30 November 2011

Lelaki dalam Peta Rahasia

“Suatu ketika aku berhadapan langsung dengan potongan imajinasiku. Tentang bayangan seorang lelaki yang bertandang ke Gubuk Cerita kami. Ia mengaku telah menempuh angin-hujan-badai silih berganti––milyaran rintangan untuk sampai di titik nadiku. Maka mari, aku ingin berbagi. Akan kubacakan kepadamu surat masa depanku untuk lelaki dalam peta rahasia itu.”

Lelakiku, apakah kini engkau baik-baik saja? Aku berharap begitu. Sebab aku ingin kau tengah duduk di beranda dengan senyum terkembang sambil sesekali menyeruput kopi saat membaca suratku ini. Atau begini saja; kau tengah menikmati semilir angin dingin sebelum hujan yang mengalir di sela-sela daun jagung di bukit belakang rumahmu sambil memandangi pohon siwalan yang berdiri kokoh seperti dirimu. Barang kali itu akan lebih menyenangkan dari pada kau berbaring lemah di atas ranjang dengan muka pucat dan perasaan terganggu sebab datangnya surat ini.

Aku sebenarnya bingung mau memulai dari mana. Aku sungguh tidak tahu apa-apa. Terlebih memulai pembicaraan dalam sebuah surat. Aku harus jujur kepadamu bahwa catatan harianku hanya penuh dengan rangkaian kata-kata yang sama sekali tidak menarik bagiku. Maka ketika tiba-tiba aku ingin menulis surat ini kepadamu, aku pun heran pada diriku sendiri: toko manakah yang telah kukunjungi untuk membeli koloan keberanian? Padahal aku tidak punya banyak keberanian dan kemampuan untuk menulis sesuatu dengan cara yang menarik. Ah, tapi pada akhirnya aku mulia menulis. Menarik atau tidak, semoga surat ini bisa sampai di tanganmu.

Bagaimana dengan masa depan kita kelak ya? Apakah kamu telah merancang semuanya dalam maket yang sistematis? Atau paling tidak kamu sempat membayangkan bila kelak aku masuk dan mencampuri kehidupanmu.

Bicara tentang masa depan, dari dulu aku sudah berusaha keras untuk memikirkannya. Tetapi aku tak kunjung memperoleh gambaran yang pas tentang kamu yang seperti adanya. Inilah puncak keterbatasanku. Hingga khayalan-khayalan itu hanya berupa kepingan imajinasi yang tak tuntas. Hanya berakhir dalam darama bisu yang berkepanjangan. Berakhir dalam teka-teki yang tak mampu kuungkapkan.

Tetapi agaknya aku sedikit percara pada kekuatan pikiran, bahwa apa yang aku pikirkan detik ini akan benar-benar terjadi di detik kemudian. Ini bukan hal yang mutlak, tapi karena aku sering mengalaminya maka aku berasumsi bahwa mungkin itu juga merupakan kebenaran. Dengan begitu, saat menulis surat ini, aku tengah memikirkan masa depan kita yang kuyakini akan benar-benar terjadi di masa depan. Entah kapan.

Lebih baik aku berkata jujur dengan mengemukakan alasan mengapa menulis surat ini. Meski kita sama-sama tahu bahwa alasan itu bisa dibuat-buat terutama dalam situasi dan kondisi yang mendesak. Alasan itu banyak macamnya. Kita tinggal memilih dari yang konyol sampai yang masuk akal. Tetapi yang perlu dicatat adalah bahwa aku inign menyampaikan alasan yang sederhana dan tak mengada-ada: bayanganmu selalu memenuhi pikiranku akhir-akhir ini. Alasan ini mungkin tertalu polos sebab aku mengatakannya secara gamblang. Aku juga merasa sedikit malu karena kini usiaku belum sempurna dewasa. Namun saat ingat pada petuah ‘dewasa tidak terpaut usia’, aku menjadi percaya diri dan merasa yakin untuk menuliskan sesuatu agar sampai ke tanganmu.

Apakah kau pintar bermain gitar? Atau kau pianis yang mewarisi kemampuan Beethoven dalam memaninkan Moonlight Sonata? Aku membayangkan begitu. Lalu bisakah kau bayangkan pula betapa romantisnya bila kita bisa duduk berdua di permukaan bulan yang terbuat dari keju hijau. Kau memetik senar cello dengan sangat hati-hati sebelum mulai menyanyikan lagu Bella Lunanya Jason Mraz. Hingga kita seperti berlayar mengitari bumi dengan nada-nada yang terdengar ke seluruh tata surya.
Dan lebih hebatnya lagi bila kita berhasil menarik perhatian ribuan makhluk dari negeri bintang dan planet-planet lain untuk juga menikmati alunan musik kita. Itu akan sangat mengagumkan karena kita seperti telah berbagi kebahagiaan. Itu juga akan melenyapkan istilah ‘dunia bagaikan milik kita berdua’ yang rasa-rasanya kalimat itu mendoktrin otak para pecinta agar bersikap pelit dan egois. Aku sama sekali tidak menyukai hal itu karena bahagia bagiku adalah kemampuan untuk saling berbagi.

Kalau pun kau adalah orang yang sama sekali tidak bisa memainkan semua jenis alat musik, itu tak jadi masalah. Aku akan tetap berusaha untuk menyayangimu dengan segala kekurangan yang melekat dalam dirimu. Tetapi entah kenapa aku yakin saja bahwa kau adalah seorang yang paham tentang jenis musik yang keren.

Sampai di sini kau pasti berpikir bahwa surat ini begitu panjang dan melelahkan. Mungkin selama beberapa menit kau merasa jenuh antara meneruskan membaca atau berhenti sampai di sini saja. Tetapi jika aku berusaha menulis ini di atas kertas, mampukan juga kau bertahan untuk membacanya sampai tuntas? Atau barangkali kau mempunyai pekerjaan mendadak sehingga harus menunda membaca. Aku mafhum itu. kuharap kau dapat melanjutkan lain kali. Tapi jika kau tengah dalam keadaan santai menikmati waktu yang kosong, aku berharap kau dapat terus menyusuri lembaran-lembaran ini.
Sampai di mana barusan? Oh ya, kebahagiaan. Apakau kini kau bahagia? Bagaimanakah engkau memaknai kebahagiaan? Atau telah salah melemparkan pertanyaan macam ini? Sebab kapan hari aku pernah berdiskusi tentang kebahagiaan dengan salah seorang sahabat. Ia berargumen yang melahirkan pencerahan bagi pemikiranku. Setidaknya bagi persepsiku sendiri tentang kebahagiaan.

Ternyata kebahagiaan itu tidak dapat dinilai mutlak-tunggal. Ukuran kebahagiaan bagi masing-masing orang itu berbeda. Ada yang bahagia dengan harta, pangkat, dan kekuasaan. Tetapi tak jarang orang bahagia hanya dengan proses dan hidup yang penuh kesederhanaan.

Sebenarnya aku benar-benar tidak pantas untuk bertanya apakah kini kau bahagia atau tidak, sebab sekali lagi, mungkin aku menganggap aku lebih bahagia dari dirimu, sementara kau pun mungkin merasa lebih bahagia dariku. Begitu pun sebaliknya. Semoga saja kelak kita selalu berbahagia dengan kesederhanaan hidup kita, bahagia dengan saling memiliki dan berbagi, bahagia dengan suara anak-anak kita yang penuh imajinasi, dan bahagia dengan kelapangan hati yang kita miliki.

Imajinasiku terus menyusuri garis jalannya. Seperti yang kukhayalkan, kau adalah seorang pemimpin yang bijaksana. Seorang lelaki yang menghargai perempuan. Seorang sahabat yang paham ekofeminisme. Dengan begitu kau akan selalu menghargai alam sebagaimana kau menghargai seorang ibu. Kau akan selalu menganalogikan tubuh perempuan sebagai harmoni alam. Sebagaimana musim yang selang-seling serupa perempuan menstruasi. Atau contoh yang lebih sederhana adalah ibu hamil bisa meyusui dengan lancar jika disuplai dengan sayur-sayuran, itu sama dengan alam yang akan subur jika banyak pepohonan dan tumbuh-tumbuhan. Kau akan menjadi manusia damai yang peka terhadap alam. Salah-satu sikap yang pasti kau milliki adalah kesadaran bahwa alam ini adalah sahabat kita, menganggap semua yang ada mempunyai jiwa, dan menaburi kasih sayang terhadap segala sesuatu yang ada di sekelilingmu.

Bila mulai dari tadi aku selalu berusaha jujur kepadamu tentang segala sesuatu yang menimpa hidupku; bayanganmu, keluguanku, dan caraku menulis dengan gaya konyol ini, sebagai penutup, tentu saja aku aku juga perlu mengajukan beberapa pertanyaan kepadamu. Ada empat pertanyaan sederhana yang perlu kau jawab. Apakah kau sudah berkenalan dengan dirimu? Tahukah kau tentang hakikat semesta dan penciptaannya? Bagaimana seharusnya kita menjalani kehidupan ini? Bisakah kau memastikan kepadaku bahwa tak kan ada kehidupan lagi setelah kebersamaan kita nanti?

Keempat pertanyaan ini tidak untuk dijawab dan lalu dipresentasikan kepadaku layaknya seorang mahasiswa yang mempunyai kewajiban terhadap soal-soal materi ujian akhir semester dari sang dosen. Tidak! Karena surat ini bukanlah lembar-lembar soal. Kau hanya perlu menjawabnya untuk dirimu sendiri. Untuk kau renungi dalam kesendirianmu. Ini bukan berarti aku memaksamu berpikir keras dengan gaya pertanyaan filosofis. Tetapi kita semua sadar bahwa hidup ini adalah proses menuju sesuatu impian. Entah itu mungkin atau tidak. Dan kita kerap kali memaknainya sebagai harapan. Harapan yang melekat di antara kita dan kerinduan untuk bertemu sebelum akhirnya kita bisa mengikat hati dan lalu saling berbagi.

