16 April 2012

Petualangan (Calon) Jurnalis

(Mozaik II)

“Kapten Pemabuk”

Kulirik arloji kura-kura ninja bermotif spiderman di pergelangan tangan kiriku. Jarum berukuran kecil tebal mengarah pada angka sepuluh, jarum panjang tebal di angka sembilan, sementara jarum yang panjang dan kurus terus berputar tak kuhiraukan. Seluruh kawan sigap hendak menaiki perahu.

Aku tidak tahu berapa ongkos perahu menuju sampan yang berjarak sekitar lima meter itu. Tetapi saat kuserahkan uang dua puluh ribu dan lalu bersisa dua ribu, barulah aku tahu bahwa masing-masing kepala dihitung tiga ribu. Okelah kalau begitu.

Sementara aku mengurus ongkos, ternyata kawan-kawan telah sampai di dek perahu. Tinggal aku yang harus segera melompat dari tangga dermaga menuju pinggiran perahu sebelum akhirnya bisa duduk santai di atasnya. Rasanya was-was seperti akan terpeleset lalu oleng ke laut. Tapi, hap! Sekali saja aku melompat, tangan dan tubuhku telah dikendalikan banyak kawan.

Aku ditawari duduk pada tumpukan karung berisi bawang merah oleh Bak Jan Haura. Duduk sebentar saja, aku tak kuat menahan aroma bawang dipadu dengan amis laut. Tetapi tak ada pilihan lain. Aku harus bertahan sebentar saja. Hanya sebentar saja, batiku menguatkan.

Tak sampai lima menit, telah ada aba-aba untuk siap menuju sampan dari salah seroang penumpang. Tantangan kedua ini teryata tak kalah menakutkannya. Dari perahu yang terus bergerak-gerak kami harus melompat menuju pintu sampan. Sampai di pintu sampan kami masih harus melalui lubang dan naik sekitar satu meter untuk bisa sampai di atas sampan.

Sampan itu cukup tinggi, karena ada dua bagian penumpang. Penumpang bagian bawah adalah hewan ternak berupa kambing atau sapi, sementara di atas adalah manusia. Keduanya hanya dipisahkan oleh kayu yang dilapisi karpet hitam.
Yang sampai di atas duluan menerima barang bawaan untuk ditata. Lalu kami saling pegang menguatkan hati yang tegang. Dan rampunglah kami berenam di atas sampan. Aku menarik napas lega sambil tertawa kecil memandangi muka pucat kawan-kawan.

Perlahan, mesin bergetar keras dan sampan pun melaju seperti menciptakan garis belahan kecil di lautan. Sampan yang getarnya luar biasa ini akhirnya kuketahui bermuatan dua mesin. Dari salah seorang penumpang yang berasal dari Sepudi saya memperoleh penjelasan tentang muatan dua mesin yang akan membuat sampan ini berakselerasi. Jika perjalanan biasa ditempuh selama empat jam dengan satu mesin, maka dengan menggunakan dua mesin akan mengurangi separuhnya.

Karena tak tahan pusing, sebagian dari kami ada yang berbaring berdesakan. Mayoritas dari penumpang yang berjumlah sekitar empat puluh orang juga tiduran dengan beralaskan koran. Ada pula yang asyik berbincang dengan kenalan baru dari berbagai daerah. Kulihat ada seorang bocah merengek menyuruh ibunya membuka bungkus permen. Anak itu kira-kira berusia tiga tahunan. Seharusnya ia bisa membukanya sendiri, tetapi kuperhatikan tangannya tidak sempurna. Jemarinya cacat dan hanya bersisa jari jempol dan kelingking.

Ingatanku tersangkut pada seorang anak perempuan berasal dari Korea Selatan yang cacat tetapi berbakat. He Ah Lee, namanya. Dengan jemarinya yang hanya bersisa dua di masing-masing tangannya membuatnya dijuluki sebagai gadis kepiting. Tetapi dengan kepiawaiannya bermain piano yang mampu menghipnotis penonton dengan nuansa takjub akhirnya ia memperoleh banyak penghargaan dan menghadiri banyak acara di berbagai belahan dunia.

Tentu perjuangannya tidak mudah. Semasa di sekolah ia dihina habis-habisan oleh kawan sebayanya. Bukan hanya karena jemarinya yang cacat, tetapi ia tak mampu berjalan dengan dua paha. Ia tidak memiliki lutut, betis dan kaki. Setiap kali hendak ke mana-mana ia menggunakan jasa kursi roda. Sempurnalah cacian dan makian dari orang-orang di sekitarnya. Namun mimpi membuatnya tetap teguh dan optimis. Hingga kini, dengan segala kekurangannya yang ada, ia mampu dikenal dunia.

Anak yang meminta dibukakan bungkus permennya di hadapanku ini barang kali juga bisa menjadi bintang. Sekali pun ia cacat tetapi tidak menutup kemungkinan untuk tetap bangkit menantang kerasnya dunia dan lalu menaklukkannya. Aku tersenyum menatap ke arahnya. Ia membalasku dengan senyum yang tak kalah cerianya.

