15 Maret 2014

Mengobati dengan Hati

Senin yang dingin, 3 Maret 2014. Sekitar pukul 06.30 WIB, suara berat perempuan memanggil nenek. Dengan suara tongkat dan gesekan panjang sandalnya nenek keluar dan menyeru kepada saya agar membuatkan teh untuk tamu yang datang. Karena pintu luar terbuka, saya tahu yang bertamu adalah Bibi Sohati, kemenakan sepupu nenek. Setiap kali bertamu, bibi memang menolak disuguhi kopi atau teh karena penakit diabetes yang dideritanya. Nenek pun mengerti ketika saya mengurungkan niat menuju dapur. Saya duduk menemani bibi di luar.

Nenek kembali ke kamrnya dan datang lagi membawa roti. Roti yang kemarin paman bawa untuknya. Belum bertanya perihal kedatangan bibi pagi-pagi betul, ia sudah memulai cerita bahwa baru saja ia datang dari Polindes untuk memeriksa penyakitnya pada dokter I suaminya bidan E yang tempat peraktinya sekitar 50 meter ke barat rumah saya. Tetapi kalimat lanjutannya bernada kecewa karena dokter I belum bangun dan istrinya mengatakan tak mau membangunkannya dengan alasan dokter I lelah karena kerja lembur.

“Saya disuruh nunggu sampai jam Sembilan.”

Saya mengerti mengapa bibi memilih untuk menunggu di rumah bukan pulang ke rumahnya. Selain karena ingin bertemu nenek, jarak dari rumahnya ke Polindes, yakni sekitar 1 km, cukup jauh baginya yang harus berjalan kaki dengan beban penyakit di usianya yang hampir berkepala lima. Ketika saya bertanya mengapa tidak periksa ke bidan E saja, ia menjawab hanya bisa lebih baik jika dokter I yang mengobatinya. Saya tak dapat melanjutkan pertanyaan lagi dengan kata mengapa, karena jawabannya dirasakan oleh bibi sendiri.

Lalu terjadi obrolan panjang antara nenek dan bibi. Saya beranjak ke dapur untuk mempersiapkan sarapan. Beberapa jam kemudian ibu keluar dan mengingatkan kepada bibi bahwa telah sampai pukul sembilan. Bibi Sohati berangkat ke Polindes lagi.

Nenek belum beranjak dari kursinya, bibi sudah datang lagi dan mengatakan kepada kami bahwa dokter I sudah berangkat bertugas ke Puskesmas di Kecamatan Guluk-Guluk. Bibi pamit pulang dan menolak disuguhi sarapan.

Demikianlah adegan yang klise di pagi hari. Sederhana tetapi membuat iba hati. Sebuah keratan kisah tentang pasien yang gagal bertemu dokternya. Tentang bibi Sohati yang pulang dengan membawa sepaket harapan beserta rasa kecewanya.
                                                                                                ***
Masyarakat dan Kesehatan

Kesehatan memang mahal. Tapi pelayanan yang baik masih sulit didapatkan. Kenyataannya memang begitu. Masyarakat khususnya di pedesaan yang menderita masalah medis sudah merasa cukup dengan mengontrol kesehatannya ke dokter. Dokter mendiagnosa lalu memberi obat, pasien membayar lalu pulang, selesai. Atau dengan gambaran lain, dokter menjadi penyedia jasa bayaran, pasien menjadi konsumen. Kaku, dan tak jauh berbeda dengan pembeli dan penjual di toko kelontong.

Masyarakat kita belum kritis dalam persoalan kesehatan. Contoh kasusnya, begitu dikatakan tekanan darahnya berapa, mereka sudah mengangguk-angguk seolah sangat paham. Padahal sang dokter belum menjabarkan apakah yang dimaksud tekanan darah atas atau bawah. Umumnya yang dilaporkan adalah tekanan darah atas, tetapi apakah tekanan darah bawah tak penting untuk juga diketahui? Sayangnya masyarakat tak tahu caranya bertanya, sementara dokter enggan memberi tahu.

Ini masih kasus sederhana tentang bagaimana sulitnya informasi kesehatan didapatkan oleh masyarakat awam. Belum lagi jika menyentil persoalan pelayanan kesehatannya. Akan ada banyak cerita yang menguap di masyarakat kita.

Sementara itu, sekolah kedokteran semakin gencar diminati oleh para pelajar. Terbukti dengan data yang kompas.com sajikan pada Sabtu, 25 Mei 2013 lalu tentang jurusan kedokteran yang menduduki peringkat pertama dari sepuluh jurusan favorit lainnya. Ini bukan hal yang sangat mengejutkan tentunya, mengingat tenaga medis memang cukup dibutuhkan di negeri ini. Tetapi jika ilmu kedokteran dijalankan sebagai sebuah bisnis, niscaya mengundang keruwetan dari sebuah bisnis. Dan sesuatu yang tidak dilandasi dengan cinta akan berakhir sia-sia.

Generasi Patch Adams

Mari kita teladani kisah inspiratif Patch Adams. Ia adalah revolusioner sosial. Dokter yang mendirikan Gesundeit Institut, klinik pengobatan gratis di West Virginia. Ia telah merawat lebih dari 15.000 orang dengan metode yang bukan semata-mata pendekatan klinis yang diterapkan rumah sakit pada umumnya, melainkan menyembuhkan dengan humor dan kebahagiaan. Pak Adams dan rekan-rekannya rela menjadi badut untuk menghibur anak-anak yang sakit, atau menjadi sahabat yang mengajak pasiennya berjalan-jalan menuruni bukit.