“Lelakiku, kau masih tetap sessosok yang tengah berdiam dalam peta rahasia. Aku yakin, suatu kelak, kau akan datang dengan membawa gitar dan secarik puisi untukku dan kehidupan baru kita.”


Karang Jati Assaudah, 30 Nopember 2011

20 Juni 2011

Jalan Keluar

“Perjuangan butuh pengorbanan,
Pengorbanan butuh keikhlasan.”


Inilah jalan pertama yang begitu berliku dan harus kulalui dengan perjuangan dan keikhlasan. Jalanku yang tersendat-sendat lantaran aku serupa kapas yang diterjang angin. Aku sendirian dalam mengarungi perjalanan panjang menciptakan revolusi untuk organisasi KBM (Keluarga Besar Mahasiswa) di kampusku yang terkungkung oleh politik licik.

Beberapa minggu terakhir ini aku serasa diterjang badai. Entah mereka takut KBM tidak akan maju jika calon yang kuajukan jadi, atau ada maksud lain di balik politik mereka. Tetapi apakah mereka terlalu banyak menyimpan keraguan kepada mahasiswa selain kelompok mereka? Apakah mereka tidak bisa menyisakan sedikit kepercayaan untuk calon yang kuusung? Dan bahkan aku yakin dialah sosok pemimpin yang akan memberikan perubahan cerah bagi KBM. Sebab dia bukan hanya pilihanku, melainkan pilihan mayoritas mahasiswa yang menginginkan perubahan.

Aku harus diam saat partaiku ditolak oleh Tim Pemilu Kongres. Aku tidak boleh bersuara sedikit pun meski hanya untuk bertanya mengapa. Lalu batinku berontak: mengapa aku diangkat sebagai ketua partai jika aku tak punya hak untuk mengusung calon? Dan ketika calon yang kuajukan didiskualifikasi karena alasan tidak aktif selama satu priode, apakah aku harus mengikuti kehendak mereka untuk mengganti calon sesuai dengan perintah mereka? Sungguh alasan yang dibuat-buat dan aku lagi-lagi harus menjadi robot. Seolah aku tak punya ruang bebas untuk bergerak.

Aku masih tenang. Dan seharusnya aku memang sabar. Sebab aku yakin Tuhan pasti akan terus menaburkan ar-Rahman-Nya di saat-saat aku dalam keadaan rapuh seperti saat ini. Dia pasti tahu bagaimana cara memberikan yang terbaik untuk KBM. Maka aku tak ragu akan “kun-Nya” yang maha dahsyat untuk memberikan jalan keluar atas persoalan yang melanda.


(18.43 WIB)
Annuqayah Karang Jati, 18 Juni 2011

16 Mei 2011

Pertanyaan Ayah

Tak ada seorang pun di antara kita yang dapat memprediksi kapan kita akan mati. Karena maut adalah salah satu misteri yang akan selalu menjadi kejutan dalam hidup. Kejutan Tuhan sebagai bukti bahwa semua kita dan alam seisinya adalah materi yang hanya menunggu giliran untuk hancur lebur. Meski ada pula para sufi yang merasa bukan lagi materi karena telah mencapai jalan hakikat dan mampu untuk fana' fillah.

Kematian adalah satu titik proses perpisahan antara ruh dalam jasad dengan ruh-ruh lain yang masih melekat di tubuh makhluk hidup. Perpisahan itu begitu mengerikan bila membayangkan betapa takutnya tinggal sendirian di alam kubur. Tanpa orang tua, saudara, dan teman-teman yang biasanya mengahangatkan suasana sepi dalam kesendirian.

Kebersamaanlah yang sejatinya membuat kita tak pernah sadar bahwa kita selalu merasakan kesunyian. Bila kau tak percaya, cobalah renungkan perjalanan hidup yang merupakan bahasa kesendirian ini. Niscaya engkau akan sadar bahwa kita, sejak dulu telah terlatih menyendiri. Dalam rahim ibu kita sendiri, dalam kubur kita sendiri, dan nanti, di akhirat, kita akan meghadap Tuhan sendirian pula.

Dalam hidup mungkin kita merasa ramai, tetapi hari ini, jauh di kedalam hatiku, tiba-tiba aku merasa sepi. Kesepian yang kurasakan sendirian dan tak mampu kudefinisikan. Semacam perasaan getir yang tiba-tiba membuatku ingat kepada para leluhur yang telah wafat mendahuluiku.

Mereka (baca: para leluhur) yang tinggal di tempat antah-berantah telah membuatku berpikir bagaimana bila detik ini aku pun mati dan tak sempat berterima kasih kepada ayah dan ibu yang kasih sayang tulusnya senantiasa menyiramiku dengan penuh kesejukan, tak sempat berkata jujur tentang perasaanku kepada orang yang kucintai, tak sempat memohon maaf kepada mereka yang diam-diam mencintaiku dan tanpa sengaja aku menyakiti hatinya, tak sempat bertukar cerita tentang rahasia dengan sahabat-sahabat yang kusayangi, dan tak sempat bertaubat kepada Tuhan atas dosa-dosa yang semakin hari kian menggunung.

Mungkin aku melambung terlalu jauh, tetapi kalau pun tak mati detik ini, membayang tentang maut saja aku jadi berpikir tentang kejadian 50 tahun yang akan datang. Jika memang benar aku akan pulang ke rumah Tuhan dan jasadku akan dibungkus dengan kain kafan, lalu di tanah manakah jasadku ini akan dikebumikan? Di detik keberapakah ruhku akan melayang sebagai titik akhir menuju kepasrahan? Bila suatu saat nanti aku dibangkitkan kembali, masihkan aku bisa bertemu dengan orang-orang yang kusayangi?

Maut benar-benar menjadi suatu peristiwa yang harus selalu diingat, agar hati kita menjadi hangat dan bersemangat untuk terus beribadah demi membalas budi kepada Tuhan.
Ah! Aku jadi malu berbicara tentang ibadah, sebab aku adalah santri yang nakal beribadah. Shalat saja seperti capung mandi (hehehe… sering ketahuan). Betapa tak tahu berterima kasih diri ini kepada Tuhan yang telah mencurahkan segalanya secara cuma-cuma.

Qiraah dihidupkan dari mushalla Karang Jati putra melalui corongan TOA. Sejenak kemudian adzan subuh sayup-sayup terdengar dari kejauhan.


Aku masih sendiri. Sementara sebagian teman-teman masih ada yang baru bangun dari tidurnya. Lalu bergegas menuju kamar madi dengan membawa gayung berisi kotak sabun dan sikat yang telah diolesi pasta gigi. Ramailah kamar mandi oleh kecipuk air dan teriakan 'ganti' para santri. Ibu Nyai Thoyyibah melangkah dari barat dhalem menuju mushalla dan memandu para santri untuk berdzikir.

Aku masih sendiri. Terdiam untuk waktu yang panjang sembari memandangi puluhan santri yang beranjak menuju mushalla. Menyadari bahwa semua orang yang ada di sini tengah menabung amal untuk kemudian pergi bergiliran. Lalu aku teringat pertanyaan ayah saat aku hendak berangkat ke pesantren ini: "Ke mana akan kau bawa langkahmu, Nak?"

04:00 WIB
Menyusuri subuh, 08 Mei 2011

25 April 2011

Perjalanan Mengenaskan Para TKI


Judul Buku : Sebongkah Tanah Retak
Penulis: Rida Fitria
Penerbit : Tiga Kelana
Tahun Terbit : Pertama, November 2010
Tebal : 218 halaman
Peresensi : Ummul Karimah
Perjalanan Mengenaskan Para TKI

Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki kekayaan Sumber Daya Alam yang melimpah ruah. Kekayaan tersebut terbukti dengan kandungan tanahnya yang dapat menghasilkan baja, minyak tanah, timah, bahkan emas permata mulia. Kekayaan alam tersebut merupakan salah satu faktor penentu keadaan dan nasib suatu bangsa dalam percaturan ekonomi.

Ironisnya, International Labour Organisation (ILO) menyuguhkan data bahwa 80% dari perempuan penduduk Indonesia bekerja sebagai pembantu rumah tangga yang melakukan semua pekerjaan di rumah majikan. Hal ini cukup untuk mengilustrasikan sebuah keadaan yang sangat mengerikan di Indonesia. Kasus yang sangat memilukan negeri ini tentunya merupakan konflik besar yang harus dipecahkan bersama.

Salah satu contohnya diceritakan oleh Rida Fitria dalam novelnya yang berjudul Sebongkah Tanah Retak ini. Dalam novelnya, Rida Fitria mengangkat kisah tentang perjalanan panjang seorang Tenaga Kerja Wanita (TKW) untuk memperoleh jati dirinya dari sudut pandang kekuatan dalam melawan garis nasib kemiskinan.

Kisah ini, bermula dari seorang gadis desa di lereng Gunung Lemongan bernama Khadijah yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah seorang kaya bernama Rohana. Konflik dibuka oleh kejadian besar yang berlangsung di sawah Rohana. Kali itu waktu memberi tahu kepada Rohana atas balasan kepercayaan yang diberikannya kepada Ijah. Saat secara tak sengaja, akhirnya ia menemukan tumpukan baju seorang perempuan yang sangat ia kenal. Tak jauh dari tumpukan baju itu ia melihat suaminya tengah bercinta dengan Ijah di bawah daun-daun tembakau.

Kemurkaan Rohana ditunjukkan dengan diusirnya Ijah dari keluarga tersebut. Sedangkan Ijah tengah mengandung janin dari tuan Wiro, suami Rohana, yang berjanji akan menikahinya. Namun, saat kejadian besar itu berlangsung, Wiro bahkan seolah tak mengenal Ijah dan sepakat mengusirnya. Ternyata janji seorang Wiro telah berubah sepah yang ditaburkan ke wajah Ijah kala itu.

