10 Juni 2010

Catatan Hijau dari Tegal Randu



“Hey, bangun! Sudah sampai,” sebuah suara menghardik jenaka.
Aku bingung dari manakah suara itu. Sepertinya aku kenal betul suara lembut itu. Ya, suara seorang kawan. Aku lalu mengucek mata dari punggung tanganku. Aku lantas sadar, bahwa aku tak sedang tidur di asrama. Suara bus, gerimis kecil, kawan di samping kursi, dan ransel yang hamil membuncit.

Aku memang sungguh terlalu. Tak sadar kalau sore tadi, aku, Ibu Mus’idah (guruku di SMA 3 Annuqayah), dan keenam teman PSG (Pemulung Sampah Gaul) lainnya telah masuk ke dalam ruangan ‘Damri’ di terminal Prenduan untuk mengikuti pameran dalam acara Maulid Hijau di desa Tegal Randu, Klakah, Lemongan, Lumajang. Ini memang penyakitku, lupa sedang tidur di mana.

Rombongan kami tiba di Lumajang pada jam 02:00 WIB dini hari. Cuaca sudah reda, namun jalanan yang basah tersiram cahaya lampu neon mencipta suasana remang-remang. Pada suasana ini aku asing, tidak kerasan, dan merasa tengah dalam bahaya. Perasaanku memang selalu aneh. Hal ini terjadi karena tempat itu begitu sepi. Namun beberapa menit kemudian, ada suara deru ban mobil berhenti. Angkot kota berwarna merah. Aku lega.

Perjalanan dari senja petang tadi begitu melelahkan. Meski waktuku kerap kali kuhabiskan dengan tertidur. Kepalaku selalu terhantuk-hantuk keca jendela. Masih terasa sisa sakitanya. Didukung lagi dengan udara dingin mencekam. Tubuhku menggil, tapi untunglah tidak terlalu karena aku mengenakan sweater tebal abu-abu kesayanganku. Aku masih ingat, saat aku melek ayam di dalam bus, aku sempat menoleh ke arah kanan, tempat Ibu Mus’idah duduk. Beliau mengenakan shal berwarna biru. Rupanya dingin tak hanya kurasakan sendirian.

Kami langsung menghentikan angkot malam itu. Lalu mulailah Ibu bernegoisasi mengenai ongkos menuju Embong Kembar, Lumajang, rumah Mbak Iklilah, alumnus SMA 3 Annuqayah. Di sanalah tujuan kami malam ini. Numpang menginap, agar malam tak menertawakan kami karena menjadi gelandangan utuh di malam buta.

Mula-mula masing-masing kepala ditagih Rp.10.000,-an. Kami menolak bulat-bulat, karena anggaran yang kami target tak segila ini. Proposal yang kami ajukan pada sekolah sangat terbatas. Kas PSG juga sedang tipis. Kami memang selalu hemat dana, karena prinsip kami: kita bisa melangkah tanpa tergantung penuh pada uang. Ibu menawar lagi Rp.5.000,-an per kepala. Tapi kini Pak sopir yang berbadan segemuk tang itu yang tidak mau. Bingunglah kami. “Inilah resikonya kalau kita sampai pada malam hari,” keluh Bu Mus.

Tuhan memang selalu sayang. Tiba-tiba ada seorang yang mengaku asli Lumajang membantu menawar pada Pak sopir.

“Rp.50.000,- saja. Bagaimana?” kata lelaki setengah baya itu membuka percakapan baru.
“Tidak bisa. Ini malam. Saya begadang meninggalkan anak istri. Masak cuma Rp.50.000,-? Rugi saya. Yo wes… Rp.60.000,- saja.” bantah Pak sopir dengan bahasa Jawa dan logat khas Lumajangnya. Lalu ia memberi harga lagi.
Aku menoleh ke arah ibu. Kerling mata beliau mengisyaratkan tanda kepasrahan. Kalau diterjemah kira-kira artinya: mau bagaimana lagi.

Kerena ijab telah berkabul, maka kami mulai sibuk mengangkut barang-barang bawaan yang amat banyak: satu koper berisi tas-tas sampah platik dan properti tim sampah plastik, satu kardus pupuk organik, dua toples besar berisi cairan KCl (Kalium Clorida) bahan tetes untuk pupuk organik dan cara contoh pembuatan pupuk organik, satu kardus berisi jubadha (makanan dari gula merah khas desa Karduluk Sumenep) yang disatukan dengna kripik singkong asli Madura, serta satu kardus berisi ayam-ayaman dari benang payet karya siswa SMA 3 Annuqayah. Sebagian kardus ada yang basah terkena percik air hujan dalam bagasi bus.