Sayang sekali aku tak sempat bertanya nama dan alamatnya. Kepalaku limbung dan aku menjadi tak nafsu bicara. Aku berbaring dan memejamkan mata sebab tak kuat menahan pusing. Tapi karena tak mengantuk aku tak terlelap. Hanya pejamkan mata dengan tetap mendengar bising mesin dan suara-suara obrolan kecil para penumpang. Aku bangun lagi. Terbaring lagi. Lama-lama, karena menyaksikan kekacauan sikapku, Kak Puput mengirimiku sms yang berbunyi sebuah pertanyaan tentang keadaanku. Aku menjawab apa adanya.

Kak Puput membangunkan Bak Jan dan Bak Imla’ untuk bermain. Aku tahu tujuannya agar aku kembali ceria dan tidak murung seperti ini. Jadilah kami bermain berpasang-pasangan. Bak Jan dan Kak Puput bermain tangga ingatan menggunakan keypad ponsel. Aku dan Bak Imla’ bermain ta’lam, sebuah permainan tradisional dengan menggunakan tepukan tangan disilang-silang. Sementara dua kawan lainnya, Zie dan Kak Maida tertidur pulas berbantal tumpukan ransel.

Orang-orang yang tak tidur memandang ke arah kami. Sejenak kami menjadi tontonan gratis yang membuat mereka tertawa-tawa. Mungkin bukan kerena lucu, melainkan heran menyaksikan kami yang bukan lagi anak-anak tetapi masih bermain hal konyol seperti ini. Sadar diperhatikan oleh banyak mata, akhirnya kami menghentikan permainan.

Aku kembali berbaring, memejamkan mata, dan berkhayal. Salah seorang guruku di SMA 3 Annuqayah dulu, memberiku petunjuk melawan mabuk. Beliau berpesan agar pengendara yang rawan mabuk tidak boleh diam atau dengan memejamkan mata dan berkhayal tentang hal-hal yang menyenangkan. Ibu guruku itu bernama Aminatus Zahroh. Kalau beliau sedang mendampingi kami observasi, dan kebetulan ada yang biasa mabuk, beliau mengajak kami berkhayal sedang menikmati rujak mangga dan kedongdong dengan bumbu yang pedas dan nikmat di atas dangau pada musim padi. Alhasil di sepanjang jalan kami tak henti berbicara dan berebut saling menimpali khayalan tersebut.

Tetapi kali ini berbeda. Meski berkali-kali aku berkhayal tentang pemandangan bukit yang hijau di musim penghujan, rumput-rumput tumbuh selutut dan bergoyang diterpa angin, kupu-kupu terbang-hinggap di atas bunga-bunga pagar di sepanjang jalan, semua seolah tak berhasil. Khayalan-khayalan itu malah membuat kepalaku makin pening. Pikiran jadi kalut dan perut pun seperti terkoyak-koyak ingin mengeluarkan isinya.

Apa pun yang terjadi aku tidak boleh mabuk. Selama di dermaga, kawan-kawan siam meminum pil anti mabuk dan memasang salompas pada bagian tubuh mereka. Aku ditawari tapi menolak karena tidak biasa memakai yang begituan.
“Maaf, kapten tidak mungkin mabuk,” tantangku.

Memang benar, selama ini aku tidak pernah mabuk kendaraan. Tetapi kalau kebetulan pada kesempatan ini aku mabuk, pasti aku akan ditertawakan. Aku tidak boleh mabuk, lagi-lagi batinku meneguhkan.

Pada akhirnya, apa yang aku takutkan benar-benar terjadi. Aku melongokan kepalaku ke laut dan memuntahkan apa yang ingin keluar. Perutku semakin mual dan pikiranku melayang-layang. Beberapa kali aku menguap dengan keras. Sempurna! Seluruh isi perutku telah menyatu dengan lautan.

Aku baru sadar, bahwa sedari tadi kawan-kawan telah berada di belakangku. Memijit leherku dan menawariku minyak kapak. Aku menggeleng dan memilih air kemasan untuk berkumur-kumur. Ada yang menyuruhku menguyur muka dengan air mineral itu. Dengan segera, aku pun membasuh mukaku dengan tetap melongo ke laut.

Segala pikiran tentang malu dan segala macam perangkat-perangkatnya tak kuhiraukan. Barulah aku tersadar ketika Bak Imlak berteriak,
“Kapten pemabuk!”
Serentak seluruh kawan tertawa. Aku pun ikut terbahak menerima julukan aneh ‘pemabuk’ yang bisa berarti miring menjadi orang brutal yang sering meminum minuman keras. Apa pun yang terjadi, itulah kenyataan. Dan aku harus menerima gelar itu, betapun memalukannya bagiku yang disebut sebagai Kapten.
(Bersambung…)

29 Maret 2012

Petualangan (Calon) Jurnalis

(Mozaik 1)



Oleh: Ummul Corn



Kami menunggu sampan di pelabuhan Dungkek, Sumenep. Sampan tujuan Sepudi yang kami pesan akan tiba pukul 11:00 WIB nanti. Jadi kami harus sabar menanti sekitar tiga jam lagi.



