21 Juli 2010

Sepatu Bolong 17 Agustus*

Oleh: Ummul Karimah**

“Saya malu mengeluh karena tidak mampu membeli sepatu baru ketika orang yang tak punya kaki mampu menjalani hidup dengan suka cita…”

Sebuah sore yang cemas pada minggu pertama di bulan Agustus 2008 lalu. Batinku mengadu pada garis kisah di bawah pohon mangga. Tepat di depan gubuk perpustakaan PPA. Karang Jati, asramaku. Aku sungguh tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada 17 Agustus nanti. Pada sebuah pagi yang ditunggu-tunggu. Sebuah kemerdekaan bagiku, ataukah beberapa cemoohan.

Rasa was-was ini bermula dari sebuah masalah yang sangat sepele. Mungkin begitu bagi orang lain. Tapi bagiku ini merupakan masalah runyam yang akan terus terkenang dalam memori sepanjang sejarah kehidupanku apabila kejadian yang kukhayalkan itu benar-benar terjadi.

Beginilah ceritanya: jauh hari sebelum tanggal 17 Agustus, para panitia HUT RI SMA 3 Annuqayah telah menentukan siapa saja yang akan menjadi petugas upacara. Namun sebelumnya mereka menyeleksi siswa terlebih dahulu. Aku masuk seleksi menjadi pemimpin. Awalnya aku tak yakin bisa benar-benar lolos menjadi pemimpin upacara. Tapi pada akhirnya akulah yang terpilih. Aku senang namun pada sudut bagian hatiku yang lain, aku berduka. Inikah sebuah paradoks?

Dukaku kerap kali menghantui hari-hariku. Masalahnya, sepatuku bolong dan tak dapat tertolong. Aku tak punya sepatu cadangan seperti teman-temanku yang lain, yang tergolong anak orang kaya. Hal ini membuatku terpukul. Terlebih saat aku membayangkan berdiri di bawah tiang bendera dengan sepatu merahku yang menganga, sementara semua pandangan tertuju ke arahku. Memalukan!

Rasa pesimis untuk tampil pada hari yang dipertingati untuk mengenang kemerdekaan itu lama kelamaan semakin kental. Aku lalu mencari cara agar nasibku tak seburuk yang aku khayalkan. Mulailah aku berpikir keras merancang beberapa strategi antisipasi. Aku menyusun sousi A dan B. Dan aku memulai aksi.
Solusi A adalah cara yang lebih sulit kulakkan dari pada solusi B, karena solusi B lebih mungkin dijalani. Solusi A dijadikan yang pertama karena apabila ia tak berhasil kulalui maka dengan mudah akan kuterapkan solusi B. Solusi A: meminta sepatu baru kepada ibu.

Berat rasanya mulutku meminta benda tersebut pada ibu dan bapak. Aku tidak tega bila harus memandang wajah iba mereka terhadapku. Sedang musim saat ini adalah paceklik. Tembakau masih belum ditanam. Padi-padi di sawahku tak bisa diajak kompromi. Mereka tumbuh pesakitan. Hama-hama gemar menyerang sehingga orang tuaku tak mujur dalam panen padinya kali itu. Untuk menerapkan solusi A, aku sungguh dilema.

Pada akhirnya, sampailah di hari Jum’at (16/08/2008), hari saat orang tuaku biasa menyambangiku. Awalnya aku ragu harus ungkapkan masalah ini pada mereka. Namun akhirnya dengan terpaksa mulutku kupaksa. Tentunya dengan mental siap bila orang tuaku, nantinya tak dapat memenuhi pintaku.

Aku tahu, orang tua siapapun di dunia ini tak kan tega bila melihat anaknya tengah mengalami nasib yang mengenaskan. Orang tua akan selalu memerikan terbaik bagi anaknya. Meski tak seratus persen semua orang tua begitu, tapi bapak dan ibuku adalah salah-satu orang tua yang pantas mendapat nominasi orang tua terbaik. Mereka berdua selalu mendukungku untuk maju berjuang dan belajar.

Sejak kecil aku diasah untuk menjadi orang dewasa yang dapat berguna bagi semesta. Tak pernah sedikit pun orang tuaku memarahiku bila yang kulakukan berkaitan dengan hal-hal yang positif, apalagi menyangkut pendidikan. Mereka hanya menasehatiku bila aku bertingkah nakal dan tidak sopan. Itulah orang tua, yang selalu mulya dan terhormat hingga kisah kehidupan ini menjadi tamat.

Tapi kali ini permintaanku tak dapat dipenuhi. Mereka terjepit pada ingin dan sebuah kenyataaan yang membentang.