Ijah lalu sadar bahwa dalam hidup ia harus bertarung. Melawan luka pengkhianatan, menahan rasa sakit, dan memperjuangkan hidupnya yang tengah dililit oleh kemiskinan. Saudara kandungnya yang berjumlah tiga pun tak pernah menghiraukan orang tua mereka yang tinggal serumah dengan Ijah. Bahkan, salah satu saudaranya yang sangat miskin, Marji namanya, kakak lelaki Ijah, yang bekerja sebagai tukang becak, menitipkan anak-anaknya di rumah orang tuanya. Hal itu disebabkan istri Marji depresi akibat kemiskinan yang sangat parah. Sementara pengasuhan anak-anak Marji dilimpahkan ke bahu orang tuanya, otomatis memberatkan pundak Ijah pula.

Saat ibu kandungnya meninggal dan tak sampai berumur tujuh hari, semua saudaranya berebut beras dan gula yang dibawa para pelayat, juga harta warisan yang tak seberapa. Ijah sedih; kecewa; lalu diam-diam menitipkan putranya ke panti asuhan dan berangkat mengadu nasib, menjadi seorang TKW ke Arab Saudi. Ia kian sadar betapa sedih menjadi seorang miskin. Jauh dari seorang buah hati yang ia cintai, juga disiksa dan dilecehkan oleh majikannya. Ia merasa seorang yang miskin tak berhak berpendapat, berpikir, dan bertindak karena tak punya harga diri. Sungguh mengenaskan.

Saat ia memutuskan untuk pulang dari Arab Saudi dan memutus mata rantai, kesulitan ekonomi di kampuing kian menelikungnya. Karena itu Ijah lalu berjuang untuk mengadu nasib yang kedua kalinya ke negara Hong Kong. Di sana, ia bahkan bukan hanya disakiti batinnya, tapi juga fisiknya. Ijah terluka, Ijah menangis, Ijah bahkan nyaris kehilangan nyawa. Keluarga majikannya sungguh tak berprikemanusiaan.
Kisah dalam novel ini berakhir saat Ijah untuk pertama kali dalam hidupnya dapat menangis bahagia. Ijah lalu merasa bahwa semua manusia berharga dan pantas mendapatakan yang terbaik dari yang telah ia perjuangkan. Ia merasa merdeka dan dapat belajar banyak hal yang harusnya ia ketahui.

Pada bagian akhir, digambarkan seorang Ijah yang bergelut dalam organisasi Indonesian Migran Workers Union (IMWU) yang telah memberinya kesempatan kursus bahasa Inggris dan Mandarin. Ijah lalu bangkit menjadi seorang pembela bagi teman-teman seperjuangannya yang mendapat perlakuan tak layak dari majikan mereka.

Novel ini banyak memuat tentang tuntutan kritis bagi negara Indonesia yang menerima devisa besar dari para TKW yang ternyata tak mendapat perlindungan penuh dari pihak Indonesia. Salah satu contoh dalam kisah ini, saat mendapatkan perlakuan yang tak manusiawi oleh para majikan, lalu para Buruh Migran Indonesia (BMI) mendatangi Konsulat Jendral Republik Indonesia (KJRI) untuk memprotes, ternyata pihak konsulat bersikap dingin dan tak acuh. Sama sekali tak tampak sebagai pengayom anak bangsa yang ditempatkan pemerintan RI di luar negeri untuk keperluan mengakomodir aspirasi Warga Negara Indonesia (WNI) yang ada dalam tanggung jawabnya.

Selain susunan bahasa yang mengalir dan diksi baik yang dipilih oleh penulis, novel ini juga sangat inspiratif dan sarat akan tema untuk kita bahas sebagai diskusi yang panjang. Banyak pelajaran-pelajaran hidup dapat diambil dari kisah yang ditulis oleh perempuan berbakat yang berasal dari Probolinggo ini . Ia telah berhasil mendobrak kisah dan menyaringkan suara buruh migran yang merintih untuk ditolong. Seperti kasus-kasus Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang belakangan ini menuai kisah yang sangat memprihatinkan.

Salah satunya dialami oleh Kikim Kolmalasari binti Uko Marta, lahir pada 9 Mei 1974, TKI asal Cianjur, Jawa Barat, yang ternyata disiksa secara sadis oleh majikannya di Arab Saudi. Kikim bahkan setelah dianiaya dan disiksa, pada akhirnya meninggal dunia (Radar Bandung: 22/11/2010). Kasus serupa dialami oleh para TKI lain yang tinggal di negara-negara lain, seperti kasusWinfaidah (26) asal Lampung yang bekerja ke Malaysia dan tak hanya disiksa secara fisik tapi juga batin (JPNN, 22/11/2010). Dan begitu banyak kisah-kisah serupa yang tak cukup hanya dipaparkan di sini saja, tapi untuk kita renungi secara kritis sebelum akhirnya kita harus bertindak.

Di tengah kasus-kasus mengenaskan tersebut, novel ini hadir dan diharapkan dapat berguna untuk memberikan suara dan dapat memberi pencerahan bagi negara Indonesia. Dan itu menegaskan bahwa memperjuangkan nasib mereka tak bisa dilakukan seorang diri, para aktivis, para korban, dan keluarga korban saja. Tetapi dibutuhkan kebersamaan, tekat yang kuat, niat yang tulus, suara yang lebih banyak, juga dukungan penuh dari pemerintah untuk dapat menjunjung harkat dan martabat mereka sebagai kaum yang merdeka.

Oleh: Ummul Karimah, alumnus SMA 3 Annuqayah Guluk-Guluk dan mahasiswa INSTIKA (Institut Ilmu Keislaman Annuqayah) semester II G PAI.

11 April 2011

Terkenang Perang Saudara

Cobalah engkau ingat-ingat lagi, kenangan manakah yang paling membuatmu ingin untuk memeluk saudaramu? Seperti halnya aku yang kini sesenggukan melancarkan aliran air mata yang telah lama kunonaktifkan. Ingin rasanya membenamkan kepalaku di dada saudara perempuanku sambil berucap bahwa rasa sayangku kepadanya begitu dalam dan tak berujung. Lalu kukatupkan kedua telapak tanganku dan memposisikannya di depan dadaku sambil memohon maaf dan mengungkapkan penyesalan-penyesalan yang telah kuperbuat di masa lalu.

Semua berawal dari tumpukan buku milik kakakku di sampingku ini. Secara tak sengaja kutemukan saat tiba-tiba aku ingin sekali membongkar buku-buku lamaku yang tertata di dalam kardus. Kutemukan catatan panjang di kertas-kertas yang lusuh, beberapa buku tulis kumpulan cerpen, sebuah standbook berisi novel, dan foto-foto kami di masa kecil yang pinggirannya terkena ‘cacar foto’ dan semakin menjalar ke bagian tengah.

Kubersihkan debu di lekukan buku-buku itu dengan meniup dan mengibas-ngibaskannya perlahan-lahan. Setelah dirasa cukup, aku mulai membacanya.

Tak sampai menamatakan satu catatan berjudul “Adikku” saja, pandanganku menjadi kabur. Mataku terasa panas dipadu dengan denyutan kencang di titik persendian hatiku. Tiba-tiba pipiku menjadi lembab begitu saja. Dan ingatanku berlari mundur, jauh ke belakang. Menampilkan gambar masa lalu saat kakakku masih ada di sini, Pondok Pesantren Annuqayah daerah Karang Jati Guluk-Guluk, tempatku dididik untuk mempelajari arti diri dan kehidupan.

Sejak kecil, aku dan kakakku tak pernah akur. Kami selalu beradu mulut. Mempersoalkan hal kecil yang dibesar-besarkan seperti, rebutan buah tangan ibu dari pasar, memperkarakan baju lebaran tak sama harga, atau sekedar rebutan ibu dan ayah yang jelas-jelas milik kami berdua.

Aku memang benci ketika kakak menceritakan masa bayi kami bebeda. Kakak dilahirkan di rumah dan menikmati ASI dengan puas, sedang aku dilahikan di rumah sakit dan dipisahkan dari ibu. Katanya, 2 bulan lamanya aku meminum susu instan produk pabrik. Sampai ibu kembali pulih dan bisa pulang.

Usia kami yang hanya terpaut 4 tahun membuat kami tumbuh seperti sejajar. Selisih itu tak berpengaruh untuk membedakan usia kami saat aku tumbuh lebih besar dan menyamai tubuh kakakku (yang kini lebih kecil dariku. Hehe…). Sejak kecil, aku selalu merasa dewasa dan tak butuh seorang kakak. Sedang kakak amat benci pada sikapku yang demikian sombong. Katanya, dia memang tak ingin punya adik karena kasih sayang ibu akan terbagi.

Tanpa kakak mengutarakan kekesalannya mempunyai adik diriku dan tentang kasih sayang ibu, kurasa ibu tetap lebih menyayanginya. Buktinya, dari keseharian kami yang hanya dua besaudara, aku mencoba membanding-bandingkan perlakuan ibu pada kami. Dan hasil dari risetku, ibu memang mengistimewakan kakak dari pada diriku. Kalau ada perbincangan keluarga, aku tak pernah dianggap ada. Bahkan suatu ketika, saat diam-diam aku bergabung dalam suatu perbincangan dan mencoba menyampaikan pendapat, ibu malah tersenyum dan berujar bahwa aku masih terlalu kecil untuk mengerti masalah orang dewasa. Selalu saja begitu. Ah, barang kali itu hanya perasaanku yang sedang dalam kondisi cidera. Semua memang tampak konyol bila dikenang. Tapi aku cukup senang.