Berenam kami duduk di tembok dermaga dengan bawaan tas ransel bejibun yang luar biasa beratnya. Aku memandang ke laut, menyaksikan ombak yang bergerak pelan dan teratur, perahu-perahu berlayar seperti berebut untuk sampai.



Pagi itu, 21 Maret 2012, langit benar-benar cerah. Awan berarak memamerkan tariannya. Matahari benderang dengan sengatnya yang mengganas. Laut memancarkan warna perak diterpa cahaya surya. Warnanya biru berneka selapis-lapis. Aku membayangkannya seperti kue lapis raksasa yang terbuat dari ketan dengan variasi warna biru yang menggoda.



Salah satu kawan yang ikut adalah seorang hafidhah. Ia melantunkan ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan laut untuk kami. Itu cukup mendamaikan hati kami yang kalut karena takut. Dalam hati aku membatin, subhanallah... janji Allah untuk menjaga kemurnian al-Qur’an hingga akhir zaman ternyata tak pernah ingkar. Bak Imla’ telah menyimpan hafalan 30 juz al-Qur’an dengan sempurna di dalam jiwanya.



Belum hilang ketakjuban kami, tiba-tiba Kak Puput mengeluarkan kamera dari saku jaketnya. Jadilah kami berpose. Kami memang ‘klik mania’, semacam sindrom narsis melalui kamera.



Ada yang mengambil gambar dengan posisi duduk bloking di sisi kiri, berlatar laut, dan beberapa perahu di sisi kanannya. Kami bergantian saling jepret dengan gaya khas kami yang tentu saja tidak seperti pose untuk Kartu Tanda Penduduk. Kami pun tak terlalu amatir dalam hal memotret. Tahun 2011 lalu, saya mengikuti acara “Merekam Dunia dengan Kamera” yang diselenggarakan oleh SMA 3 Annuqayah dengan fasilitator Lora M. Mushthafa, salah seorang pengasuh muda di Annuqayah yang andal dalam hal fotografi. Dari acara itu, setidaknya saya punya sedikit bekal bagaimana menghindari pengambilan gambar yang buruk.



Karena asyik memotret, kami sampai lupa bahwa waktu sudah menginjak siang. Panas terasa menyengat lansung pori-pori kulitku. Aku tak sadar bahwa aku mengenakan kemeja dan kerudung berwarna hitam. Mungkin akulah yang paling merasa panas sehingga aku mengajak mereka pindah ke sebuah lencak kosong di dekat penjual gorengan.

Sepanjang jalan dermaga itu adalah pasar kecil. Di pinggir-pinggir jalan para pedagang berjejer memanjang. Pembeli berdesakan saling tawar-menawar. Sebagian ada yang mengangkut dagangan berupa kerupuk dan mie instan ke sebuah perahu untuk dikirim ke kepulauan. Anak-anak kecil mandi telanjang di tepi laut yang dangkal. Mereka terlihat asyik bermain air, tak peduli deru mesin sampan yang begitu bising.



Makin siang hidungku makin jelas mengendus bau amis. Meski aku bukan seorang vegetarian, tapi aku tidak menyukai bau ini, terasa memualkan perut. Itu adalah aroma ikan yang dikeringkan berbaur dengan bau kerang. Aroma ini familiar. Aku bisa menciumnya kala aku lewat di pinggir pesisir, seperti di pertigaan jalan Prenduan, Talang Siring, Pasongsongan, dan pasar-pasar tradisional yang menjual ikan kering.



Untuk menghibur diri kuputar lagu dari ponselku. Daftar musik yang ada di ponselku itu adalah lagu-lagu lawas yang kerap tak disukai banyak teman. Bahkan aku dijuluki makhluk klasik karena masih menyimpan lagu jadul. Salah satunya adalah It’s My Life acoustic version milik Bon Jovi, Lucky-nya Jason Mraz feat Colbie Caillat, Love Buzz kepunyaan Nirvana, Gomenasai lantunan Tatu, Caught In a Web kebanggaannya Dream Theater, dan Hysteria teriakannya Muse. Kalau pun lagu Indonesia ada itu juga milik penyanyi lawas, seperti Melly Goeslow, Agnes Monica, dan Sheila on7.



Lagu bagiku adalah segalanya, karena ia merupakan seni tarik suara yang dapat menyegarkan otak dan membangkitkan gairah hidup. Jadi wajar saja kalau aku tidak menyukai lagu pop anak band saat ini. Lagu-lagu Indonesia yang bermunculan di era ini bagiku terkesan sembarangan dan tak serius. Lagu seolah hanya menjadi candu untuk memunculkan popularitas belaka. Oleh karenanya tak heran para artis senitron dan layar lebar berduyun-duyun terjun ke dunia musik, meski kualitas suara mereka pas-pasan serta dengan lirik dan aransemen musik yang lagi-lagi tidak digarap dengan serius.