“Sebenarnya ini tidak terlalu penting, Pak. Tapi aku malu bila harus memakai sepatu bolongku di acara itu. Aku tak tahu seberapa keras tawa teman-teman menggema di telingaku,” kataku sambil memelas.

“Ibu janji akan belikan sepatu baru untukmu, tapi tidak kali ini. Ibu benar- banar tak punya uang. Bila hari ini Ibu dapat meminjam pada tetangga, maka Ibu bersedia menutup muka. Tapi tak mungkin para tetangga meminjamkan uangnya untuk kita. Mereka juga sedang susah,” begitulah kata ibu yang membuatku tak dapat berkata apa-apa lagi. Aku hanya tertunduk.

Pada menit berikutnya aku memutuskan untuk berbicara. Sekedar memberi kode pada ibu dan bapak bahwa aku baik-baik saja meski tanpa sepatu baru. Juga agar mereka berdua tak terlalu khawatir memikirkanku.

“Tak apa bila Bapak dan Ibu tak bisa memberikan seperti apa yang kuminta. Aku mengerti keadaan di rumah. Terlebih masalah panen kita saat ini. Aku akan tetap semangat menjalani hari-hari di sekolah meski tanpa sepatu baru,” putusku, pasrah.

Kulihat ibu menitikkan beberapa butir air mata. Bapak tersenyum bangga menatapku.
Lalu aku menghambur dalam pelukan ibu. Sebelum akhirnya aku mencium tangan keduanya, petanda mereka harus pulang. Hening, batuk-batuk tua bapak. Kemudian salam memecah kesunyian. Mereka berlalu melewati pintu ruang tunggu, lalu melintasi semak-semak kebun pondok, hingga akhirnya melaju dengan sepeda dan ditelan oleh jalan.
Aku melangkah sambil membatin: apakah sekolah itu memang wajib memakai seragam dan sepatu? Mengapa demikian ribet? Siapa yang punya usul pertama kali akan kewajiban pelajar untuk berseragam dan bersepatu?

Dalam anganku sendiri lalu muncul sebuah jawaban yang menurutku itu sebagian dari buruk sangka: aku yakin ini adalah ide manusia petinggi-petinggi tempo dulu. Pemerintah yang bekerja sama dengan pengusaha yang mempunyai pabrik textil dan memproduksi seragam untuk meraup keuntungan dari rakyat kecil. Bayangkan saja, kalau tiba tahun ajaran baru, pastilah toko-toko dipenuhi oleh seragam-seragam anak sekolahan. Pastilah pula pengusaha yang memproduksi seragam itu amatlah gemar memetik laba yang diraih, dan tentunya pemerintah pun akan senang atas pajak yang dapat dipungut. Begitulah menurutku.

Aku masih tak habis pikir akan apa isi dalam dada pemerintah zaman dahulu. Hati ataukah belati? Rasa kasihan ataukah kepura-puraan? Uang memang serung kali dapat mengubah ornag baik jadi jahat, orang patuh menjadi angkuh, dan sifat dermawan berganti keserakahan.

Kini aku sadar, tak seharusnya menyesali yang sudah-sudah. Pun tak baik bila terus berburuk sangka. Semua sudah terlanjur mengalir. Kekeliruan paradigma tentang sekolah tak mudah diubah. Meski yang sebenarnya sekolah itu adalah peoses pencerdasan dan berlomba-lomba menggali ilmu pengtahuan. Bukan mengatur pakaian yang seragam.

Baikalah. Rencana A telah gagal. Dan aku juga tak terlalu berharap ibu dapat membelikan sepatu baru untukku. Kerena, sekali lagi, aku tahu keadaan yang tengah terjadi di keluargaku.

Meski demikian, aku tak putus asa samapai di situ. Akan kuterapkan solusi B dengan keharusan menanggung resiko-resikonya. Kali ini aku yang harus menutup muka pada seluruh kawan-kawanku di pondok. Solusi B: meminjam sepatu pada kawan.
Sampai di sini, aku juga masih kebingungan. Sepatu siapa yang harus kupinjam? Sementara seluruh kawan-kawanku juga akan mengikuti upacara bendera. Rasanya sulit mencari kebaikan di saat yang tak tepat. Tapi kali ini harus kucoba, sebab besok adalah hari H. Waktuku tinggal semalam. Kuubah mukaku menjadi tembok dan mengutarakan maksud pada temanku. Devi namanya. Kalau tidak salah dia punya dua pasang sepatu.