Perdebatanku dengan kakak tak kunjung menemukan ujung pangkal. Selalu ada masalah di antara kami–––yang meski sudah selesai diperkarakan, tapi masih saja diungkit-ungkit. Sampai kami beranjak dewasa dan kakak dimondokkan di Annuqayah. Barulah sejak saat itu aku merasakan kedamaian di rumahku sendiri.

Selang berapa tahun, aku pun harus mondok. Untunglah ibu dan ayah memilihkan pesantren yang berbeda, al-Amien II Muallimat Prenduan. Tetapi, suasana di sana tidak seperti yang kuharapkan. Aku sungguh tidak kerasan. Mula-mula aku hanya berkeinginan untuk kabur dengan terus-terusan memandangi bus dan taksi yang berlalu-lalang dari dalam ruangan daru al-difah (tempat santri dikunjungi keluarga. Lokasinya di pinggir jalan). Sayangnya ada pak satpam yang berkumis tebal dan berbadan besar yang menjaga pintu ruangan tersebut. Rencana itu menjadi gagal. Akhirnya, aku mengutarakan kondisiku yang tidak kerasan kepada ibu. Aku meminta untuk pindah mondok dan otomatis pindah sekolah. Mengingat ini, aku jadi terkenang masa kecilku yang setiap tahun minta pindah sekolah. Mungkin penyakit kecilku kambuh lagi.

Ayah tidak mengizinkanku untuk pindah. Tapi ibu kali itu membelaku. Alhasil aku dipindahkan ke pesantren Annuqayah daerah Karang Jati. Dimondokkan satu pesantren dengan kakakku. Satu kamar, satu lemari, dan satu dompet.

Ibu mengira, dengan menyatukan kami kembali bisa membuat kami menjadi akur. Tetapi ironis dari harapan ibu! Kami semakin menjadi-jadi. Semakin banyak permasalahn yang muncul. Dari masalah uang sampai urusan intelektualitas. Uang jajan kakak lebih banyak, karena ibu mempertimbangkan kelas kakak yang lebih tinggi. Kata ibu, semakin tinggi kelas seseorang, maka semakin banyak pula kebutuhannya. Aku menerimanya dengan lapang, tapi yang membuatku kesal kembili, uang sakuku ke sekolah turut diatur oleh kakak.

Kuakui, ibu pasti lebih membela kakak dalam persoalan apa pun. Secara, IQ kakak lebih tinggi dari pada diriku. Kakak selalu berprestasi setiap tahun. Mengukir senyum ayah dan ibu melalui rangkin kelas dan mejuarai banyak lomba. Atau dengan bakatnya yang begitu produktif dalam menelurkan karya fiksi. Meski karyanya tak tersalurkan dan hanya bisa dinikmati teman-teman sekamar. Banyak pujian teman-teman mengalir untuk kakak. Rasa iri itulah yang membuat semangatku semakin membuncah untuk bisa lebih dari kakak. Dan jujur, kakaklah sumber inspirasiku sekaligus orang yang membuatku bertahan dalam kondisi semangat. Sampai detik ini.

Dari pertengkaran kami yang rutin, teman-teman menjuluki kami kucing dan anjinag. Karena kami tak pernah akur dalam jangka waktu yang panjang. Mereka memang benar. Kami tak pernah saling bercerita tentang isi hati kami, tak pernah mendiskusikan masalah dan saling memberikan solusi, tak pernah berpelukan, atau bahkan mencium pipi kanan dan pipi kiri selayaknya saudara kandung pada umumnya.

Meski begitu, pernah suatu ketika kakak membuatku menangis haru. Inilah kenangan yang selalu membuatku ingin memeluk kakak dengan menangis sejadi-jadinya di dalam dekapannya. Kisah yang membuatku mengerti bahwa sejahat apa pun penilaian kita pada seorang saudara, ia tetaplah menjadi seseorang yang diam-diam amat menyayangi kita. Bahkan sampai kapan pun kasih sayangnya tak kan pernah kering untuk memberikan kesejukan pada kita.

Suatu siang di bulan April tahun 2007 lalu, cuaca serasa berbeda. Matahari begitu ganas membakar pori-poriku. Tetapi angin yang berhembus lembut memberikan kombinasi rasa panas-sejuk yang luar biasa. Mungkin pada waktu itu alam tengah memamerkan rasa natural yang begitu eksotis.

Sehabis jam pelajaran, aku berjalan gontai melewati gang sekolah menuju pondok. Sesampainya di kamar, aku mendamparkan diri pada karpet. Sementara itu, teman-teman sibuk merapikan seragam, ada yang bernyanyi, bercerita perihal kejadian di kelas masing-masing, dan ada yang menyiapkan peralatan untuk menanak nasi. Kakak belum pulang dari sekolah. Iseng-iseng kubuka lemari. Aha! Kutemukan sebuah kotak terbalut kertas kado berwarna hijau di sana. Dalam pikir, aku mencoba menerka-nerka; kado siapa gerangan? Kuambil dan kubolak-balik. Ada sebuah tulisan di ujung kiri kado itu: “Untuk Adikku”. Aku ragu untuk membukanya. Sungguh-sungguh ragu. Aku tidak yakin kado itu dari kakak untukku. Tak mungkin. Barangkali itu dari sahabat dekat kakak.

Rasa penasaranku semakin menguasai pikiranku. Memaksaku untuk membuka kado itu. Tetapi itu tidak kulakukan. Ingin rasanya aku bertanya pada teman-teman perihal dari dan untuk siapa kado itu. Tetapi lagi-lagi aku dikuasai rasa gengsi yang meredakan rasa penasaranku. Kubolak-balik saja kado tak beralamat itu. Kutemukan lagi tulisan kecil di pojok kiri pada sisi yang berbeda: “Selamat Ulang Tahun. 12 April 2007”.

Lalu aku ingat bahwa tanggal itu adalah tanggalku. Hari untuk mengenang saat pertama kali aku melihat dunia dan mengenalkan suaraku pada alam. Bulan yang membuatku bisa bergerak bebas dan leluasa serta menangis nyaring mengungguli suara burung-burung.

Tanpa pikir panjang lagi, langsung kubuka kotak itu. Kado yang berisi barang-barang ksukaanku: kaos panjang warna hijau lumut berkombinasi motif abri di bagian depannya, arloji kura-kura ninja bermotif timbul spiderman, kaos pendek warna hijau cerah bergambar jamur tersenyum di bagian pojok bawahnya, dan sepucuk surat. Beginilah isi suratnya: ¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬

12 April 2007

HAPPY BIRTH DAY BINTANG SENJAKU

Aleeq...
Semoga panjang umur, murah rizki, sehat dan selalu dalam lindungan-Nya. Amin.

Aleeq...
Maaf jika sampai detik ini aku belum bisa menjadi kakak yang baik buatmu. Tapi satu hal yang harus kamu tahu: "TIDAK ADA SEORANG PUN DI DUNIA INI YANG TIDAK MENYAYANGI SAUDARA KANDUNGNYA SENDIRI. TIDAK ADA".

Aleeq...
Aku bangga memilikimu. Aku bangga pada semua yang ada pada dirimu. Semoga mimpi-mimpimu dipeluk oleh Tuhan.

Aleeq...
Ini adalah hari bahagiamu. Hari ini adalah milikmu. Jadi hari ini bahagiakanlah orang lain. Lebih-lebih orang yang ada di sekelilingmu. Karena kebahagiaan itu seperti sebuah kecupan. Kamu harus membaginya jika ingin menikmatinya.

Aleeq...
Kita seperti anjing dan kucing. Tak pernah akur dalam jangka yang lama, tapi kita sama-sama tahu bahwa sebenarnya kita saling menyayangi. Cuma, kita memiliki cara tersendiri untuk mengungkapkannya. Aku akan menyayangimu dengan caramu sendiri.

Aleeq...
Hadiah ini bukan sepenuhnya bentuk kasih sayangku, ini hanya sebagian, karena kasih sayang itu tak dapat diukur dengan materi. Kamu tak perlu ragu untuk menerimanya, karena ini halal. Ini kudapat dari uang saku yang aku sisihkan hanya untuk menebus kesalahanku tahun lalu karena telah melupakan hari ultahmu. Maaf.

Aleeq...
I do love you.


Kakakmu

Nafisah


Sejak saat itu, aku benar-benar mengerti bahwa diam-diam kakak memberikan perhatian lebih kepadaku. Kakak begitu mengerti pada hal-hal yang kusuaki. Kakak paham pada perasaan sayangku kepadanya yang tak bisa disampaikan karena sifatku yang keras kepala dan rasa gengsiku yang terlalu jaim (jaga image). Aku mengerti bahwa kami saling menyayangi, namun kami mengungkapkannya dengan cara yang berbeda. Cara yang begitu konyol tetapi unik. Sejak saat itulah kami berusaha mengurangi pertengkaran kami. Mengubahnya menjadi pertengkaran yang menyenangkan. Pertengkaran untuk saling mengungkapkan rasa sayang.

Sampai akhirnya kakak lulus SMA dan berhenti mondok. Selang 3 tahun kakak menikah dengan pemuda yang masih satu desa dengan kami. Desa Tambuko. Pemuda dari kampung sebelah, kampung Jeruk Durga. Rofik namaya. Di hari pernikahannya aku benar-benar merasakan kebahagiaan yang sulit diartikan. Kebahagiaan bukan untuk diri sendiri, tetapi setulus matahari. Kebahagiaan bersaudara yang membuatku merasa memiliki kakak sepenuhnya. Perasaan itu berubah rindu yang begitu berat. Rindu pada kebersamaan dan pertengkaran kami. Rindu pada celoteh ibu yang berusaha mendamaikan kami.

Kini, kakak tak ada di sampingku lagi. Tetapi justru rinduku semakin menjadi. Rasa sayang tiba-tiba ingin sekali kuungkapkan dengan gerak pun kata-kata. Agar kakak tahu bahwa untuknya ingin kutaburkan cinta. Dan kepadanya ingin kucurahkan segalanya.