Selesai aku mengutuk musik anak band tanah air, tapi bukan berarti aku tak cinta Indonesia. Buktinya aku masih menyetel lagu Rindu dan Cinta Mati milik Agnes Monica. Dari daftar yang ada, lagu itulah yang cukup disukai oleh teman-teman. Jadi terpaksa aku memutarnya berulang-ulang sampai aku sendiri bosan dan menekan tombol moratorium.



Karena asyik mengobrak-abrik musik, tiga jam berjalan begitu singkat. Seorang awak sampan telah melambai dikejauhan. Kami menggendong kembali ransel yang sedari tadi tergeletak di atas lencak bersama satu botol air mineral berukuran 1500 ml dan beberapa makanan ringan. Kami bergegas mempersiapkan diri menaiki perahu yang akan mengantarkan kami ke sampan. Oke kawan, petualangan akan segera dimulai!



Bersambung...



28 Maret 2012

12 Januari 2012

Desa Kentut

Oleh: Ummul Corn

Hampir seluruh warga desa A, dibuat resah dan panik oleh kejadian yang benar-benar tidak masuk akal. Masyarakat seolah mendapat teror luar biasa atas terjadianya persoalan aneh itu. Bagaimana tidak, sudah dua hari lamanya bau-bau busuk serupa kentut terus menyerang dari seluruh penjuru arah dan menyesaki kampung-kampung.

Setiap kali menghirup udara, yang tercium hanyalah bau busuk tak sedap, mengalahkan aroma pengharum ruangan dan parfum dari yang harganya murah sampai yang paling mahal. Desa A, lebih cocok diberi julukan ‘desa pembungan limbah’ atau ‘muara comberan’. Sebab bau-bau kentut itu seakan menyerang untuk memproklamirkan kemerdekaannya para seluruh warga. Terlebih kepada Pak Kades yang kerap kali pingsan karena tidak biasa menghirup bebauan macam itu. Sementara istrinya terus meneguhkan Pak Kades agar tak pernah gentar menghadapi persoalan yang menurutnya lebih menyerupai teka-teki.

Menanggapi masalah tersebut, Pak Kades menjadi gundah, para aparat desa bingung, dan seluruh warga panik bercampur heran.

Di balai desa, Pak Kades duduk di menja kerjanya dengan raut muka tertekuk lima. Tampak beberapa jumlah kerutan di jidatnya. Sorot mata sipitnya mengarah entah ke mana. Pandangan kosong. Sementara lima jemari tangan kanannya bergantian mengetuk meja. Ruangan hening. Yang tersisa hanya suara jemari beradu dengan meja menghasilkan irama tak karuan.

Ia tidak habis pikir, mengapa kejadian kali ini begitu tidak masuk akal. Sedangkan menurutnya, sepanjang sejarah desa yang telah ia pimpin selama dua periode itu selalu aman dan makmur. Bahkan sejak ia didaulat untuk menjadi kepala desa, justru banyak penghargaan yang diraih baik dari tingkat kecamatan maupun kabupaten. Lama-lama ia menjadi berang dan mengumpulkan seluruh aparat desa untuk bermusyawarah dalam rangka memecahkan persoalan tersebut.

“Kejadian macam apa ini?!” bentaknya sambil mengepalkan tinju di atas meja keras-keras. Alhasil seluruh peserta rapat yang hadir tersentak kaget.

Hening kembali. Tak ada yang berani bersuara. Forum kali ini seolah hanya dikuasainya.

“Pokoknya saya tidak mau tahu. Besok lusa, bau-bau busuk itu harus terbasmi. Cari sumbernya dan berantas! Mengerti?!” lagi-lagi Pak Kades tidak bisa menahan emosinya yang semakin membuncah.

“Kami sudah berusaha mencari sumber bau tersebut. Tetapi seperti angin, bau itu terus menyerang dari seluruh penjuru arah. Kami malah semakin bingung,” ujar koordinator bagian kesehatan dan kebersihan lingkungan lirih. Ia takut Pak Kades akan bertambah murka.

“Alah! Masak mengurus kentut saja tidak becus. Jangan cuma alasan, mari semua bangkit! Kerahkan seluruh warga untuk membasmi bau-bau bangsat itu. Cari cara apapun. Berapa pun biayanya akan saya bayar,” jawabnya kemudian yang menandakan rapat berakhir sampai di situ.

Serentak para aparat desa yang hadir bangkit dan melangkah pulang untuk mengerjakan mandat dari Pak Kades. Di jalan, ada satu dua orang yang melangkah sambil berbisik-bisik mengenai kegusaran Pak Kades. Mereka sedikit kecewa mengapa ia menghadapi masalah ini dengan emosi yang tinggi. Setahu mereka, pemimpin itu mengayomi. Bukan malah membentak-bentak dan menyalahkan bawahan serperti kejadian barusan. Tetapi kekecewaan tersebut tertepis kembali oleh besarnya kekhawatiran mereka pada masalah bau kentut yang menimpa.

