30 November 2011

Lelaki dalam Peta Rahasia

“Suatu ketika aku berhadapan langsung dengan potongan imajinasiku. Tentang bayangan seorang lelaki yang bertandang ke Gubuk Cerita kami. Ia mengaku telah menempuh angin-hujan-badai silih berganti––milyaran rintangan untuk sampai di titik nadiku. Maka mari, aku ingin berbagi. Akan kubacakan kepadamu surat masa depanku untuk lelaki dalam peta rahasia itu.”

Lelakiku, apakah kini engkau baik-baik saja? Aku berharap begitu. Sebab aku ingin kau tengah duduk di beranda dengan senyum terkembang sambil sesekali menyeruput kopi saat membaca suratku ini. Atau begini saja; kau tengah menikmati semilir angin dingin sebelum hujan yang mengalir di sela-sela daun jagung di bukit belakang rumahmu sambil memandangi pohon siwalan yang berdiri kokoh seperti dirimu. Barang kali itu akan lebih menyenangkan dari pada kau berbaring lemah di atas ranjang dengan muka pucat dan perasaan terganggu sebab datangnya surat ini.

Aku sebenarnya bingung mau memulai dari mana. Aku sungguh tidak tahu apa-apa. Terlebih memulai pembicaraan dalam sebuah surat. Aku harus jujur kepadamu bahwa catatan harianku hanya penuh dengan rangkaian kata-kata yang sama sekali tidak menarik bagiku. Maka ketika tiba-tiba aku ingin menulis surat ini kepadamu, aku pun heran pada diriku sendiri: toko manakah yang telah kukunjungi untuk membeli koloan keberanian? Padahal aku tidak punya banyak keberanian dan kemampuan untuk menulis sesuatu dengan cara yang menarik. Ah, tapi pada akhirnya aku mulia menulis. Menarik atau tidak, semoga surat ini bisa sampai di tanganmu.

Bagaimana dengan masa depan kita kelak ya? Apakah kamu telah merancang semuanya dalam maket yang sistematis? Atau paling tidak kamu sempat membayangkan bila kelak aku masuk dan mencampuri kehidupanmu.

Bicara tentang masa depan, dari dulu aku sudah berusaha keras untuk memikirkannya. Tetapi aku tak kunjung memperoleh gambaran yang pas tentang kamu yang seperti adanya. Inilah puncak keterbatasanku. Hingga khayalan-khayalan itu hanya berupa kepingan imajinasi yang tak tuntas. Hanya berakhir dalam darama bisu yang berkepanjangan. Berakhir dalam teka-teki yang tak mampu kuungkapkan.

Tetapi agaknya aku sedikit percara pada kekuatan pikiran, bahwa apa yang aku pikirkan detik ini akan benar-benar terjadi di detik kemudian. Ini bukan hal yang mutlak, tapi karena aku sering mengalaminya maka aku berasumsi bahwa mungkin itu juga merupakan kebenaran. Dengan begitu, saat menulis surat ini, aku tengah memikirkan masa depan kita yang kuyakini akan benar-benar terjadi di masa depan. Entah kapan.

Lebih baik aku berkata jujur dengan mengemukakan alasan mengapa menulis surat ini. Meski kita sama-sama tahu bahwa alasan itu bisa dibuat-buat terutama dalam situasi dan kondisi yang mendesak. Alasan itu banyak macamnya. Kita tinggal memilih dari yang konyol sampai yang masuk akal. Tetapi yang perlu dicatat adalah bahwa aku inign menyampaikan alasan yang sederhana dan tak mengada-ada: bayanganmu selalu memenuhi pikiranku akhir-akhir ini. Alasan ini mungkin tertalu polos sebab aku mengatakannya secara gamblang. Aku juga merasa sedikit malu karena kini usiaku belum sempurna dewasa. Namun saat ingat pada petuah ‘dewasa tidak terpaut usia’, aku menjadi percaya diri dan merasa yakin untuk menuliskan sesuatu agar sampai ke tanganmu.

Apakah kau pintar bermain gitar? Atau kau pianis yang mewarisi kemampuan Beethoven dalam memaninkan Moonlight Sonata? Aku membayangkan begitu. Lalu bisakah kau bayangkan pula betapa romantisnya bila kita bisa duduk berdua di permukaan bulan yang terbuat dari keju hijau. Kau memetik senar cello dengan sangat hati-hati sebelum mulai menyanyikan lagu Bella Lunanya Jason Mraz. Hingga kita seperti berlayar mengitari bumi dengan nada-nada yang terdengar ke seluruh tata surya.
Dan lebih hebatnya lagi bila kita berhasil menarik perhatian ribuan makhluk dari negeri bintang dan planet-planet lain untuk juga menikmati alunan musik kita. Itu akan sangat mengagumkan karena kita seperti telah berbagi kebahagiaan. Itu juga akan melenyapkan istilah ‘dunia bagaikan milik kita berdua’ yang rasa-rasanya kalimat itu mendoktrin otak para pecinta agar bersikap pelit dan egois. Aku sama sekali tidak menyukai hal itu karena bahagia bagiku adalah kemampuan untuk saling berbagi.