Maka inilah pesan diriku untukmu kawan: selagi kau masih bersama saudaramu, buatlah ia tersenyum dan jangan pernah ciderai hatinya. Karena apabila waktu telah memisahkanmu dengannya, maka kau hanya akan berteman dengan penyesalan, rasa bersalah, dan rindu yang tak tertahankan.


Di bawah pohon mimba halaman kampus INSTIKA
Guluk-Guluk, 11 April 2011

03 Maret 2011

Air Mata Februari

Mata air air mata kita mengalir pada sungai Februari
Perasaan mendalam yang menuntut malam sebagai saksi
Menjadikan lokan-lokan tak berpenghuni. Sepi.

Oh, Februariku
Telah kucecapi pahit-getir kopi di setiap inci kerinduan
Sendirian
Menumpas perasaan yang menawarkan kesunyian
Kesenyapan
Mengelus ketakutan sebagai lambang perlawanan takdir
Gema nafasmu yang menyerupai takbir
Rapalkan mantra ketidaksiapan
Semakin menyakinkan bahwa kau sebongkah keputusasaan

Februariku,
Air mata kita tak pernah pengecut
Ia jelma untuk kita memilih: simpan atau buang
Tawaran ini egois bukan?
Bila tidak demikian hidup bagai gemawan
Arah mata angin tak membentangkan tujuan

Wahai engkau Februariku,
Bila cinta dan maut selalu misteri dalam kehidupan
Lalu mengapa di antara kita hanya ada air mata yang tumpah atas nama kesia-siaan?

Kumohon hentikan!
Berikan saja aku sebongkah kejujuran
Untuk mencumbui setiap helai kebohongan
Meski keduanya adalah satu kesatuan yang menjijikkan.



Mushalla Karang Jati, 27 Februari 2011

21 Februari 2011

Kopi Lusi

Oleh; Ummul Corn*

Pernahkan engkau merasakan kehampaan seraya berkata bahwa engkau tak lebih dari sebongkah manusia yang tersisih dan tersendiri? Pernahkah engkau merasakan rindu setengah mati pada sebuah suara yang tiba-tiba lenyap lantaran engkau sendiri yang menepisnya? Perasaan yang membuatmu terasing dalam menjalani kehidupan yang panjang ini. Perasaan ingin meliarkan hatimu untuk mengembara dan menemukan separuh lainnya yang searah.

Perasaan itulah yang kurasaan saat aku mencoba mengasingkan diri setiap sore di sebuah dangau tua yang hampir roboh. Menarik tali panjang dari ujung yang membuatnya bergerak ke seluruh penjuru arah. Empat tali rafia panjang yang pada setiap jengkalnya dipasangi sampah plastik dan bekas kaleng-kaleng susu untuk mengusir para burung pencuri padi. Bukan mencuri, lebih tepatnya mencari nafkah untuk sanak famili mereka yang tengah menunggu di sarangnya. Aku ingin membuktikan bahwa aku bebas, aku merdeka, persis seperti burung-burung itu yang dapat mengepakkan sayap mereka dan melahirkan keindahan senja yang luar biasa.

Awan berarak melintasi sawah ke sawah yang tengah membentangkan warna hijau dan sedikit warna emas. Sampai akhirnya awan-awan itu mengantarkan sepasang bola mataku pada sosok lelaki yang tengah duduk di atas pematang yang menjang ke arah timur. Pematang yang letaknya berbatas sepetak sawah dari dangau tempatku menyepi.

Lelaki tinggi tegap yang tengah mengenakan kaos partai lusuh berwarna hijau itu bangkit dan melangkah menuju ke arahku. Badannya tampak disesaki daging. Wajahnya bulat lebar dengan dagu sedikit terbelah di bagian tengahnya. Ditambah jenggot tipis yang tampak rapi menghiasi dagunya. Bibirnya sama sekali tidak hitam, kelihatan sekali kalau ia tak pernah bersentuhan dengan rokok.

Ia semakin mendekat menghunjamkan pandang ke arahku yang tergugu. Ia berjalan ringan sambil menenteng botol air kemasan berukuran 600 ml berisi kopi. Bagian bawah botonya tampak berkerut dan menyempit. Mungkin kopi itu dituangkan ketika masih panas.

Lelaki itu semakin mendekat. Mencipta suara jeritan bambu beradu ketika pantatnya ia letakkan begitu saja di sampingku. Ia tampak tenang membuang pandang jauh ke arah barat sana. Persis dengan adegan saat kami kecil dulu.

Rentang waktu yang panjang, yaitu waktu yang sejenak untuk kami berpisah dan menyusuri jalan masing-masing, tak membuatnya mengalami banyak perubahan. Ia tetap menjadi dirinya sendiri; Hasan yang susah berbicara dengan orang-orang, terutama perempuan. Bagiku ia adalah teman kecil yang super aneh. Ia selalu merasa akan mengalami kejadian-kejadian aneh yang luar biasa atau menciptakan suatu keajaiban yang mustahil, seperti membangkitkan kembali menara Sauron dalam film The Lord of The Rings, merasa mampu berjalan melampaui suatu ruang panjang dalam waktu yang relatif singkat, bahkan pernah ia berkeinginan untuk berubah wujud menjadi seekor kodok yang dapat memikul bawang di pundaknya. Ia terkadang menjadi pembual yang membuatku geli setengah mati.

Hasan berantonim Alim. Alim adalah ‘musuh’ kecilku. Ia tak pernah suka pada apa yang melekat dalam diriku. Katanya aku ini bukan perempuan, melainkan manusia jadi-jadian yang lebih mengerikan dari pada bencong. Alasannya, aku tidak memiliki tubuh seksi seperti teman-teman perempuan kami yang lain. Payudaraku kecil dan berada di bawah standart rata-rata anak seusiaku. Bahkan saat aku ikut bersepeda mendaki gunung dan memanjat pohon bersama teman-teman lelakiku, dia malah mengolok-olokku dan mengataiku sebagai perempuan setengah gila.

Saat Alim mulai mengusiliku, diam-diam Hasan datang sebagai seorang pahlawan. Ia melawan tidak dengan kata-kata atau adu otot, tetapi dengan sandi tubuh. Alim akan sangat ketakutan bila Hasan menatapnya dengan berang. Entah mengapa, aku juga tidak mengerti. Yang jelas Hasan adalah sosok kawan yang amat disegani. Meski terkadang ia juga menjadi teman yang dapat mengudang tawa. Beginilah kira-kira prinsipnya: “Kalau bisa, saya ingin membuat hidup ini penuh dengan tawa, atau tangis haru. Tak boleh ada kepedihan secuil pun di tempat ini.”

Hasan dan Alim seperti magnet dari kutub yang berlawanan. Meski begitu, ada kesamaan di antara aku, Hasan, dan Alim yang membuat kami tetap bersahabat dalam segala ketidakmungkinan yang ada. Dari kecil kami bertiga sama-sama suka kopi. Kata Alim kopi itu bikin kangen. Bagi Hasan kopi bisa buat orang jadi segar, sabar, dan tentram. Menurutku kopi adalah lambang kerinduan dan keteguhan hati. Karena aku sadar, sesempurna apa pun kopi itu dibuat, ia tetap mempunyai sisi pahit yang tak bisa disembunyikan. Begitu pun dengan ridu menyakitkan yang membutuhkan ketegaran sebagai bentengnya.

Kopi membuat khayalku terdampar lagi ke masa kecil. Aku sampai lupa kalau Hasan kini tengah berada di sampingku. Cukup lama aku bernostalgia dengan anganku. Memilih sepi sebagai juru kunci yang mengantarkanku pada kisah aroma kopi persahabatan. Kupandangi Hasan. Tak ada tanda-tanda ia akan membuka dialog. Hanya napasnya yang menjadi latar cerita kami sore ini.

“Hmmm… Sudah menikah, Lus?” akhirnya ia berujar pelan. Namun pertanyaannya kali ini telah membuyarkan perbenadaharaan kataku. Seperti ada biji kedongdong di tenggorokanku. Di usiaku yang hanya kurang satu tahun untuk genap berkepala tiga, aku benar-benar bingung mencari alasan. Menikah adalah kosa-kata yang paling aku segani. Dan pertanyaan Hasan serupa suara tawon yang terus berputar-putar di dekat daun telingaku.

Aku merasa menjadi perempuan tersisih dan terasing di kampungku sendiri. Merasakan kehampaan berada di antara suara-suara yang sejatinya sungguh bising. Aku merasa menjadi sekeping besi yang meratapi kesendirian sepanjang waktu. Mencecapi setiap rasa pahit yang terkadang membuatku ingin amnesi untuk selamanya.

Hening. Suara batuk-batuk. Suara kaleng susu memecah sunyi.

“Kopi ini manis ya… tapi tetap saja pahit,” kataku sambil menunjuk kopi milik Hasan. Ada cairan hangat yang tak bisa kutahan. Tiba-tiba pipiku menjadi lembab begitu saja.

“Aku kangen kopimu. Katanya kopimu itu lambang keteguhan hati. Lambangmu, Lusi…” Hasan menatap kedua mataku. Ada semangat di sela kata-katanya.

“Eh, ya… menikah. Bukan tidak mau tapi aku sudah gagal empat kali,” jawabku klise.

“Coba lihat ke bawah! Itu… ada kodok melompat di pinggiran parit. Kodok itu temanku. Dia pasti bercerita sesuatu kepadaku,” penyakitnya kambuh. Ia tidak memintaku bercerita menggunakan bahasa langsung, tapi dengan sindiran yang menarik. Itulah sebabnya aku begitu merasa nyaman berada di dekatnya. Tanpa diminta pun aku akan bercerita kepadanya.

