21 Desember 2017

Merima dengan Sepenuh Hati

Keberuntungan sungguh sangat saya rasakan ketika radar Neptunus mempertemukan saya dengan pasangan saya. Ia bukan hanya seperti ayah yang memenuhi segala kebutuhan, tetapi juga menjadi sahabat tempat berbagi, mendukung, menguatkan, dan mendengarkan. Itu semua telah kami lalui selama lima tahun.

Lima tahun bersama bukanlah perjalanan yang mudah. Demi mengenali kepribadian secara total kami harus melalui berbagai ujian. Ujian itu bahkan sempat membuat kami menyerah. Tetapi jodoh mengikat kami kembali dengan cara rahasianya.

Saya dan semua istri pasti pernah terpuruk dalam masalah rumah tangga. Tidak ada yang mampu mengelak sehati-hati apapun menghindar, karena ia seperti musim. Akan tiba pada masanya datang dan pergi. Maka ketika musim gugur tengah berlangsung yakini saja musim semi akan segera tiba. Dengan begitu perasaan sedih dan cemas akan mudah dilalui.

Masalah yang terjadi sebagai bentuk dari ujian kadang-kadang terkesan sepele. Kitalah yang membesar-besarkannya dengan sikap dan perasaan berlebihan. Contohnya, seorang istri yang melarang suaminya merokok secara tak sengaja menemukan puntung rokok di kamar mandi. Si istri menggeledah seisi rumah (seperti Densus 88) dan menemukan sebungkus rokok di kolong lemari. Karena kesal ia mengamuk dan meremas-remas rokok itu di depan suaminya yang baru pulang mengembala kambing. Terjadilah tayangan ulang perang dunia di antara mereka.

Secara refleks, si istri menuding suaminya bersalah tanpa pernah menyadari bagaimana harus bersikap dalam situasi tersebut. Mereka sama-sama tidak berusaha memperingan dengan introspeksi diri untuk menerima pasangan dan memberinya kebebasan dalam menentukan gaya hidup.

Reza Gunawan, sebagai pakar terapis, berbagi penemuannya dalam membantu mengatasi problema hubungan antarpribadi. Ia berupaya untuk menelusuri benang merah yang menjadi kunci utama dalam sehat tidaknya sebuah relasi. Dan ternyata  yang ia temukan adalah bukan komunikasi, bukan kejujuran, dan bukan juga kesetiaan. Yang menjadi jantung dari keharmonisan hubungan antarpihak ternyata adalah kesanggupan kita untuk menerima dengan ikhlas. Menerima diri sendiri dan juga menerima orang lain, sepenuhnya, apa adanya.


Ketika ujian menimpa rumah tangga saya, beban pikiran di kepala rasanya-rasanya tak sanggup saya pikul. Sempat terlintas bayangan melakukan kecerobohan seperti lari dan menghilang. Di saat pikiran keruh seperti itu, gengsi sangat berjaya.  Tak bertahan lama, semua itu hilang saat saya mencoba untuk meminta maaf. Tak penting siapa yang salah. Permintaan maaf selalu menjadi obat dan menjinakkan keangkuhan. Seberapa buruk pasangan kita bersikap, kita harus kembali menyadari untuk menerimanya sepenuh hati.

Mencoba menyegarkan suasana dengan musik adalah salah satu cara saya mengatasi kebekuan. Setiap pasangan tentu memiliki lagu kenangan setidaknya satu saja dalam hidupnya sebagai soundtrack kenangan di masa lalu. Seperti ibu saya yang kadang-kadang​ menangis ketika Siri, tetangga saya, menyetel hadrah Abdullah Bin Ta'lab lewat corongan TOA. Ibu terkenang almarhum ayah  karena semasa hidupnya ayah  tergabung dalam komunitas hadrah dan menyukai lagu-lagu Bin Ta'lab.

Musik merupakan sarana relaksasi termurah dalam melewati titik jenuh. Melalui musik kita mampu membuat suasana hati terasa nyaman, tenang, optimis, dan bahkan mampu meninggalkan kesan positif. Maka musik sangat ampuh bila dijadikan pedang pemumpas masalah rumah tangga. Kita bisa memutarnya pelan di dekatnya saat ia cemberut.

Demikian pula kebekuan bisa dicairkan dengan obrolan ringan atau sekedar senyuman. Jangan sampai pertengkaran berlarut dan mengendap berhari-hari. Endapannya akan dikelola setan untuk menuntun kita pada perkara halal yang dibenci Allah. Na'udzubillah.

