17 Januari 2014

Mak Faruk; Sosok Tua Berdarah Muda

(Catatan peserta KKN-Instika posko-XVII)

Mak Faruk, sapaan akrab dari Mak Ramadhani, mengenakan abaya berwarna abu-abu dengan motif bunga yang dihiasi taburan payet manik di beberapa bagian. Sebagian dari manik-manik itu telah terpisah dari benangnya. Tetapi tidak dengan manik hijau toska yang bertumpuk per enam butir di bagian depan jilbabnya.

Sosoknya yang penuh dengan segala tingkah ketuaan sangat sesuai dengan paras sederhana di usianya. Wajah ovalnya hanya cukup ia usap dengan bedak tabur berwarna kulit menggunakan kudua telapak tangannya. Tak ada lipstik atau merah pipi, hanya celak batu serta parfum dengan wangi khas oleh-oleh dari tanah suci.

Ia berjalan melewati pematang, kemudian jalan yang semakin melebar tetapi lebih mirip sungai kering dengan sedikit sisa air mengalir di penghujung musim hujan. Dari jalan setapak penuh batu licin dan tanah becek di beberapa bagian sepanjang tujuh ratus meter itu, Mak Faruk bertemu jalan raya. Ia lalu berbelok ke arah barat, arah menuju rumah warga yang kebagian menjadi tuan rumah dalam kegiatan muslimatan kali itu. Untuk sampai di tempat yang dituju, ia harus melewati jalan beraspal sepanjang empat ratus meter lagi.

Sejumlah perempuan ada yang telah sampai. Sebagian ada yang membawa buah hatinya, namun semua dari mereka tak lupa membawa tas berisi mukenah dan sajadah untuk berjamaah asar seusai acara nanti. Itu berarti peserta harus berangkat siang hari, tepatnya pukul dua siang, di mana matahari tengah ganasnya memburu alam raya di sekitar mereka.

Setelah rampung, beramai-ramai para perempuan itu melantunkan shalawat kepada kekasih Allah, kepada makhluk pilihan nomor satu sepanjang masa, Nabi Muhammad teladan seluruh umat manusia. Lalu bersahutan amin seluruh peserta ketika tiba giliran Mak Faruk memanjatkan doa kepada sang pencipta, dengan khusuk, dengan sayakral, seperti tak ada yang lebih syakral selain ketika berhadapan dengan-Nya.

Dalam perjalanan pulang, Mak Faruk berujar kepada saya dan lima peserta KKN posko XVII Instika 2013 lainnya yang berkesempatan mengiringinya dalam kegiatan muslimatan kali itu,

“Saya tidak berilmu untuk mengungkapkan sebuah hadist, tapi berbekal keberanian saya berbicara kepada masyarakat untuk aktif dalam kegiatan keagamaan yang saya rintis. Alhamdulillah ucapan saya sedikit berpengaruh. Kini saya sudah tua, berharap anak cucu dapat melanjutkannya. Terutama kalian yang masih remaja. Dirikanlah kegiatan keagamaan yang belum ada agar bermanfaat untuk kehidupan setelah bangkit dari alam baka.”

Demikianlah sore itu, sebuah adegan yang impresif. Tentang Mak Faruk dan semangatnya; sosok tua yang berdarah muda.

***

Berawal dari menyimak petuah Ny.Hj.Nafisah, salah saeorang pengasuh di Pondok Pesantren Annuqayah daerah Lubangsa Raya, Guluk-Guluk, Sumenep, puluhan tahun yang lalu, tentang amal shaleh yang akan menjadi pesangon ke alam akhirat, yaitu mendirikan kegiatan keagamaan yang belum ada, semangat perjuangannya mulai terpupuk. Ia lalu membukukan kalimat itu di dalam hatinya dan menjadikannya pedoman untuk merintis komunitas muslimatan di desanya, Kasengan, Manding, Sumenep.

Sejak kecil, ibu dari tiga anak itu memang sudah gemar mengajari adik-adik di kampungnya mengaji serta aktif dalam kompolan muslimatan anak sebayanya. Hingga setelah dewasa, setelah berumah tangga, sekitar tahun 1980-an ia meminta izin kepada suaminya untuk aktif dan merintis berbagai kegiatan di desanya. Ia merasa bahagia ketika niat sholehnya direstui oleh pendamping hidupnya.

Dengan semangat dan keberaniannya, kini Mak Faruk telah berhasil merintis tiga muslimatan. Mulai dari kompolan sebelasan pagi hari Kamis per bulan, muslimatan siang hari Jum’at per minggu bertempat di masjid Raudatul Muttaqien, sampai muslimatan keliling Kasengan-Tanaer sore hari Kamis per minggu. Tentu bukanlah hal yang mudah untuk menghimbau para perempuan di desanya. Jika ucapannya tak berpengaruh, maka mustahil muslimatan itu tetap aktif terlaksana sampai saat ini.

Kini, status tua di usianya yang menyandang kepala enam pun tak menjadi halangan bagi ibu dari sang Kepala Desa itu untuk menghentikan semangat perjuangannya. Bahkan pada masa inilah puncak dari segala motivasinya ia kerahkan. Sebab ia ingin memberi tahu pada semesta bahwa kata ‘tua’ tak menjadi halangan bagi siapapun untuk tetap berjuang.

Selaras dengan kisa hidup Baojun Yuan, seorang kakek dari Cina berusia tujuh puluh enam tahun yang mulai belajar photoshop sejak umurnya yang keenam puluh. Ia tak menjadikan status tuanya sebagai aral untuknya belajar. Maka ketika ia mahir dalam memperbaiki foto rusak, ia menerima jasa dari para tetangganya tanpa pamrih. Alasannya, gurunya hanya mengajarinya belajar memperbaiki foto tapi tidak mengajarinya meminta upah. Saat ini ia telah berhasil memperbaiki lebih dari dua ribu foto rusak.

Sepintas, seperti tak mungkin itu dilakukan oleh seorang kakek tua. Tetapi Baojun Yuan telah membuktikannya, bahwa tak ada kata terlambat untuk belajar, tak ada kata lelah untuk berusaha, dan tak ada kata pamrih untuk berbuat kabaikan. Maka jika di Cina ada kakek Baojun yang mempu menjadi master photoshop tertua di dunia, di Indonesia, tepatnya di sebuah desa terpencil bernama Kasengan kecamatan Manding kabupaten Sumenep, ada Mak Faruk yang bisa diberi gelar sebagai perempuan tua berdarah muda.

Demikianlah semangat yang tak terkikis waktu. Tua telah melalui beragam proses panjang. Tua telah ditempa perjuangan yang akan mewariskan perjuangan baru untuk anak cucu.

                                                                                    Kasengan, 27 Juni 3013.