“Empat kali gaga. Sakit, San! Pertama, saat aku duduk di bangku MTs, ada pemuda dari kampung Pangilen melamarku. Aku memang menyukainya, tetapi tidak mengira kalau dia juga memiliki rasa yang sama. Sayang… keluargaku tidak setuju. Saudara tertua ibu melarang keras untuk menerimanya. Katanya paman teringat sumpah lama para leluhur dari keluarga pemuda itu yang tak kutahu jalan ceritanya. Ah! Aku memang paling benci kalau nama leluhur dibangkitkan kembali untuk dijadikan alasan.

Yang kedua, aku sudah berada di tingkat SMA kelas akhir. Ayah menjodohkanku dengan anak temannya. Pemuda itu baik menurut penilaian dangkalku. Dari segi fisik tak ada yang disayangkan. Pemuda pilihan ayahku itu sudah sarjana dan mempunyai pekerjaan tetap. Menurut perjanjian yang telah disepakati, aku bisa melanjutkan kuliah sambil menjalani kewajiban sebagai seorang istri. Aku menghargai keputusan ayah dan menuruti kehendaknya. Aku tahu orang tua selalu ingin memberikan yang terbaik bagi anaknya.

Seluruh keluarga sepakat dan telah menentukan tanggal pernikahan. Namun sialnya, kakek adalah satu-satunya orang yang tidak setuju. Kakek menjodohkanku dengan orang lain saat aku tengah terikat pertunangan. Semua jadi kacau. Pernikahan digagalkan dari pihak calon suamiku. Aku terpaksa diam dengan segala perasaan getir yang menjalari seluruh tubuhku. Menerima kenyataan pahit bahwa aku tak lebih dari sebongkah patung. Bukan pahatan seniman Bali yang dilelang dan diagungkan, melainkan patung murahan yang dilirik saja tak pantas. Aku merasa tak punya kemampuan untuk menegaskan kebebasan eksistensial yang melekat dalam diriku.

Ketika tunangan keduaku telah menikah dengan orang lain, akhirnya seluruh keluargaku tahu kalau lelaki pilihan kakek sama sekali tak bisa mengaji, tak bisa membaca dan tak bisa bla bla bla yang lainnya. Bukankah semua perempuan menginginkan pemimpin yang baik? Yang bisa menuntun sang istri ke jalan Tuhan. Aku tak mau bukan karena aku tak bisa menerima kekurangan-kekurangan pada lelaki itu yang juga sama-sama ciptaan Tuhan, tapi apa yang bisa diharapkan dari lelaki yang mengaji saja tidak bisa?

Kalau aku mau, aku bisa memuntahkan segala ejektif yang mengandung sindrom klausafobik untuk lelaki itu. Tapi itu tidak kulakukan. Aku kasihan kepada kakek dan harga diri lelaki pilihannya. Maka aku meminta agar pertunangan ketigaku segera digagalkan. Bersama pasrah, aku hanya berharap Tuhan segera memberikan secangkir kopi nikmat untukku,” aku menceritakan kisahku yang panjang kali lebar tanpa peduli pada burung-bugung yang tengah sibuk mematuk-matuk padi yang kujaga. Ini adalah kecolongan yang dibiarkan.

“Minumlah kopi ini dulu! Lalu kau bisa melanjutkan ceritamu,” Hasan menyodorkan kopi. Aku meminumnya seteguk. Tinggal satu lagi kekuatanku untuk menceritakan semuanya. Habis itu aku tidak tahu lagi apa yang akan terjadi.

“Tapi bagaimana cara melanjutkan ceritaku?”

Dia tersenyum. Lalu tertawa sambil menepuk pundakku beberapa kali.

“Apakah kau mau minum kopi ini lagi?” dia balik bertanya sesuatu yang tidak bekaitan dengan pertanyaanku. Dia memang aneh.

“Tidak, tidak!” aku menggeleng kenes.

“Bukankah bercerita itu lebih gampang dari pada menembel ban yang kempos?”

Ah, Hasan! Mana mungkin dia membandingkan dua hal yang bedanya jauh bermil-mil. Ia terus memaksaku bercerita. Dan aku tahu dia tidak akan pergi sebelum ceritaku benar-benar telah usai. Aku menyukai caranya memaksa dengan gayanya yang melemahkan.

“Dua tahun kemudian, saat umurku telah genap dua puluh tahu, Alim datang kepadaku sebagai sebuah cahaya yang menebariku di tengah kehampaan. Ia menunjukkan jari kelingkingnya dan memberikan janji yang tak terhitung jumlahnya. Tentang keindahan-keindahan di masa kini dan yang akan datang. Katanya kami akan membangun rumah sederhana dan menanam bunga cempaka, melati, dan kenanga di pekarangannya. Hidup damai bersama empat orang anak yang ia harapkannya keluar dari rahimku. Katanya anak-anakku akan lucu-lucu. Salah-satunya ada yang gendut dan pipinya seperti kue bakpau.

Sesedehana itulah permusuhan kami berubah menjadi cinta yang luar bisa. Ia mengumpamakan dirinya sebagai sebongkah perahu yang akan menyelamatkan hidupku dan anak-anak kami, kelak. Hingga ia menjadi harapan satu-satunya dalam hidupku. Dan aku telah sempurna menggantungkan rindu di unjung kailnya. Mengunci hati dan menyerahkan segenap kepercayaanku kepadanya,” aku berhenti. Suaraku tertegun-tegun. Napasku naik-turun.

“Lalu bagaimana mungkin Alim meninggalkanmu?”

“Bukan. Bukan Alim yang menyakitiku. Dia baik. Tapi aku yang meninggalkannya.”

“Bagaimana mungkin?” ia memperjelas pertanyaannya.

“Tentu saja aku tak mungkin memilih hidup bersamanya yang menjajikan pernikahan kepadaku sementara ia tengah terikat pertunangan dengan perempuan lain. Bagaimana mungkin aku bisa bertahan menjadi parasit dalam hubungan yang jelas-jelas masih dipertahankan?

Kapan hari, saat aku ke kampus untuk sebuah acara pelatihan kepempinan yang diadakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa, seorang perempuan mengenakan jilbab merah jambu memandangiku dengan penuh kebencian. Perempuan itu lebih pendek dariku yang berukuran 158 cm. Kulitnya bercahaya. Berbeda dengan kulitku yang berwarna gelap. Sepasang matanya teduh tapi geram. Sedang kedua bibirnya seperti dipolesi madu. Ciri-ciri perempuan itu persis seperti yang diharapkan Alim sejak kecil. Tepat ketika Alim dan aku beradu mulut untuk sebuah perkelahian panjang. Katanya tak mungkin ada orang yang suka pada perempuan sejelek aku. Ia berharap jodohnya adalah perempuan cantik yang berkpribadian lembut. Entah mengapa, di usia kami yang sudah dewasa, tiba-tiba saja Alim memilihku dan meyakinkanku dengan perkataan-perkataan yang sama sekali tak membuatku curiga dan ragu.

Pertama, perempuan itu hanya memandangiku saja. Tapi selanjutnya ia mengenalakan diri. Katanya namanya Dewi. Ia mulai berceloteh panjang lebar dengan nada dan bahasa yang tak sewajarnya. Sampai tibalah pada puncak keberangannya dengan mengataiku sebagai perempuan kurang ajar, perebut tunangan orang, dan ini-itu yang lainnya. Nah! Kau tak mungkin bisa membayangkan bagaimana remuknya perasaanku saat tahu kalau perempuan itu adalah tunangan Alim.


Bagus jika cuma satu, bagaimana kalau perempuan-perempuan gelapnya yang lain mendatangiku dan mengataiku dengan ejekan yang serupa? Aku bangkit dan berujar selamat kepada Dewi. Aku memilih untuk tidak sekedar menjadi materi yang kehilangan harga diri.

Akhirnya dengan segala perasaan sakit dan mensyukuri kepedihan, aku memilih untuk meninggalkannya. Aku pergi dengan membawa teguh setiaku. Membawa kerinduan yang tulus untuknya. Kerinduan dalam perih yang menyesaki pori-poriku. Sakit yang mulai kuhitung inci per incinya dan kunikmati seperti mengunyah martabak panas di malam yang dingin.

Kerinduan ini akan kucumbui sendirian, akan kupeluk dengan sepi sendirian, akan kurayu-rayu sendirian, dan akan kuramu menjadi kopi meski hanya sebatas ilusi. Tanpa perlu ia tahu bahwa aku akan tetap berdiri dengan kopiku yang melambangkan kerinduan dan keteguhan hati,” dadaku sesak menahan napas yang tertahan-tahan. Seketika mulutku tak dapat kubuka lagi.

Hasan melompat ke arah rawa sambil berjalan tersaruk-satuk dalam lumpur. Dia berhasil menangkap seekor kodok yang berikannya kepadaku seraya berkata:

“Lupakan cerita yang gagal! Menikahlah saja denganku.”

Praaaaaaakkkkk! Kroweeeeeeeeeekkkkkk…!!!

Dangau yang kami tempati roboh diterpa angin dan tak kuat lagi menampung dua pasang pantat. Kami berdua jatuh terjerembab ke dalam lumpur. Tawa Hasan pecah dan berhamburan ke sela-sela padi. Sementara aku masih kebingungan mengartikan bahasanya. Apakah kalimat ajakannya hanya berarti lelucon dan sebuah godaan ataukah ia adalah jawaban Tuhan atas doaku semalam?



Gubuk Cerita, 16 Pebruari 2011

*Buat nyamuk-nyamuk seksi penggemar kopi yang tinggal di Gubuk Cerita:
Ae, Ha-Lu, Fira, Habeb, Ana, dan Rara. Corn sayang kalian.

12 Februari 2011

Menumpas Kepedihan

;Kepada Jangkrik, Pastel dan Bibbhi'

Ummul Corn ingin berlayar dalam semedi. Membutakan segala hal tentang jelma kenangan. Keindahan dalam calung bambu yang muara pada silap-kelih ilusi.
Ummul Corn ingin semedi dalam kehampaan. Memancang risalah untuk kalian yang kini menepi adalah bagian dari kerinduan.