Melajulah kami bersama bola mata yang membengkak. Kantuk benar-benar selalu merayu mata untuk terlelap. Ibu tampaknya sibuk menghubungi Mbak Iklilah. Layar dan tuts handphonenya selalu menyala terang. Sesekali kami tertawa senang karena pada akhirnya kita bisa sampai. Pak sopir selalu berbincang menggunakan bahasa Jawa. Kami kebingungan. Tapi kami masih beruntung lagi. Salah-satu kawan kami yang ikut, Siti Muniratul Himmah namanya, adalah anak asli Jember. Jadi dia kami tugaskan untuk mengobrol dengan Pak sopir itu. Aku dan teman-teman yang lain membuncahkan tawa lagi mendengar obrolan mereka yang sungguh lucu bagi kami.

Kami disambut oleh seorang kawan lama yang kira-kira seusia dengan kakak perempuanku. Setelah tangan-tangan saling berjabat dalam balutan senyum, dia bersama seorang nenek tua (mungkin pembantunya) membantu menurunkan barang-barang dari dalam angkot. Suasana begitu hening. Suara jangkrik terdengar dari rawa-rawa di dekat rumah itu. Bangunan megah berwarna merah muda dengan pagar besi coklat tua mejulang gagah, sedikit memamerkan bangunan kastil. Sebelumnya aku tak punya bayangan tentang tempat yang akan kami tinggali. Aku tak sempat memikirkan itu. Yang kupikirkan hanyalah bagaimana stand kami bisa tampak canggih dan penuh seni.

Mbak Iklilah mempersilakan kami masuk ke dalam sebuah kamar. Tepat di samping kiri tangga. Sebuah kamar berukuran 7 X 7 berisi lemari kecil tempat koleksi buku-buku dan kaset DVD, satu lemari gantung berukuran besar dan sederet kasur tebal lengkap dengan selimut. Rombongan kami yang berjumlah 7 orang ini merasa malu. Itu tergambar dari langkah mereka yang grogi untuk memasuki kamar yang lengkap dengan kamar mandi itu. Aku juga malu, meski rumah itu merupakan rumah familiku sendiri. Sebelum berebah, Mbak Iik mempersilakan kami untuk makan. Tapi kami sudah makan dalam perjalanan. Jadi kami memilih untuk istirahat saja. Sementara yang lain menata pakaian, aku memilih melangkahkan kaki ke kamar mandi untuk mencuci muka sebelum tidur. Setelah tubuhku merebah, aku tak ingat apa-apa lagi.

Hari pertama di Lumajang, amat menyenangkan. Aku dan kawan-kawan diajak naik ke loteng oleh Mbak Iik. Dari sana kami dapat melihat indahnya gunung Semeru dengan asap mengepul yang menari-nari di puncaknya. Gunung itu laksana istana kayangan yang ada di atas langit. Kakinya seperti tak menyentuh bumi karena dari bawah hanya tampak asap-asap yang menyerupai awan. Dalam hati aku bergumam: subhanallah. Takjupku tak henti atas ciptaan Allah yang tak tanggung-tangguh indahnya. Lumajang yang hijau. Tak tampak bahwa di sini adalah kota metropolitan, karena udaranya begitu sejuk dan nyaman.

Lamunanku buyar oleh suara lagu India berjudul ‘Dil To Pagel Hai’ yang bersumber dari tipe recorder. Sepertinya suara itu ada di dalam kamar mandi. Rupa-rupanya terkaanku benar. Mbak Iklilah sedang memutar lagu Hindi kesukaannya. Kebetulan aku juga suka. Dari dulu kami memang tergabung dalam komunitas “Hindi Lovers”. Kami bernyanyi bersama di depan kamar mandi yang kokoh berdiri di loteng bagian belakang. Senang sekali dapat mendengar lagu yang di nyanyikan oleh artis India dalam film yang dimainkan Sahruk Khan dan Juhi Caula itu.