“Bisakah kau meminjamkan sepatumu untukku, Dev? Besok aku jadi pemimpin upacara. Sepatuku bolong dan tak dapat tertolong. Bagian depannya menganga. Pada bagian tutupnya sebagian dimakan rayap. Aku malu memakainya,” aku memelas, dengan harapan besar ia dapat meminjamkan sepatunya untukku.

“Maaf. Bukannya kau tak mau meminjamkannya untukmu. Sepatuku lagi kotor. Kebetulan tadi sore aku juga dikunjungi, jadi kutitip sepatuku pada pembantuku untuk dicuci di rumah. Sepatuku di sini tinggal satu, untuk juga kupakai besok,” jawabnya.
Lagi-lagi aku kecewa. Keringatku bercucuran. Aku tahu, sebenarnya Devi adalah sosok teman yang amat baik. Kali ini aku mengerti akan alasannya. Begitu logis dan menempatkan apa sebagai adanya. Aku beranjak setelah mengucapkan terima kasih. Kulihat wajah Devi pun ikut berduka. Solusi B juga gagal.
***

Tibalah hari H.
Seluruh ketua kelas tampak sibuk mempersiapkan masing-masing banjar pasukan mereka. Paskibraka telah gagah memakai songkok nasional yang diberi lambang garuda Indonesia dibagian pojok atas sebelah kiri, seragam putih-putih dan selendang merah, juga kaos tangan putih membalut tangan mereka. Seluruh petugas upacara yang lain, seperti: protokol, pembawa teks pancasila, pembaca UUD 1945, dan pembaca do’a telah berbaris rapi di tempat mereka. Para guru berdatangan dan menempati posisi di depan kantor. Tinggal aku sendiri yang masih bingung antara: maju untuk memimpin ataukah mengacaukan acara.

Akhirnya, dengan langkah pasti aku maju. Berjalan mengepalkan tangan bersama keyakinan dan ketangguhan. Berdiri lurus di bawah tiang bendera. Tanpa rasa malu pun memikirkan kemungkinan yang akan terjadi: bisik-bisik atau tawa kecil. Aku berdiri gagah menantang matahari, menatap tiang dengan pasti. Kukobarkan api semangat lewat sepatu bolongku yang berwarna merah.



*Dalam lomba LKTF (Lomba Karya Tulis Fiksi) Haflah Akhir Dirosah Madaris III Annuqayah. Alhamdulillah karya yang ini membawa berkah.


**Ummul Karimah adalah siswa XII IPA SMA 3 Annuqayah. Berasal dari desa Tambuko Guluk-Guluk Sumenep. Bukan perempuan keramat dan belum pernah meraih nobel. Kini tinggal di ladang jagung PPA. Karang Jati Assaudah.

02 Juli 2010

Musim di Matamu

Cukup aku bisikkan kepadamu saja pengakuan ini: aku rindu berulangkali kepada garis matamu, lokan-lokan di dalam kamar dan ikan yang rekat ke marmar. Semuanya terlanjur menyelusup dalam ingatan yang rentan. Ruangku basah oleh keringat rindu, warna yang berpadu.

Padahal, berabad-abad yang silam, telah kupenggal leher dongeng-dongeng yang berbau sayang. Tapi cinta, bukan hanya segelas air yang habis hingga tetes terakhir. Atau sebongkah tubuh yang kecut dan pasi. Tapi cinta adalah film Doraemon; di sana semua terpenuhi. Tinggal merogoh saku semua tak kan buntu.

Konon, sebelum aku terlahir, terdapat sejarah yang telah terbaca menggunakan rajah. Engkau diam-diam menyapaku mesra sekali. Tepat saat waktu berhenti. Lalu salju, semi, gugur, kemarau, dan semua musim bertemu di matamu.

Haruskah kuucapkan lagi pengakuan ini; aku rindu berulang kali kepada ikan-ikan emas yang berkejaran di matamu. Lokan-lokan dalam hutan di negeri yang ajib. Semua terlanjur menyelusup. Cinta, barangkali adalah aku.


Gubuk Cerita,
PPA. Karang Jati, 15 Juni 2010

Pak Tani, Tembakau, dan Igau

Ada mayat Pak Tani
Kering dan pucat di tengah sawah kerontang tanah-tanah
Terbungkus tujuh helai daun tembakau
Di negeri yang subur, damai, dan indah permai
Indonesia, rakyatmu ada yang terbujur
Telah gugur bersama igau anggur-anggur
Sebuah harapan yang tertoreh pada garis daun-daun tembakau



Tambuko, 30 Maret 2010