Kalau pun kau adalah orang yang sama sekali tidak bisa memainkan semua jenis alat musik, itu tak jadi masalah. Aku akan tetap berusaha untuk menyayangimu dengan segala kekurangan yang melekat dalam dirimu. Tetapi entah kenapa aku yakin saja bahwa kau adalah seorang yang paham tentang jenis musik yang keren.

Sampai di sini kau pasti berpikir bahwa surat ini begitu panjang dan melelahkan. Mungkin selama beberapa menit kau merasa jenuh antara meneruskan membaca atau berhenti sampai di sini saja. Tetapi jika aku berusaha menulis ini di atas kertas, mampukan juga kau bertahan untuk membacanya sampai tuntas? Atau barangkali kau mempunyai pekerjaan mendadak sehingga harus menunda membaca. Aku mafhum itu. kuharap kau dapat melanjutkan lain kali. Tapi jika kau tengah dalam keadaan santai menikmati waktu yang kosong, aku berharap kau dapat terus menyusuri lembaran-lembaran ini.
Sampai di mana barusan? Oh ya, kebahagiaan. Apakau kini kau bahagia? Bagaimanakah engkau memaknai kebahagiaan? Atau telah salah melemparkan pertanyaan macam ini? Sebab kapan hari aku pernah berdiskusi tentang kebahagiaan dengan salah seorang sahabat. Ia berargumen yang melahirkan pencerahan bagi pemikiranku. Setidaknya bagi persepsiku sendiri tentang kebahagiaan.

Ternyata kebahagiaan itu tidak dapat dinilai mutlak-tunggal. Ukuran kebahagiaan bagi masing-masing orang itu berbeda. Ada yang bahagia dengan harta, pangkat, dan kekuasaan. Tetapi tak jarang orang bahagia hanya dengan proses dan hidup yang penuh kesederhanaan.

Sebenarnya aku benar-benar tidak pantas untuk bertanya apakah kini kau bahagia atau tidak, sebab sekali lagi, mungkin aku menganggap aku lebih bahagia dari dirimu, sementara kau pun mungkin merasa lebih bahagia dariku. Begitu pun sebaliknya. Semoga saja kelak kita selalu berbahagia dengan kesederhanaan hidup kita, bahagia dengan saling memiliki dan berbagi, bahagia dengan suara anak-anak kita yang penuh imajinasi, dan bahagia dengan kelapangan hati yang kita miliki.

Imajinasiku terus menyusuri garis jalannya. Seperti yang kukhayalkan, kau adalah seorang pemimpin yang bijaksana. Seorang lelaki yang menghargai perempuan. Seorang sahabat yang paham ekofeminisme. Dengan begitu kau akan selalu menghargai alam sebagaimana kau menghargai seorang ibu. Kau akan selalu menganalogikan tubuh perempuan sebagai harmoni alam. Sebagaimana musim yang selang-seling serupa perempuan menstruasi. Atau contoh yang lebih sederhana adalah ibu hamil bisa meyusui dengan lancar jika disuplai dengan sayur-sayuran, itu sama dengan alam yang akan subur jika banyak pepohonan dan tumbuh-tumbuhan. Kau akan menjadi manusia damai yang peka terhadap alam. Salah-satu sikap yang pasti kau milliki adalah kesadaran bahwa alam ini adalah sahabat kita, menganggap semua yang ada mempunyai jiwa, dan menaburi kasih sayang terhadap segala sesuatu yang ada di sekelilingmu.

Bila mulai dari tadi aku selalu berusaha jujur kepadamu tentang segala sesuatu yang menimpa hidupku; bayanganmu, keluguanku, dan caraku menulis dengan gaya konyol ini, sebagai penutup, tentu saja aku aku juga perlu mengajukan beberapa pertanyaan kepadamu. Ada empat pertanyaan sederhana yang perlu kau jawab. Apakah kau sudah berkenalan dengan dirimu? Tahukah kau tentang hakikat semesta dan penciptaannya? Bagaimana seharusnya kita menjalani kehidupan ini? Bisakah kau memastikan kepadaku bahwa tak kan ada kehidupan lagi setelah kebersamaan kita nanti?

Keempat pertanyaan ini tidak untuk dijawab dan lalu dipresentasikan kepadaku layaknya seorang mahasiswa yang mempunyai kewajiban terhadap soal-soal materi ujian akhir semester dari sang dosen. Tidak! Karena surat ini bukanlah lembar-lembar soal. Kau hanya perlu menjawabnya untuk dirimu sendiri. Untuk kau renungi dalam kesendirianmu. Ini bukan berarti aku memaksamu berpikir keras dengan gaya pertanyaan filosofis. Tetapi kita semua sadar bahwa hidup ini adalah proses menuju sesuatu impian. Entah itu mungkin atau tidak. Dan kita kerap kali memaknainya sebagai harapan. Harapan yang melekat di antara kita dan kerinduan untuk bertemu sebelum akhirnya kita bisa mengikat hati dan lalu saling berbagi.

“Lelakiku, kau masih tetap sessosok yang tengah berdiam dalam peta rahasia. Aku yakin, suatu kelak, kau akan datang dengan membawa gitar dan secarik puisi untukku dan kehidupan baru kita.”


Karang Jati Assaudah, 30 Nopember 2011