Wahai perindu rawan, kita semua tetaplah anak sungai bagi kata-kata. Puisi bagi api persahabatan. Suara pastel bagi jangkrik kegelisahan.
Maka tumpas leher cinta pada yang fana!
Karena kita hanyalah materi untuk yang baka.

Tentu tak ada yang bersedia jadi nelayan dalam laut kesedihan.
Meski rasa selalu kekal sebagai jiwa kesetiaan. Lebih baik lupakan cerita yang gagal!
Lalu yakinkan bahwa rindu dan maut akan selalu misteri dalam kehidupan.


Gubuk Cerita, 11022011

11 Januari 2011

Mencari Quraisyi

Akhirnya aku hanya bisa memberikan saran kepada Sri agar ia dapat melupakan cita-citanya untuk menikah dengan orang yang bernama Quraisyi. Ia hanya menarik bibirnya ke atas, memanjangkan senyum sekilas. Sebuah sandi tubuh yang berarti saranku tak berdaya guna.

Sri memang gadis desa yang lincah dan cerdas. Wajahnya selalu tampak pucat tanpa bedak. Pipinya yang lebar dan berisi membuatnya kelihatan bahwa badannya pun tak kurus. Meski tak cantik, dia memiliki beberapa kelebihan yang memikat pada siluet senyum dan binar hangat di matanya yang tajam.

Aku sangat menyukai pribadinya yang peka sosial dan selalu sopan memperlakukan orang lain. Namun ia begitu keras kepala, kritis, dan tak mau kalah. Siapa pun yang berani mengusik hidupnya dan keinginannya, maka siap-siaplah untuk menerima beberapa pertanyaan seperti ini darinya: apakah pernah Nabi Muhammad gentar dalam memperjuangkan Islam? Apakah ada rakyat Indonesia yang menyuruh agar Soekarno tidak membacakan teks proklamasi saat 17 Agustus 1945 lalu? Bukankah semua orang ingin menikmati kemerdekaan? dan lain sebagainya.

Setelah itu, barulah orang-orang tahu kalau Sri bukanlah perempuan desa sembarangan. Dalam dirinya tersimpan multi talenta yang kuat. Buktinya, selain cerdas, ia patuh pada orang tuanya. Selain berstatus sebagai mahasiswa, ia juga bisa membuka usaha dengan membangun toko kelontong sendiri. Namun berlebihan bila ia disebut sebagai perempuan keramat, meski seluruh misi dan gerak-geriknya selalu dipandang aneh oleh orang-orang di kampungku.

Kali ini, misinya dalam rangka mencari Quraisyi telah menyita seluruh sendi-sendi perhatianku. Aku juga tidak tahu apa yang melatarbelakangi keinginannya itu. Aku hanya bisa menduga-duga; mungkin nama Quraisyi telah dipercainya sebagai bentuk maskot. Atau barangkali nama Quraisyi mengandung makna magis nalurian bagi Sri. Ah, ia memang sahabatku yang susah diterjemah.

Kami telah menjadi sepasang sahabat sejak kecil. Saat umurku menginjak 6 tahun dan Sri baru berusia 4 tahun. Selain karena rumah kami yang hanya berbatas 4 petak sawah, Sri juga merupakan anak tunggal. Jadi aku merasa wajib melindunginya seperti seorang kakak kandung.

Suatu sore, Sri bertandang ke rumahku. Kudengar ia bersiul-siul memanggil angin. Tingkahnya memang selalu mendekati gaya lelaki. Mungkin kampung kami yang melahirkan banyak anak laki-laki dan sedikit anak perempuan telah mencetak kepribadian maskulin dalam dirinya. Hingga tak jarang ia mengajakku bermain bola dan kelereng ketimbang bermain boneka dan ‘jual-jualan’ semasa kami kecil dulu.

Aku mengerti maksud kedatangannya kali itu. Tidak biasanya aku mendengar rahasianya dari orang lain. Entah karena ia telat mengabariku atau karena aku terlalu sibuk mengerjakan tugas skripsiku.

“Apa skripsimu sudah kelar, Man?” tanyanya dengan nada paling rendah yang pernah kudengar darinya. Aku tak menjawab meski dari kemarin aku begitu ingin untuk segera mengabarinya tentang kelegaanku ini. Aku tahu pembuakaan dialognya kali ini hanyalah basa-basi.

“Aku bertemu di dalam mimpi, namanya Quraisyi…” katanya memulai cerita tanpa kuminta, “sebelum nenekku meninggal ia berbisik ditelingaku untuk mencari seseorang yang namanya sama persis seperti kakekku. Malam itu, aku benar-benar bermimpi bertemu dengan sesosok yang mengaku Quraisyi. Aku menumpang berteduh di bawah payungnya saat hujan deras. Selain itu aku tak ingat apa-apa lagi. Ketika bangun tidur, aku mendapati sebuah ketenangan yang kubawa dari dalam mimpi. Mimpi yang tak bisa, Man!” lanjutnya dengan mimik berapi-api dan berbicara cepat seolah tak perlu mengambil nafas.

Hening. Suara-suara langkah ayam menginjak daun-daun kering di halaman.

“Bagaimana mungkin kau akan mencari seorang pemuda bernama Quraisyi seperti wasiat almarhum nenekmu? Bukankah kau akan mempermalukan dirimu dan keluargamu pada masyarakat di tengah budaya kita yang innalillah bila perempuan mencari lelaki?”

“Okelah ini bukan persoalan yang mudah. Dan bahkan aku akan ditertawakan karena Quraisyi akan tampak seperti seorang mafia pajak yang diburu ke mana-mana. Tapi ini masalah kesetiaan. Nenekku bilang, orang yang bernama Quraisyi, kelak akan menjagaku dengan kemampuannya yang terus memberikan semangat untuk terus menjalani hidup. Bahkan ia akan mengajakku berlayar untuk melanjutkan tugas kenabian. Aku percaya nenekku, Man. Dan melalui misiku ini, aku akan katakan bahwa perempuan berhak memilih.”

“……”

“Mendengar alasanmu yang tampak kurang masuk akal ini, aku menjadi was-was, apakah kelak yang kau maksud itu bisa terbaca di masa ini? Apakah engkau tengah mengatakan kepadaku bahwa engkau telah meiliki kekuatan intuisi?” ujarku mencoba memecah keheningan.

“Tak ada yang mengerti––” katanya dengan penuh rasa sedih. Aku bisa menduga apa yang ada di balik kata-katanya. Kutatap ia dengan penuh rasa sayang.

“Tidak perlu kau bersedih hati. Aku akan selalu ada dan mendukungmu. Alasanmu yang kataku tak masuk akal tadi justru hanya pancingan apakah kau akan emosi atau tidak,” potongku.

“Sore ini aku menemukan jutaan oasis di matamu,” ucapnya mengisyaratkan kalimat pemungkas pada dialog kami. Aku pura-pura mengucek kedua mataku yang tak gatal. Ia menggeleng kenes. Tawa kami lepas bersama angin sore itu.

Setelah hari itu, kami memulai aksi mencari Quraisyi. Namun sebelumnya aku dan Sri menyusun rencana dan mendata seluruh tempat-tempat yang akan kami kunjungi, seperti, kampung-kampung di desa kami, pasar-pasar, tempat nongkrong para remaja dan tentunya, yang paling utama adalah sekolah tinggi di kampung kami. Selain itu kami juga menyiapkan beberapa rencana cadangan beserta kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Melihatku bekerja amat serius, Sri hanya manggut-manggut. Maklum, meski penampilannya serba sederhana, tapi dalam urusan proyek ia selalu memegang teguh prinsip profesionalisme dan perfeksionisme.

Langkah pertama kami mulai dari menjelajah kampung. Rencananya Sri mau menanyakan satu per satu pada para kepala rumah tangga. Bahkan ia berniat untuk mendaki bukit ke bukit demi menemukan nama yang ia cari. Namun aku mencegatnya. Menurutku lebih baik mendatangi balai desa dan meminta data penduduk pada aparat desa saja. Sri pun mengakui ideku kali itu lebih cemerlang.

Pelacakan yang kami lakukan ke balai desa rupanya membuat Sri bergelimang kecewa karena nama yang ia cari tidak ada. Alhasil ia tak henti berceloteh di dekatku. Dan aku tak lebih dari seorang pendengar setia dan tempat sampah.

Kurang lebih beginilah isi celotehnya: “Rupanya, kampung kita ini tlah terpengaruh arus kebarat-baratan juga, Man. Nama anak-anak kecil saja sudah serba gaya. Para orang tua tak lagi gemar menamai anak mereka menggunakan bahasa Arab dan atau mengambil dari al-Qur’an. Zaman sekarang, makin jarang saja kutemui nama Sulaiman, Ahmad Syafi’i, Fatimah, atau Ibrahim. Yang mudah dicari sekarang adalah Danil, Deni, Hendra, Fiki dan Fera. Ah, makin kacau saja dunia persilatan ini.”

Itulah potongan evaluasi bagi kampung kami. Padahal sebenarnya Sri tahu kalau yang ia cari bukan anak kecil, tapi dalam penyampaiannya ia menyinggung nama anak kecil. Kalau tidak aku yang memencet tombol stop dengan kalimat yang kulontarkan, tentu saja celoteh itu tidak akan berhenti sampai di situ saja.

“Sudahlah…. Ini baru langkah yang pertama. Kau sudah seperti anak ayam saja. Santai. Nikmatilah proses ini, Sri.”

“Tapi apa kau tidak lelah menemaniku yang tengah mencari sesuatu yang tak pasti?”
Aku diam pura-pura tak ingin menjawab. Akhirnya ia tengah menyadari bahwa misinya nampak konyol dan tak jelas.