Maka siang itu juga para penduduk memulai aksi mereka. Namun sebelumnya mereka dikumpulkan di balai desa untuk diberi arahan tentang tata cara penyerangan bau-bau tak sedap itu sesuai dengan ide dari pengurus desa tim Kesehatan dan Kebersihan lingkungan. Beberapa aparat desa yang bertugas membagi-bagikan pengharum ruangan, serbuk pembasmi bau comberan, dan masker tampak sibuk berseliweran di tengah-tengah kerumunan warga.

Suasana tampak ramai. Dari suara Pak Kades yang mewanti-wanti warga menggunakan pengeras suara, suara bisik-bisik warga yang menjadikan tempat tersebut serupa sarang lebah, ditambah lagi dengan tangisan anak-anak kecil yang tidak tahan dengan bau kentut.

“Jadi... mulai siang ini kalian pakai masker itu sebagai cadar. Seperti ini... eee.. eee... Kalian juga harus menaburkan serbuk pembasmi bau comberan di selokan comberan masing-masing. Dan yang terakhir, semprotkan pengharum ruangan itu. Kalau perlu, di halaman rumah juga bisa disemproti,” Pak Kades tampak antusias mewanti-wanti warga sembari mencontohakan cara menggunakan ketiganya. Maklum tak semua orang desa pernah mengenal apalagi menggunakan alat-alat tersebut.

Begitulah desa A yang mencoba untuk membasmi perkara aneh yang tidak ditemukan sebab-musababnya itu. Pekerjaan tersebut dilakukan dengan semangat 45 karena desa itu sedang getol-getolnya mempersiapkan acara penyambutan Bapak Bupati yang akan berkunjung ke desa A yang terkenal aman, sejahtera, penuh potensi, dan cinta lingkungan. Acara tersebut memang menjadi program kerja kabupaten S mengingat pentingnya kesehatan dan kebersihan lingkungan. Dan inilah yang paling membuat Pak Kades geram. Ia tidak kuasa menanggung malu membayangkan desanya tetap dalam keadaan bau kentut seperti itu. Maka sepertinya, apapun sanggup ia lakukan untuk tetap mempertahankan citra desanya.

Sungguh amat disayangkan. Kejadian aneh yang hanya berpangkal dari kentut itu membuat prestasi dan prestise Pak Kades rusak. Bagaimana tidak, surat kabar kini sering memberitakan perihal desa A sebagai tempat yang jorok dan tidak lagi cinta lingkungan. Karena itulah Pak Kades ingin membuktikan kepada semua orang bahwa desa yang berada di bawah pimpinannya itu akan aman dan makmur kembali.

Namun seperti selalu terjadi keajaiban. Semakin kentut itu dibasmi, bebauan itu pun semakin menjadi-jadi. Entah itu sebuah peringatan Tuhan ataukah sihir dari seorang dukun jahat. Warga semakin bingung memikirkannya. Yang tertanam di benak mereka adalah bahwa manusia tidak dapat melawan kuasa alam yang demikian. Sembari bertawakal kepada Allah, mereka terus-menerus berusaha. Sebab keduanya mereka percayai sebagai jimat dalam mengarungi kehidupan.

Keesokan harinya, di sepanjang jalan desa, muncul suara-suara aneh yang membuat warga bertambah cemas. Suara-suara itu seperti suara kentut yang bermunculan dari udara. Ya, suara kentut yang beraneka ragam. Ada yang nyaring berbunyi duut, bruut, atau dhuul , ada yang cempreng berbunyi preeth, teeth, atau niiit, dan ada pula yang hanya berbisik sstttt. Bunyi dan bebauan itu semakin besorak dan berteriak seolah tengah melakukan demo besar-besaran.

”Para sahabat kentut sekalian, mari kita bangkit dan tunjukkan aksi kita tahun ini. Teruslah ledakkan suara kalian dan penuhi desa ini dengan bebauan!” teriak pimpinan kentut memberikan aba-aba kepada seluruh pasukannya.

“Benar! Kali ini kita harus tunjukkan kepada mereka bahwa kita juga merdeka dan bebas bersuara!” teriak salah satu pasukan kentut mendukung pemimpinnya.

“Setuju! Saatnya kita melawan. Seraaaang...” susul suara yang lain lebih bersemangat.

Kentut-kentut itu seolah tengah meluapkan kekesalan mereka lewat demonstarasi yang tak henti sepanjang siang dan malam. Sementara itu, di saat yang bersamaan, penduduk pun dikumpulkan kembali di balai desa. Pak Kades semakin muraka. Terutama kepada tim Kesehatan dan Kebersihan Lingkungan yang dia rasa tidak becus dalam menangani kasus ini. Itu terlihat jelas dari belalakan mata sipitnya yang dipaksa terkuak lebar. Bola matanya hampir seperti melompat ke halaman balai. Para penduduk seketika terhenti mendengar teriakan Pak Kades dari corongan TOA yang berdiri tegak di samping gedung balai.