Pernah ada cerita suami istri bercerai hanya lewat kasus sederhana. Tanpa sengaja istri menjatuhkan anaknya sampai kepalanya berdarah. Merasa tidak terima suaminya marah-marah. Percekcokan itu berlangsung sekitar seminggu. Selang beberapa bulan terdengar kabar mereka bercerai. Ada yang mengatakan si istri menemukan sms perempuan lain, ada pula yang mengatakan sebaliknya. Pada saat itulah sesungguhnya setan merasa leluasa mengelola konflik manusia.

Wejangan orang Madura mengatakan, jika bisa melewati tiga hari pasangan akur, maka tunggulah tiga bulan kemudian, jika mampu dilalui maka lihat apa yang terjadi tiga tahun kemudian. Tiga tahun tetap bersama, in sya Allah rumah tangga kebal dan kekal. Saya telah melalui tiga hari, tiga bulan, tiga tahun itu dan berharap tetap mampu menyongsong keharmonisan rumah tangga ini selamanya serta menjadikannya perantara untuk lebih dekat kepadaNya.

Lama sekali saya memikirkan hadiah untuk ulang tahun pernikahan saya yang kelima ini. Banyak pasangan merayakan dengan kue, lilin dan balon lalu mempostingnya di media sosial. Tetapi karena saya hanya orang kampung yang miskin dan tak punya banyak kemampuan meniru gaya hidup borju mereka, maka saya hanya bisa mempersembahkan sebuah tulisan.

Untuk suamiku Muhammad Isni Habibi, selamat hari jadi pernikahan kita yang kelima, 28 November 2017. Semoga rumah tangga kita diberkahi dengan sakinah mawaddah, rahmah, dan senantiasa dalam bimbingan Tuhan. Amin.

21 November 2017

Mata Alternatif Melihat Dunia

Memasuki tahun keempat usia pernikahan dan belum jua dikarunia keturunan bukanlah masalah yang mudah dihadapi. Masalah intern mungkin memang belum pernah terjadi, tetapi serangan dari luar jangan ditanya. Pertanyaan-pertanyaan pedas dengan level bervariasi sudah terlontar berulang kali, menjadi makanan sehari-hari.

Selain benteng mental yang kuat, kreativitas jawaban sangat berperan penting dalam hal itu. Namun yang lebih utama di balik semuanya adalah kesadaran dan intensitas hubungan dengan Tuhan. Dan betapapun ganasnya serangan atau kuatnya dukungan positif dari luar tak ada yang lebih berpengaruh selain komitmen keluarga.
Dalam kasus ini, beberapa pekan terakhir, saya disadarkan dengan kematian sahabat selepas proses persalinannya. Ia menemani dan menuntun proses belajar saya dalam dunia literasi di kampus. Bahkan setelah sama-sama berkeluarga kami tak pernah kehilangan kontak. Masalah yang sama seperti menunggu kehamilan semakin mempersering komunikasi kami. Berbagai tips saling kami bagikan. Kami saling menguatkan satu sama lain. Tentu saja itu adalah modal yang cukup untuk bertahan ketika harus menerima kenyataan bahwa kawan seumuran kita telah dikarunia dua sampai tiga anak dalam selisih waktu yang susul-menyusul.

Kami sempat tertawa-tawa ketika menyadari kehamilan bukanlah lomba. Jumlah anak juga bukan jaminan kita mendapat predikat istimewa dari Sang Pencipta. Dalam ayat suci pun telah dijelaskan bahwa anak adalah bagian dari perhiasan dunia. Kita akan mati membawa amal kita sendiri.
Kenyataan bahwa kini sahabat tempat saya berbagi itu kini telah pergi, membuat saya terpukul begitu dalam. Jujur saja, di malam kematiannya saya tak nyenyak tidur memikirkan singkatnya waktu  dan masa indah kemarin yang baru saja kami lalui. Begitulah maut yang tak pandang usia dan tak bisa ditunda-tunda.

Setelah luka yang dalam itu saya mengais banyak pelajaran berharga. Mata saya mulai melihat dunia dengan cara yang berbeda. Seperti memperoleh mata alternatif yang menawarkan berbagai arah dan jalan yang tidak selalu sama. Hati dan pikiran saya terketuk untuk berpikir dan menyadari bahwa di balik segala harapan ada Tuhan. Bagaimana pun jalan cerita hidup yang kita lalui saat ini adalah karunia terbaik. Dia lebih tahu dalam mengatur waktu yang tepat dan akhir yang baik. Segala yang kita miliki hari ini hanyalah titipan. Kita sendiri pun tak tahu kapan jasad dan ruh akan terbelah.