“Rahman… kok diam?”

“Aku akan lelah kalau kau malah terus mengeluh. Jangan menyerah!” jawabku seraya menjitak kepalanya yang terbungkus kerudung segi tiga berwarna abu-abu.

Keesokan harinya Sri datang saat matahari belum menampakkan diri. Dingin masih sempurna menyelimuti pagi. Sebuah ketenangan di kampung kami yang begitu nyata dapat dirasakan saat pagi hari. Saat jalanan masih tampak lengang.

Wajah-wajah orang yang berlalu-lalang di jalanan masih belum dapat ditebak. Lain halnya dengan langkah Sri yang memiliki ciri khas. Aku begitu hafal geraknya. Tak sengaja kulihat dari dalam jendela saat aku hendak memberi makan dan minum burung di dalam sangkar yang digantung di beranda.

Sri memanggil salam seraya mengikutkan namaku di belakangnya. Ibu dan Bapak masih belum beranjak dari sajadahnya. Biasanya baru akan turun usai shalat duha. Begitulah rutinitas dalam keluargaku.

Aku segera menjawab salamnya. Kami lalu berbincang diiringi kicau burung di kejauhan. Pagi itu benar-benar terasa dingin.

Sekitar jam tujuh kami berjalan ke pasar yang berjarak 1 km dari rumahku. Kami melangkah menyusuri pagi yang cerah sambil sesekali tangan dan mulut Sri menyapa orang-orang yang berpapasan dengan kami. Sepanjang jalan mulutnya terus komat-kamit, berdo’a kepada Tuhan agar hari ini dipertemukan dengan makhluk-Nya yang bernama Quraisyi. Sebenarnya ia tidak percaya pada kebetulan, keberuntungan, dan kesialan. Baginya semua akan berjalan sesuai kontrak yang telah disepakati antar-roh bersama Tuhan sebelum ia terlahir menjadi daging. Tapi hari ini Sri acap kali berbisik di dekat daun telingaku bahwa ia telah menanam harapan besar dapat berjabat tangan dan orang itu berkata: Quraisyi.

Senyum Sri mengembang saat kami menerima kabar bahwa di desa seberang ada orang bernama Quraisyi. Sebuah petanda bagi Sri untuk mengakhiri pencariannya. Informasi ini kami dapat dari seorang nenek yang menjual cendol. Dari saking girangnya Sri sampai menghabiskan tiga mangkok cendol sekali duduk.

Tanpa banyak kata, rumah yang dimaksud langsung kami datangi. Namun lagi-lagi Sri pulang dengan membawa setumpuk kesedihan saat ia tahu bahwa pemuda itu bukanlah Quraisyi melainkan Qusyairi. Kabar selanjutnya yang kami terima adalah nenek penjual cendol di pasar tadi memang sudah agak pikun. Sebagian lagi mengatakan bahwa pendengarannya bermasalah. Bagi Sri, huruf R dan S harus sesuai pada tempatnya. Bila salah letak maka semua pastilah kacau. Seperti kasus yang ia alami hari ini.

Karena gagal lagi Sri lalu putuskan hari itu juga untuk mendatangi sekolah tinggi swasta di desa kami, Ganding . Kami berdua mengahadap TU kampus untuk mengecek nama-nama mahasiswa. Jam 17.02 WIB kami pulang dengan perasaan haru saat keberhasilah membentang di depan mata. Dari sederet nama yang kami terima ada seorang mahasiswa bernama Quraisyi semester I jurusan Tafsir Hadits yang berdomisili di desa Pagar Batu.

Besok kami akan melakukan survei lapangan. Dari air muka Sri mengalir sebuah kelegaan yang seolah berkata ‘akhirnya’ dan ketidaksabaran menunggu hari esok. Ia begitu antusias untuk menemui Quraisyi di desa Pagar Batu tanpa berpikir panjang apakah orang yang dimaksud telah beristri, bertunangan, atau barang kali sedang memadu asmara. Sri tak peduli. Lalu sebenarnya apa yang ia inginkan bila kenyatannya, besok, dugaan itu benar-benar telah dialami sang Quraisyi yang ia cari. Apakah Sri akan minta dimadu? Lalu bagaimana pula bila istri Quraisyi tidak mau? Ah, aku jadi tambah pusing memikirkan pertanyaan yang kurangkai-rangkai sendiri ini.

Besoknya kami berangkat menaiki motor Astreaku. Aku melajukannya dengan kecepatan yang luar biasa. Itu karena Sri yang meminta agar kami segera sampai tujuan.

Kami turun di depan rumah kecil berpotongan topi miring menghadap ke barat. Di halaman rumah itu tampak kubis, wortel, sawi dan mentimun berebut untuk meninggikan badan mereka masing-masing. Di samping dan belakang rumah tampak hamparan sawah yang membentang ditanamani padi. Rumah itu berada di deretan paling selatan. Petunjuk itu sesusai dengan yang kami peroleh dari TU kampus kemarin.

Suasananya amat sepi. Seperti tak berpenghuni. Sri segera mengucap salam dengan lembut. Yang menyahut adalah seorang perempuan bernada lirih. Lalu ia membuka daun pintu dan berdiri di sana. Perempuan setengah baya kira-kira telah berkepala empat itu menatap kami sebelum akhirnya mempersilakan kami untuk duduk di teras depan. Matanya kelihatan bengkak seperti habis menangis.

Saat Sri sampaikan maksud kedatangan kami, tiba-tiba ada cairan yang mengalir dari ekor matanya. Akhirnya kami tahu bahwa yang ia tangisi adalah kepergian anak tunggalnya 36 hari yang lalu. Anaknya tak menderita penyakit, tetapi mati secara wajar. Ia tampak semakin lara saat kami datang membangkitkan kenangan masa lalunya.

Jadilah Sri turut menangis sejadi-jadinya di dekat Ibu Quraisyi. Aku hanya mematung dan mengikat mata pada mereka yang seperti mertua dan menantu yang memiliki ikatan keluarga berpuluh tahun. Keduanya sama-sama tak mengacuhkanku.

Ketika beduk dzuhur ditabuh, barulah aku sadar kalau Sri telah tersedu-sedan selama berjam-jam. Aku memberi isyarat kepadanya agar segera berpamit dan kami bisa segera beranjak dari situ. Tangis Ibu Quraisyi pun semakin deras karena rumahnya akan sunyi lagi. Sebentar lagi ia akan terkungkung sendiri menangisi setiap inci waktu yang terus melaju dan tak kan pernah mundur. Ia tak sadar bahwa tak akan ada yang berubah setelah tetes air matanya berjatuhan. Dan ia tak mungkin lagi bertemu dengan anaknya yang tersayang. Sungguh malang nasib orang-orang yang tak siap untuk ditinggalkan.
***

Dalam perjalanan pulang aku memberi saran kepada Sri agar ia melupakan cita-citanya untuk menikah dengan Quraisyi. Ia tersenyum sekilas. Setelah itu aksi ‘mogok ngomongnya’ membuyarkan perbendaharaan kataku. Aku ikut diam dan tak berucap apa-apa lagi. Tidak kepadaku sendiri.

Sehari kemudian Sri tak berkabar. Lusanya aku mendengar bahwa ia terkena depresi. Ia tak hanya menjalankan kerja sesuai rencana, tapi kini ia mulai mencari Qusyiri di tempat-tempat yang mustahil dan itu di luar dugaan; ia terus mencari di kolong meja, kolong ranjang, dan semua benda yang mempunyai kolong. Karena tak ada ia beralih mencari di dalam seprai bantal, di bawah kasur, dan di sela-sela lipatan baju dalam lemari. Karena tetap tak ada ia lalu berlih menjelajahi bulu-bulu handuknya yang menggelantung di kawat jemuran seperti orang mencari kutu sambil berkata: di mana kamu Qusayiri? Menyingkap rumput-rumput liar di belakang rumahnya dan berteriak di pinggir sumur seperti ibu kehilangan anaknya.

Mendengar Sri sebegitu parah aku berkunjung ke rumahnya. Tidak untuk mewanti-wanti agar ia menghentikan aksinya. Tapi aku juga ikut-ikutan meniru tingkahnya. Kuikuti langkahnya menuju dapur untuk mencari Quraisyi di dalam panci, di dekat tungku, di sela-sela sumbu kompor, dan terakhir di rak piring.

Ironisnya, aku sadar sepenuhnya bahwa pekerjaan ini bodoh dan bahkan seperti mencari garam di puncak gunung. Aku hanya ingin tetap setia kawan. Sri tampak menyukainya. Dan kupikir dalam kondisi seperti itu ia butuh dihargai dan dimengerti. Sementara seluruh keluarganya malah memarahinya dan menyebutnya depresi. Namun lagi-lagi Sri tak peduli. Ia tetap teguh pada pendiriannya: berjabat tangan dengan orang yang bernama Quraisyi.

Tiba-tiba aktifitas kami terhenti karena di luar hujan panas. Kami berdua melangkah ke luar beriringan memandangi matahari dari balik rintik-rintik hujan. Reflek kubuka jaketku untuk melindungi kepalanya dari jarum air yang terasa menyengat manusuk kepala. Sri menoleh. Dari jarak yang amat dekat ia berucap pelan kepadaku.

“Selama ini aku telah mencari sesuatu yang salah. Harusnya aku tidak pusing memikirkan mimpi busuk itu. Karena yang kucari adalah sesosok seperti engkau, Man. Buka Quraisyi.”

Hening. Bunyi rintik hujan di atas seng kamar mandi. Keheningan kali itu bagai lagu merdu.

“Hari ini aku sadar bahwa jiwa tidaklah dibelah tapi bersua dengan jiwa lain yang searah. Maukah kau berlayar denganku, Man? ”

Aku tetap diam saat kata-kata Sri seperti suara meriam yang terus menghantam.

Gubuk Cerita, 04 Oktober 2010