“Sialan! Kurang ajar sekali kentuk-kentuk itu! Mereka benar-benar telah meneror kita habis-habisan. Sekarang kita harus lakukan sesuatu agar kentut bangsat itu tidak kerasan di desa ini. Kalian harus bekerja lebih giat lagi! Kali ini kita harus berperang melawan mereka. Serang dan berantas kentut itu!” Teriak Pak Kades berapi-api.

Para aparat desa kembali membagi-bagikan dupa dan kemenyan yang diperoleh dari seorang dukun sakti mandaraguna di desa itu. Sebagian warga ada yang langsung bergegas dan ada pula yang masih menunduk. Mereka yang masih menunduk itu ternyata adalah warga yang merasa tidak tega membasmi kentut-kentut itu. Mereka merasa, selama ini tidak deperlakukan layak oleh Pak Kades. Ia hanya peduli rakyat kalau ada maunya saja. Mereka merasa ditindas seperti kentut-kentut itu. Disayang hanya bila ada kepentingan penguasa.

Namun demikian, mereka tak kuasa menolak titah pemimpin. Para warga yang masih tertegun dengan berat hati melangkah untuk juga menyerang. Sebenarnya hati nurani mereka berkata bahwa kentut-kentut itu adalah bentuk perwakilan warga dalam mendemonstarasikan diri atas kabar tentang desa A yang aman dan sejahtera. Padahal paradoks! Kabar harum itu hanya terlontar dari mulut omong kosong Pak Kades setiap klai diwawancarai wartawan media massa. Dia memang pintar menutup-nutupi aib desa yang pada kenyataannya menampung rakyat sengsara.

Saat para warga sibuk membakar dupa dan kemenyan bergantian, tiba-tiba ada suara tangis yang begitu pilu. Kepulan asap dupa dan kemenyan sebagian warga ternyata telah menyerang. Dan tangis itu pun semakin menjadi-jadi. Tangis yang berseliweran di udara. Mula mula satu, kemudian dua, dan akhirnya ramailah desa A oleh tangis. Ternyata kentut-kentut itulah yang kini tengah tersedu. Mereka bisa menangis! Mereka bisa berbicara!

“Kumohon hentikan! Jangan sakiti kami. Kami hanya ingin meredeka. Menikmati hidup dengan harga diri. Tidak didiskriminasi seperti suara dari anatomi tubuh yang lain,” rintih sebuah suara disertai isak di sela-sela kalimatnya.

“Benar! Kami ingin merasakan kebebasan. Kami sudah tidak tahan terus berada di bawah pantat. Kami tidak mau lagi disembunyikan. Kami ingin tampil di muka umum.”
“Taukkah kalian sadar bahwa kami ini adalah kalian. Tubuh kalian adalah tubuh kami.”

“Bahkan kami tahu, kalian tidak punya banyak keberanian untuk membela diri. Maka biarkan kami yang yang bersuara mewakili kalian.”

“Betul...!” sorak yang lain.

“Sepakat...!” teriak mereka lebih lantang.

“Apakakah kalian tega mengusir diri kalian sendiri? Bila tidak, berikan kami kesempatan untuk beraksi. Kali ini saja...”

Di luar dugaan, mendengar rintihan yang sambung menyambung itu, warga menjadi tidak tega untuk terus melanjutkan pertempuran sesuai rencana. Perlahan mereka melepas dupa yang telah tersulut bagian ujungnya. Lalu dengan hati dilema mereka menginjak-injak dupa dan kemenyan itu. Tampak sebagian warga berwajah sayu. Ada pula yang menangis haru. Seolah benar-benar merasakan satu-kesatuan dengan kentut-kentut itu. Di sisi lain, mereka pun takut untuk menghadap Pak Kades yang tengah menunggu di balai desa bila membawa kabar kepasrahan dan kekalahan.

Beberapa warga yang telah berhasil mengumpulkan keberanian segera bergegas menuju balai desa untuk melapor.

“Maafkan kami, Pak. Kami benar-benar tidak sanggup melakukan tugas ini. Kentut-kentut itu bisa bicara. Mereka menangis, Pak...” ujar lelaki setengah baya bertubuh tinggi-kurus dan memiliki kumis tebal.

“Omong kosong! Bualan macam apa yang telah kalian rangkai untuk mengibuli saya, ha?! Mana ada kentut bisa bicara. Heran! Saya tidak mau tahu. Besok pagi kentut-kentut itu harus sudah terbasmi. Mau ditaruk di mana muka saya?”