Kami mandi bergantian. Ada yang mandi di kamar mandi dalam, ada yang memilih di dekat dapur, dan ada pula yang memilih mandi di kamar mandi samping mushalla. Semua pekerjaan kami persingkat agar kami dapat segera berangkat ke desa Tegal Randu, Klakah. Aku sudah tak sabar ingin segera tiba di sana.

Setelah semua siap, kami lalu diajak untuk masuk ke dalam dapur. Kami dipersilakan untuk sarapan. Nasi hangat dan berbagai lauk-pauk yang bermacam-macam membuatku merasa kasihan kepada perut yang semalam meronta kelaparan. Kami duduk manis mengitari meja makan. Kemudian, terjadilah pertempuran lidah dan gigi setelah basmalah dan do’a kami bacakan sebelumnya.

Usai makan, kami bersiap-siap untuk mengangkat barang-barang ke atas mobil pik-up. Mobil Mitsubishi yang disediakan oleh tuan rumah untuk mengantarkan kami ke Klakah. Namun sebelum mobil itu melaju, kami berfoto-foto dulu di atas mobil. Senyum termanis kami pasang. Lalu, ‘klik’! sebuah gambar terbentang di layar kamera. Aku senang berfoto meski wajahku tak dapat dimodel. Tapi kurasa senyumku di kamera itu manis (hehehe…gede rasa dikit). Setelah itu kami berpamitan kepada Ibu Siyah dan Bapak Romli, orang tua Mbak Iklilah. Sedang Mbak Iik tersenyum mengiringi kami ke Klakah. Kami melaju bersama bibir yang melebar.

Selama perjalanan, gerimis tipis menghiasi cuaca pagi. Sekali lagi kami terbuai oleh keindahan tubuh gunung Semeru yang dapat kami lihat dari atas mobil. Namun kali ini aku tak dapat berkata apa-apa. Mulutku serasa terkunci oleh pemandangan ini. Sawah yang membentang luas ditumbuhi padi-padi hijau seperti bersedia menjadi beranda gunung yang pernah muntah itu. Indah nian pemandangan ini. Aku hanya bergidik miris.

Sampailah kami di tempat tujuan, desa Tegal Randu. Di sepanjang jalan, rumah-rumah penduduk sudah terhias janur kuning melengkung, ketupat, dan sampah-sampah plastik yang digantung di pagar-pagar. Awalnya kami ragu bahwa di tempat ini kita akan pameran, sebab kami adalah peserta pertama yang berkeliaran di sekitar lapangan Klakah.

Kami langsung menghubungi panitia untuk bertanya: betulkah di sini tempat pameran Maulid hijau? Kedua panitia yang kesemuanya perempuan itu mengangguk dengan sedikit senyum. Aku senang. Rupanya penduduk tempat ini ramah-ramah. Kami diantar ke tempat stand di depan sebuah bangunan tua yang ternyata bangunan itu adalah hotel untuk kami bermalam.

Teman-teman mulai menghias stand yang berukuran 2x2 meter itu. Aku ingin sekali stand kami juga dihias oleh janur kuning agar tampak bahwa kami juga merayakan Maulid Hijau. Karena tak membawa hiasan hidup akhirnya aku dan Nujaimah, sahabat sekaligus familiku yang juga ikut, ditugas untuk mencari cara bagaimana stand kami dapat terhias bagus. Aku dan Nu langsung bergegas menuju rumah penduduk. Kami memang selalu kompak dari sejak kecil. Walau terkadang kami selalu bercekcok mulut mengenai pemikiran yang tak selaras. Ia selalu mengalah, karena aku tak mau mengalah. Aku sayang kepadanya layaknya saudara kandung.

Kami menyusuri jalan kecil di sekitar taman itu untuk menuju jalan raya.

“Danau!” teriak Nu menunjuk ke arah timur.

“………” aku tak menjawab, hanya meresponnya dengan tolehan kepala.

“Innallaha jamilun…” ungkapnya sembari mengikat mata pada danau bening yang dikelilingi pepohonan hijau yang ia tunjuk. Tepat di ujung timur sana, tampak sebuah gunung membubung dengan asap mengepul dipuncaknya menjadi backgroud. Tempat ini seperti lukisan dalam kelas kami semasa MTs dulu. Tempat ini juga mengingatkanku pada cerita dalam film “Gitar Tua” yang di bintangi oleh Roma Irama, karena tempat ini bernuansa kuno namun begitu memikat.