Lalu mari kita bandingkan dengan para tenaga medis di sekitar kita. Amati dengan cermat bagaimana mereka memperlakukan pasien dan setebal apa sekat bernama formalitas yang mereka bangun di atas gengsi menyandang pangkat terhormat. Bahkan yang lebih mengejutkan lagi adalah emosi yang diekspresikan dengan amarah yang terlontar tanpa rasa bersalah. Maka akhirnya boleh jadi pasien sehat secara fisik tapi hidupnya menyedihkan.

Saya yakin bahwa tenaga profesional di bidang kesehatan yang merasa lelah, marah, dan malas tidak menyadari potensi yang menarik dalam hubungan antara dokter dan pasien.tentu saja pekerjaan yang demikian tidak didasari dengan cinta. Sehingga mereka melupakan prinsip dalam ilmu kedokteran yang harusnya melibatkan rasa sayang pada orang lain. Jika prinsip utama ini dipegang teguh oleh para dokter, maka kasus Bibi Sohati tidak akan terjadi. Endingnya akan muncul generasi Patch Adams yang mengobati dengan hati.

Tambuko, 13 Maret 2014
Catatan: Beng Nu, saya yakin kamulah generasi Patch Adams itu… :))
                 

Membangun Nama

Dalam satu pekan, dua orang tetangga saya meninggal dunia susul menyusul. Belum genap tujuh hari, dua orang desa tetangga pun wafat bergiliran. Maut memang tak pandang usia. Tua atau muda kalau sudah sampai pada janjinya akan pulang ke rahmatullah kapan pun saja.

Lumrahnya, tahlilan di desa dilaksanakan usai shalat isya’. Berhubung yang wafat bukan hanya satu atau dua orang, maka ada pula tahlilan yang digelar bakda shalat asar. Tentu kondisi macam ini akan sangat menyibukkan kaum lelaki. Tetapi yang terpenting dan menarik bukanlah bahasan tentang kesibukan mereka, melainkan pernyataan suami saya tentang bagaimana orang-orang yang wafat “membangun nama” semasa hidupnya.

Istilah membangun nama yang baru saya dengar itu hanyalah karangannya semata saat saya mulai belajar silsilah keluarganya dari bani Jalalain.

“Eng, kalau Si Anu itu termasuk kemenakan sepupu dari Ayah kenapa ia tidak pernah ke rumah?”

Pertanyaan saya yang hanya satu potong itu ia jawab dengan beberapa bahasan. Dan begitulah saat saya bertanya apa saja, tentang bola, elektronik, otomotif, sampai kancing dan resleting pun cakupan bahasannya akan sangat luas. Saya menyukainya dan ingin selalu bertanya meski saya akan dianggapnya sangat cerewet.

“Karena Abanya Si Anu sudah wafat.”
Apa hubungannya, batin saya. Tetapi tanpa pertanyaan itu diungkapkan, ia melanjutkan jawabannya. Pada akhirnya saya mengerti bahwa ada atau tidak adanya sesepuh sangat berpengaruh bagi ikatan tali kefamilian keturunannya. Mungkin karena anak cucu yang sungkan bahkan malas ke rumah sesepuh untuk menyambung tali kekeluargaan atau sesepuh yang tak mau menyambangi anak cucu dan mengajari mereka silsilah keluarga. Pada kata sungkan, malas, dan tak mau inilah puncak awal perpecahan keluarga.

Suami saya juga menjelaskan bahwa sejatinya semua orang yang telah dewasa tengah mengumpulkan citra. Citra baik atau buruk itu akan tampak tanpa dipamerkan. Jika seseorang menabung banyak citra kebaikan, baik bagi diri sendiri maupun orang disekitarnya, maka tak perlu meminta untuk dihormat sebab keharuman dirinya akan semerbak tercium oleh dunia yang menjadikannya penuh wibawa. Pada titik itulah nama seseorang terbangun dengan sangat kokoh.

Selanjutnya saya tak hanya mengerti tapi memahami secara dalam tentang pribahasa “harimau mati meninggalkan belang, sedangkan gajah mati meninggalkan gading”. Tanpa diperintah, orang-orang akan membedakan siapa yang mempunyai citra baik dan buruk.

Saya lalu membandingkan empat orang yang meninggal dunia di sekitar saya itu. Ternyata benar, orang-orang masih berpikir dua kali untuk tahlilan ke rumah almarhum Fulan atau Fulanah. Bahkan beberapa bulan yang lalu, saya ingat, di desa saya ada seorang kakek yang meninggal dunia. Setiap malam yang bertahlil dan mendoakannya tak lebih dari sepuluh orang. Sementara itu ada pula almarhum yang dihadiri jama’ah tahlil lebih dari lima ratus orang tiap malamnya.

Ini adalah suatu perbandingan nyata betapa kebaikan akan mengharumkan nama kita bahkan setelah kita tiada. Dan tanpa kita sadari, detik ini kita tengah membangun nama.

Tambuko, 22 Oktober 2013