Lagi-lagi warga harus melangkah pulang bersama perasaan takut, kecewa, dan iba yang bercampur aduk. Diam-diam mereka membatin, kalau saja membunuh tidak dihukumi haram dan tidak terhitung sebagai tindak kasus pidana, maka lebih baik mereka membunuh Pak Kades yang terkenal galak itu saja. Namun mereka segera menepis pikiran-pikiran jahat yang tidak berprikemanusiaan itu.
©©©

Sudah lebih dari delapan kali Pak Kades menatap arloji emas di pergelangan tangan kirinya. Seperti tengah menunggu seorang pacar dalam usia mudanya. Tetapi jauh di kedalaman hatinya, ia berharap awan akan berkumpul menjadi mendung tebal sebelum akhirnya menumpahkan seluruh persediaan air yang tersimpan.

Berkali-kali ia juga menelan ludah sambil membelalakkan mata untuk memandang pada seluruh aparat desa yang hilir-mudik di dekat gerbang. Dalam batinnya ia meratap, oh... sungguh ini bukan mimpi.

Meski terop di halaman balai telah tergak berdiri dan kursi-kursi telah tertata rapi, tetapi mengapa kentut-kentut bau itu tak kuga kompromi lalu pergi. Bahkan mereka semakin menjadi-jadi. Seperti memang disengaja. Dan inilah hari inti mereka akan menampilkan atraksi. Pak Kades terduduk dan tertunduk lemas.

Lima menit kemudian terdengar suara beberapa mobil memasuki halaman balai. Empat mobil terparkir rapi. Seorang lelaki bertubuh tambun dengan kepala botak bagian depannya keluar dari mobil Jazz berwarna merah hati. Dialah Bapak Bupati yang langsung disambut oleh Pak Kades dan disuguhi masker. Ia melangkah menuju kursi barisan paling depan dengan tanpa bersuara sepatah kata pun.

Acara dimulai. Saatnya Bapak Bupati menyampaikan sambutan. Pak Kades dan seluruh warga tampak tegang. Sementara suara dan bebauan kentut itu lebih gawat dari sebelumnya.

“Terima kasih atas sambutan hangatnya. Kali ini saya tidak bisa berkata panjang lebar. Karena kini saya tahu seperti apa kesejatian desa ini. Saya hanya ingin memberi julukan kepada desa A sebagai desa Kentut. Itulah predikat dari kabupaten untuk desa A tahun ini,” katanya dilatari suara kentut yang beraneka ragam. suaranya tidak begitu jelas karena terhalang masker berwarna biru langit yang menutupi mulutnya.

Kamera para wartawan berkerjap-kerjap membidik Pak Bupati. Sejenak kemudian kerjapan kamera itu mengarah pada kerumunan warga yang tengah membopong Pak Kades yang jatuh pingsan.

Acara tetap dilangsungkan meski Pak Kades telah dibopong ke Puskesmas oleh beberapa warga. Sementara para aparat desa tak ada yang mau mewakili sambutan karena jatuh malu. Tiba-tiba istri Pak Kades maju dengan langkah tegap dan wajah sumringah. Ia memperbaiki cangga mik di podium dan kemudian memulai sambutannya.

“Terima kasih pula kami ucapkan kepada pihak Kabupaten yang telah memberikan predikat desa Kentut kepada desa kami. Kami tidak lantas merasa pihak Kabupaten telah melakukan diskriminasi kepada desa kami atas nama yang telah diberikan. Bahkan kami menganggap nama tersebut adalah nama kreatif yang akan membuat desa ini dikenang sepanjang sejarah dengan nama unik berdasarkan kejadian yang kami beri nama serangan kemerdekaan kentut.

Kentut bagi kami bukanlah sesuatu yang menjengkelkan meski baunya kerap kali menjijikkan. Tetapi di sisi lain, kentut juga butuh kemerdekaan demi pelonggaran wilayahnya, yaitu perut manusia. Yang hal itu juga berdampak kepada kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Dan serangan kentut ini merupakan analogi yang butuh kecermatan. Tidak mesti dipahami sebagai serangan biasa, karena kejadian ini memang benar-benar tidak biasa. Bukankah begitu?

Hadirin yang berbahagia. Tentu dengan nama desa Kentut, desa kita akan mendapatkan perhatian dari sisi sejarah sosialnya. Maka sekali lagi terima kasih kepada pihak Kabupaten yang telah memberikan ciri khas kepada desa kami. Kami menerimanya sebagai salah-satu bentuk keprihatinan pemerintah Kabupaten kepada desa kami. Meski sebenarnya, masalah yang berpangkal dari bau kentut ini tidak hanya bertumpu pada masyarakat desa ini saja. Bahkan, pihak Kecamatan dan pihak Kabupaten seharusnya peduli dan mau tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik problema kentut yang melanda. Bukan hanya sekedar menganugrahi nama sebagai julukan. Demikian sambutan dari saya mewakili bapak Kepala Desa A yang kini dianugrahi julukan sebagai desa Kentut.”