Sejenak kami tak bersuara. Mungkin temanku itu juga sedang berkhayal sesuatu. Dasar! Kami berdua memang suka berimajinasi. Penyakit ini sampai-sampai membuat kami bermimpi membintangi film persahabatan yang diangkat dari sebuah buku berjudul “The Kite Runner” karya Khaled Hosseini. Padahal kami sama-sama tahu kalau pemain dalam film itu adalah laki-laki bukan perempuan. Ah! Kadang kami memang suka gila.

Nu mengajakku untuk meminta janur ke salah-satu rumah penduduk. Menggunakan bahasa polos dan lugu kami meminta janur dengan alasan kami bersal dari jauh dan ikut pameran. Lalu diembel-embeli dengan keinginan kami menghias stand menggunakan janur kuning. Namun ternyata permohonan kami tak terkabul. Penghuni rumah yang kami kunjungi itu menjawab bahwa ia punya pohon kelapa, tapi tak ada yang bisa naik saat gerimis seperti saat itu. Katanya takut jatuh, karena pohon kelapanya licin. Pulanglah kami dengan tangan hampa dan rasa kecewa.

Semangat kami tak putus sampai di situ. Kami tetap berusaha bagaimana kami bisa mendapat janur dan tumbuhan liar sebagai bahan untuk menghias stand. Usaha kedua kami lakukan. Sekarang giliranku yang menarik lengan Nu untuk menuju warung di pinggir jalan. Kami bertanya kepada seorang perempuan muda yang kira-kira berumur 30 tahunan di sana.
“Numpang tanya boleh, Mbak?” kata Nu membuka percakapan.

“Tentu boleh, Dik. Adik dari mana?” jawabnya sembari membuka pertanyaan baru.
“Begini Mbak. Kami ini dari Sumenep Madura, mau ikut pameran ke sini. Kami sekarang lagi butuh janur. Kira-kira di mana ya Mbak kita bisa dapat janur?” sekarang giliranku yang bicara.

“Saya punya janur, Dik. Tapi terlalu tua. Kalau sebagai hiasan saya rasa tidak bagus. Apa adik mau?” tawarnya.

“Ya, Mbak, kami mau,” putus Nu.

“Kalau yang kuning gak ada ya, Mbak?” kilahku meminta yang lebih baik. Nu mengerlingkan matanya ke arahku. Aku takut.

“Atau begini saja, adik berdua ini bisa pergi ke rumah penduduk yang punya banyak pohon kelapa. Adik bisa minta janur di sana. Rumah itu adalah milik seseorang yang punya acara ini. Dia pasti bisa bantu kalian. Bagaimana?” katanya memberi solusi.

“Baiklah! Terima kasih, Mbak. Mari…” kami berujar kompak.

Seperti mobil yang punya stok bensin penuh, kami tak merasa lelah sedikitpun untuk melangkah. Kami menyusuri jalan ke arah timur. Halaman pemilik rumah yang ditunjukkan Mbak tadi rimbun oleh rerumput hijau. Sejuk sekali tempat ini. Aku tolah-toleh ke arah sekitar untuk memperhatikan secara detail halaman panjang itu. Ada spanduk bertuliskan “POSKO PANITIA”. Rupanya tempat ini adalah posko panitia acara Maulid Hijau ini. Lalu kami melontarkan salam lembut setelah sampai di ambang pintu.

“Waalaikumsalam. Masuk, Nak! Tak usah takut,” jawab sebuah suara tua bersahaja. Terdengar nada kasih sayang dari suara lembut dan ramah itu. Maka kami memilih untuk masuk saja ke dalam ruangan.

Di dalam, tampak seorang setengah baya menginjak renta sedang duduk santai menikmati secangkir teh bersama seoarang lelaki gemuk di sampingnya. Kami dipersilahkan duduk. Beliau langsung bertanya siapa kami. Seperti biasa kami menjawab dengan polos dan lugu. Sebelum mengutarakan maksud, kakek tua itu meperkenalkan diri.

“Nyamanah guleh nikah Matruki. Tape oreng benyya’ ngolok guleh Ke Celleng,” tuturnya membuat kami terkejut karena beliau ternyata bisa berbahasa maduara.

“……..”

