29 Maret 2012

Petualangan (Calon) Jurnalis

(Mozaik 1)



Oleh: Ummul Corn



Kami menunggu sampan di pelabuhan Dungkek, Sumenep. Sampan tujuan Sepudi yang kami pesan akan tiba pukul 11:00 WIB nanti. Jadi kami harus sabar menanti sekitar tiga jam lagi.



Berenam kami duduk di tembok dermaga dengan bawaan tas ransel bejibun yang luar biasa beratnya. Aku memandang ke laut, menyaksikan ombak yang bergerak pelan dan teratur, perahu-perahu berlayar seperti berebut untuk sampai.



Pagi itu, 21 Maret 2012, langit benar-benar cerah. Awan berarak memamerkan tariannya. Matahari benderang dengan sengatnya yang mengganas. Laut memancarkan warna perak diterpa cahaya surya. Warnanya biru berneka selapis-lapis. Aku membayangkannya seperti kue lapis raksasa yang terbuat dari ketan dengan variasi warna biru yang menggoda.



Salah satu kawan yang ikut adalah seorang hafidhah. Ia melantunkan ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan laut untuk kami. Itu cukup mendamaikan hati kami yang kalut karena takut. Dalam hati aku membatin, subhanallah... janji Allah untuk menjaga kemurnian al-Qur’an hingga akhir zaman ternyata tak pernah ingkar. Bak Imla’ telah menyimpan hafalan 30 juz al-Qur’an dengan sempurna di dalam jiwanya.



Belum hilang ketakjuban kami, tiba-tiba Kak Puput mengeluarkan kamera dari saku jaketnya. Jadilah kami berpose. Kami memang ‘klik mania’, semacam sindrom narsis melalui kamera.



Ada yang mengambil gambar dengan posisi duduk bloking di sisi kiri, berlatar laut, dan beberapa perahu di sisi kanannya. Kami bergantian saling jepret dengan gaya khas kami yang tentu saja tidak seperti pose untuk Kartu Tanda Penduduk. Kami pun tak terlalu amatir dalam hal memotret. Tahun 2011 lalu, saya mengikuti acara “Merekam Dunia dengan Kamera” yang diselenggarakan oleh SMA 3 Annuqayah dengan fasilitator Lora M. Mushthafa, salah seorang pengasuh muda di Annuqayah yang andal dalam hal fotografi. Dari acara itu, setidaknya saya punya sedikit bekal bagaimana menghindari pengambilan gambar yang buruk.



Karena asyik memotret, kami sampai lupa bahwa waktu sudah menginjak siang. Panas terasa menyengat lansung pori-pori kulitku. Aku tak sadar bahwa aku mengenakan kemeja dan kerudung berwarna hitam. Mungkin akulah yang paling merasa panas sehingga aku mengajak mereka pindah ke sebuah lencak kosong di dekat penjual gorengan.

Sepanjang jalan dermaga itu adalah pasar kecil. Di pinggir-pinggir jalan para pedagang berjejer memanjang. Pembeli berdesakan saling tawar-menawar. Sebagian ada yang mengangkut dagangan berupa kerupuk dan mie instan ke sebuah perahu untuk dikirim ke kepulauan. Anak-anak kecil mandi telanjang di tepi laut yang dangkal. Mereka terlihat asyik bermain air, tak peduli deru mesin sampan yang begitu bising.



Makin siang hidungku makin jelas mengendus bau amis. Meski aku bukan seorang vegetarian, tapi aku tidak menyukai bau ini, terasa memualkan perut. Itu adalah aroma ikan yang dikeringkan berbaur dengan bau kerang. Aroma ini familiar. Aku bisa menciumnya kala aku lewat di pinggir pesisir, seperti di pertigaan jalan Prenduan, Talang Siring, Pasongsongan, dan pasar-pasar tradisional yang menjual ikan kering.



Untuk menghibur diri kuputar lagu dari ponselku. Daftar musik yang ada di ponselku itu adalah lagu-lagu lawas yang kerap tak disukai banyak teman. Bahkan aku dijuluki makhluk klasik karena masih menyimpan lagu jadul. Salah satunya adalah It’s My Life acoustic version milik Bon Jovi, Lucky-nya Jason Mraz feat Colbie Caillat, Love Buzz kepunyaan Nirvana, Gomenasai lantunan Tatu, Caught In a Web kebanggaannya Dream Theater, dan Hysteria teriakannya Muse. Kalau pun lagu Indonesia ada itu juga milik penyanyi lawas, seperti Melly Goeslow, Agnes Monica, dan Sheila on7.



Lagu bagiku adalah segalanya, karena ia merupakan seni tarik suara yang dapat menyegarkan otak dan membangkitkan gairah hidup. Jadi wajar saja kalau aku tidak menyukai lagu pop anak band saat ini. Lagu-lagu Indonesia yang bermunculan di era ini bagiku terkesan sembarangan dan tak serius. Lagu seolah hanya menjadi candu untuk memunculkan popularitas belaka. Oleh karenanya tak heran para artis senitron dan layar lebar berduyun-duyun terjun ke dunia musik, meski kualitas suara mereka pas-pasan serta dengan lirik dan aransemen musik yang lagi-lagi tidak digarap dengan serius.



Selesai aku mengutuk musik anak band tanah air, tapi bukan berarti aku tak cinta Indonesia. Buktinya aku masih menyetel lagu Rindu dan Cinta Mati milik Agnes Monica. Dari daftar yang ada, lagu itulah yang cukup disukai oleh teman-teman. Jadi terpaksa aku memutarnya berulang-ulang sampai aku sendiri bosan dan menekan tombol moratorium.



Karena asyik mengobrak-abrik musik, tiga jam berjalan begitu singkat. Seorang awak sampan telah melambai dikejauhan. Kami menggendong kembali ransel yang sedari tadi tergeletak di atas lencak bersama satu botol air mineral berukuran 1500 ml dan beberapa makanan ringan. Kami bergegas mempersiapkan diri menaiki perahu yang akan mengantarkan kami ke sampan. Oke kawan, petualangan akan segera dimulai!



Bersambung...



28 Maret 2012