai kamis sore. Jum'at pagi sudah tak sabar menunggu kunjungan. Mana bisa membeli kaos kaki berkali-kali, bahkan baju-baju brended macam santri saat ini. Sejak saat itu, ia memutuskan untuk menerima jasa cuci kaos kaki.
Obrolan kami terus berlanjut seputar kenangan masa lalu di pondok. Lalu kantuk menyerang dan bayangan Iis menjadi beberapa bagian. Kami terlelap cukup lama sampai Mas Jur datang membangunkan untuk pulang. Paginya saya menuliskan catatan ini dengan harapan semoga kisah hidup Iis bisa menginspirasi.
Ganding, 19 September 2021