“Ta’ osa takerjet, Nak! Sengko’ reng Madura. Padeh ben be’en. Sengko’ dari Pamekasan,” jawab Mbak Matruki. Mungkin beliau mengerti kami sedang heran.

Setelah kami mengutarakan maksud, beliau langsung memberikan jawaban yang membuat kami tersenyum-senyum. Beliau mempersilakan kami untuk mengambil janur kuning di depan rumahnya. Namun sebelum kami beranjak pergi, kami melihat Bu Mus’idah dan Mbak Iklilah dari dalam kaca hitam yang transparan dari dalam ruangan. Ternyata Ibu Mus dan Mbak Iklilah juga ke rumah ini. Ibu tersesenyum setelah melihat kami berada di situ. Ibu langsung melapor kalau kami adalah dua muridnya. Jadilah kami berbincang-bincang panjang ditemani secangkir teh hangat.

Mbah Matruki ternyata adalah mantan Kepala Desa Tegal Randu. Beliau bercerita sekilas tentang Laskar Hijau. Beliau juga menuturkan bahwa Laskar Hijau adalah komunitas yang lahir pada tahun 2006 atas inisiatif K. Abdullah al-Kudus dan didasari atas kepedulian terhadap lingkungan. Penutup dari perbincangan kali itu adalah semangat untuk hijaukan alam. Beliau berkisah tentang masa lalunya yang penuh perjuangan untuk menghijaukan desa Tegal Randu. Aku, atau siapapun memang perlu meniru jejak Mbah Matruki yang setiap hari mewajibkan diri untuk menanam pohon. Setidaknya kita tak lupa, meski hanya sehari saja kita sumbangkan satu pohon untuk melebatkan rambut alam. Sungguh mulia pekerjaan itu. Apakah aku juga bisa? Semoga saja. Kami berempat beranjak dari rumah Mbah Matruki dengan membawa semangat dan rasa iri. Juga janur kuning dan rumput liar memanjang yang menjadi saksi atas perasaan kami.

Selama proses menghias stand kami bekerja sangat kompak dengan suasana yang sangat cair dan pernuh tawa. Sesekali aku melawak dengan versiku. Entah lucu atau tidak. Tapi yang jelas mereka semua sepertinya senang. Aku juga senang. Saat sampai pada proses menghias pintu stand dengan janur kuning, aku dan yang lain merasa kebingungan. Jujur saja, baru kali ini aku berhadapan dengan janur dalam wajah hiasan pintu. Bersama rasa bingung itu, Tuhan kirimkan seorang kakek tua kepada kami. Namanya Harryadjie BS. Kami memanggilnya Mbah saja. Selain beliau memang sudah tua, juga agar lebih dekat.

Mbah Harryadji yang merupakan seniman nasional kebetulan mempunyai stand “loka karya pembuatan topeng dari bahan organik” yang bersebelahan dengan stand kami. Pas di samping kiri stand PSG. Mbah ajarkan kami menyulap janur kuning menjadi hiasan yang sangat indah. Seperti hiasan perayaan hari raya kuningan di Bali. Habis itu beliau ajarkan kami membuat burung-burungan masih tetap dengan bahan janur tersebut. Aku dsan yang lain merasaay bersyukur dapat bertemu dengan beliau.

Usai menyulap stand menjadi ‘pesta hutan’ (hiasan yang serba-serbi dari rumput liar dengan janur kuning di ambang pintu), kami bergegas menuju lapangan untuk mengikuti pembukaan acara Mauli Hijau. Di sana, tampak penduduk berbondong-bondong mengelilingi lapangan. Dari yang tua sampai yang anak-anak membaur di sana. Sejenak kemudian, tepuk tangan meriah menyemarakkan suasana saat pembukaan resmi acara tersebut di tandai dengan 3 tabuhan gong dan pelepasan seribu burung merpati oleh bapak wali kota Lumajang. Lalu pasukan drum band mengiringi burung-burung merpati yang terbang bebas itu. Halaman kini ramai oleh suara-suara drum yang dimainakan oleh pasukan berseragam biru. Para anak-anak kecil bersorak gembira.

Malam tiba. Kami ditawari untuk menginap di hotel Klakah, tepat di depan stand kami. Kamar nomor satu yang terletak di deret paling timur. Bangunan sederhana berisi springbad, sebuah lemari kayu dan kamar mandi berukuran sempit. Sebenarnya kami menolak bermalam di sana dengan alasan kami akan dijemput oleh keluarga Mbak Iklilah. Namun karena panitia penuh rasa tulus menyilakan kami tidur di sana, akhirnya kami mau dan Ibu Mus segera menghubungi Mbak Iklilah untuk menggagalkan penjemputan.