(Dimuat di www.voila.id)

Hari Raya dan Godaan Berbelanja

Guru saya, M. Mushthafa, berdiri di atas podium menyampaikan tausiah lingkungan dalam acara perayaan hari jadi Pemulung Sampah Gaul (PSG) SMA 3 Annuqayah, bulan April lalu. Beliau berbicara panjang tentang bagaimana mengubah pola konsumsi demi selamatkan lingkungan. Terutama kepada orang-orang yang mengaku pecinta lingkungan.

Tausiah dibuka dengan cerita-cerita ringan. Salah satunya diolah dari tulisan seorang ahli biologi dan pakar lingkungan bernama Garret Hardin dalam bukunya yang berjudul The Tragedy of the Commons, 1968. Tak hanya dari buku, beliau juga menyampaikan cerita kitab Risalah al-Qusyairiah yang dikutip oleh Imam Ghazali dalam Ihya Ulumuddin. Cerita-cerita inilah yang membuat saya tertarik untuk membahasnya kembali melalui kasus serupa dalam kehidupan nyata kita.

Dalam Ihya Ulumuddin, al-Ghazali membahas seorang sufi bernama As-Sari as-Saqati yang mengaku telah menahan diri tidak memakan roti selai selama empat puluh tahun. As-Sari tidak pernah tergoda meski roti yang diinginkannya justru selalu ada di sekitarnya. Inilah gambaran ulama yang mampu mengendalikan diri untuk tidak mengkonsumsi sesuatu yang nikmat walau itu halal.
Mari kita ke pasar dalam minggu-minggu terakhir bulan Ramadan. Maka Anda akan menyaksikan pemandangan tawaf tak beraturan dengan jamaah beragam jenis, mulai dari tukang parkir, pencopet, jambret, pengemis, pedagang jujur sampai yang menipu, juga pembeli sejati atau sekedar bertanya-tanya sembari memantaskan diri. Segala ragam manusia ini sama-sama bertujuan meraih kemenangan. Kemenangan dalam versi yang diciptakan kepala sendiri.

Hari raya memang selalu identik dengan belanja. Selain kebutuhan dapur, belanja pakaian juga menjadi yang utama. Kue-kue dan aneka makanan berat disiapkan menyambut kedatangan famili. Euforia hari kemenangan yang berada di depan mata selalu tak lepas dari gaya belanja membahana. 

Bagaimana jika as-Sari hidup di zaman ini? Atau seseorang yang mengaguminya meneladani perilakunya dengan bertahan di tengah arus konsumsi gila-gilaan? Misalnya tidak membeli pakaian selama sepuluh tahun? Sementara godaan untuk tidak berperilaku konsumtif semakin hari semakin sulit. Serbuan iklan, godaan teman-teman, dan rayuan macam-macam kanan kiri dapat membangkitkan naluri kemanusiaan kita untuk juga mengikuti tren masa kini. Apalagi kian hari kita kian sejahtera. Uang kita semakin cukup bahkan lebih untuk bisa memanjakan nafsu untuk konsumsi. Ini seolah membenarkan penelitian bahwa orang-orang membuka situs belanja di internet sekitar 20 menit setiap hari. Lalu apa masalahnya?

Contoh as-Sari dalam Ihya Ulumuddin sebenarnya adalah untuk menggambarkan bahwa at-tana'um bil halal (bernikmat-nikmat dengan yang halal) sebenarnya merupakan sesuatu yang berbahaya. Jika digambarkan dalam era ini, maka sudut pandangnya akan mendorong kita pada perilaku konsumtif yang berlebihan yang akhirnya akan membuat masa depan generasi kita semakin terancam. Sampah rumah tangga membeludak, sampah industri pun tak terbendung.

Saya tak mau menafikan diri bahwa saya juga belum mampu meneladani as-Sari. Di tengah terpaan rayuan pelapak, hati saya juga terdorong untuk berbelanja. Namun bila boleh jujur, saya membeli pakaian satu kali selama setahun, hanya ketika lebaran. Jika kita bersama-sama melawan ganasnya godaan belanja di hari raya mungkin kita akan mampu menyederhanakan situasi. Sebab serangan yang dihadapi bersama akan terasa ringan dan hasilnya adalah kemenangan yang hakiki.

(Dimuat di www.voila.id)