Tepuk tangan menyeruak menyesaki udara. Muka para pemerintah Kabupaten serempak merah padam. Masyarakat tampak berbisik-bisik. Ada yang bersuara di dekat gerbang yang hanya didengar oleh istri Pak Kades, “Terima kasih, anda telah mewakili kaum kentut. Saatnya kami berpamitan.”

Toko Coe-Coe, 12 Juli 2011

11 Januari 2012

P U T U S

Suatu ketika, engkau mungkin pernah mendengar petuah macam ini dari salah seorang kakak seniormu: “Jika kau bulum pernah pacaran, maka jangan pernah berniat untuk melakukannya. Sebab pacaran adalah candu dan kau akan merasakan betapa menyakitkannya menjalani hari-hari yang sendu.”

Jangan sekali-kali kau remehkan petuah itu. jangan kau anggagp itu kalimat bualan yang basi. Karena bila kau melakukan hal terlarang itu, sesuatu yang tidak kau harapkan mungkin akan terjadi. bagus bila kau sampai pada harapan. Tetapi tak ada yang tahu apa yang akan menimpamu di tengah jalan.

Aku tidak berniat untuk menakut-nakutimu. Aku tak bermaksud untuk menyinggung mereka yang tengah menjalani pacaran atau jalinan serupa dengan nama status yang berbeda. Aku hanya ingin berbagi tentang beberapa kisah para sahabat yang rupanya, mereka mengulum senyum cerianya hanya karena putus cinta.

Dalam pacaran, kau akan ditawari berbagai khayalan tentang keindahan di masa depan. Yang terlintas hanyalah bayangan kebahagiaan. Seolah tak memberimu celah pikiran dan perasaan untuk tidak melihat selain gambaran indahnya hidup bersama si dia. Bahkan para pencinta lupa untuk berpikir realistis tentang kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa depan selain dari bahagia.

Sebagian dari mereka yang mencita dan menjalin hubungan akan meluncurkan ultimatum bahwa cintalah yang telah melahirkan semangat dalam diri mereka. Cintalah yang telah memotivasi hidup mereka hingga menjadi lebih bermakna. Mereka sering menyebutnya sebagai cinta yang mengalirkan energi positif. Lebih tepatnya cinta positif.

Ada-ada saja alasan mereka untuk menentang kesejatian makna dan hakikat cinta. Meka berkesimpulan bahwa pacaran asal melahirkan sesuatu yang positif itu sah sah saja. Masak begitu ya? (hahaha ) Inilah lelucon yang kerap membuatku tertawa bila mendengarnya. Sebab kata positif hanyalah kedok bagi mereka untuk menutupi kerak lengket di balik sesuatu yang bernama pacaran.

Tapi cobahal bertanya kepada mereka yang pernah putus cinta. Dengan sigap mereka akan menjawab bahwa cinta itu adalah tai kucing. Cinta bagai rayap yang perlahan akan mengikis kayu kehidupanmu. Bagi mereka cinta hanyalah kisah fiktif tentang keindahan yang berasal dari negeri dongeng. Sebenarnya, di dalamnya tak ada keindahan. Tak ada kebahagiaan. Yang tersisa hanyalah penyesalan dan kutukan atas kesepian.

Pada dimensi tertentu, pacaran akan mengubahmu menjadi seseorang yang sama sekali tak kau kenali. Seseoarang yang berkedok dengan topeng. Sesorang yang kebingungan di rumahnya sendiri. Bahkan kau tak lagi bisa melihat sisi kemurniaan hatimu sekalipun melalui bayangan dalam pantulan cermin. Sungguh ini adalah sesuatu yang mengerikan!

Itulah sebabnya mengapa para pencinta yang gagal menuju harapan terus saja mengutuki keputusan. Semangat mereka tersulut membara hanya untuk menertawai istilah-istilah cinta yang diumbarkan dalam pacaran. Mereka menganggap kata-kata itu adalah sesuatu kekonyolan yang dapat menaklukkanmu menjadi budak. Ada sebagian dari mereka yang mengidap sindrom kalusafobik. Sepanjang waktu mereka gunakan untuk terus mengutuki para pencinta dengan segala ejektif yang lebih dari sekedar menyakitkan.

Ini adalah perbandingan dua kisah yang bermula hanya karena satu kata; pacaran. Sepintas terlalu sederhana. Tetapi cobalah menyepi di suatu senja saat langit melukis warna lembayung dengan kanvas raksasanya. Saat angin perlahan menyelinap masuk dalam pori-pori dan meniup kulit harusmu dengan begitu lembutnya. Cobalah renungkan betapa hati memang harus ditata dengan rapi.

Seusai angin berlalu. Saat kau hanya sendiri. Saat kau berdialog dengan dirimu sendiri, tanyakanlah pada hatimu yang bening tentang nyanyian burung nuri dalam sangkar jiwamu. Tanyakan kepadanya ke mana ia akan terbang bila dilepaskan. Menuju luka ataukah zona yang lebih waspada?

Karang Jati, 08 Januari 2012.