Sementara yang lain mandi, aku, Nu, dan Khoy kebagian menjaga stand. Hingga pad akhirnya yang lain selesai mandi dan shalat. Kini sampailah pada giliranku, Nu, dan Khoy untuk menyegarkan badan. Namun kami amat kecewa setelah tahu kalau ternyata air di bak mandi telah terkuras habis. Kran air mati. Aku tambah kesal. Tapi aha! Aku punya ide. Kuajak Nu dan Khoy untuk mandi di rumah Mbah Matruki. Beliau amat baik, pasti memberi kami tumpangan mandi.

Sempat kami merasa takut karena melewati jalanan yang petang. Kami merasa asing di tempat ini, meski kami tahu di sini banyak orang Madura. Rasa takut yang kami rasakan tiba-tiba hilang saat kami melihat sesosok yang kami kenal. Mbah Matruki melambai santai dari arah selatan. Kami menghampiri beliau lalu berkeluh-kesah tentang air yang telah skarat dan akhirnya kami mengutarakan maksud inti: minta izin untuk mandi di rumah beliau. Dengan senang hati beliau menyilakan kami untuk numpang mandi.

Sungguh aku tak kerasan berada di tempat ini saat malam hari. Rasanya aku ingin melayang ke Tambuko, desa tempatku lahir, tapi Nu dan Khoy menguatkanku untuk kerasan berada di tempat ini. Dan aku bisa menerima. Nu dan Khoy tersenyum melihat penyakitku kambuh: merengek seperti anak kecil. Aku jadi malu pada mereka.

Aku membuka mata menyambut hari kedua di desa Tegal Randu. Kami tetap merasa bingung, bagaimana kami bisa mendapat air untuk mandi. Kami mencoba berjalan menyusuri tepian danau. Bermaksud untuk mandi atau sekedar cuci muka di ranu (danau) Klakah. Namun kami mengurungkan niat saat tahu tak ada tempat untuk kami mandi. Tempat itu terbuka dan kami tak mau mandi di tempat terbuka. Akhirnya niat untuk mandi kami kubur. Semua berlalu dan melangkah untuk kembali ke kamar.

Sementara yang lain cuci muka dan menggosok gigi menggunakan air kemasan, aku dan Nu memilih berkeliling ke rumah penduduk. Aku tak biasa menahan nafsu untuk mandi di waktu pagi. Rasanya badan tak sanggup beraktivitas jika tak didahului dengan mandi. Aku dan Nu memang selalu beruntung. Itu terbukti, saat kami berdua dapat tumpangan mandi di rumah penduduk. Bukan rumah Mbah Matruki lagi, tapi di rumah seorang perempuan yang mengaku juga berasal dari kota Pamekasan. Kami bersegera mandi dan cepat-cepat kemabali ke stand. Saat kami tiba, stand telah tertata rapi. Yang lain melirik iri ke arah kami. Kami berdua berlagak sombong. Lalu tawa meledak begitu saja.

Hari kedua, pengunjung lumayan banyak. Selain penduduk dan seniman-seniman yang berkunjung ke stand PSG, panitia juga tampak berkeliaran. Kami tak hanya menjaga, tapi kami juga sedikit berkampanye tentang lingkungan. Ada sebagian pengunjung yang memberi masukan untuk PSG. Kami merasa senang sekali karena rupanya masih ada orang yang peduli dengan kami. Masukan itu kami umpamakan sebagai guru. Jadi kami beruntung bila mendapatkan guru baru.

Setelah beberapa pengunjung beranjak dari stand kami, kami lalu berkunjung ke stand Mbah Harryadjie. Di situ kami diajari bagaimana membuat topeng dari bahan organik. Saat proses belajar membuat topeng aku jadi bergumam benci pada diriku sendiri yang tak dapat memfungsikan bahan yang dianggap tak berguna bagi orang lain. Mbah dapat membuat topeng penuh seni dari pelepah pohon kelapa, pelepah pohon palem, batok kelapa, dan kulit buah-buhan. Aku berjanji pada Mbah, setelah sampai di sekolah akan mengajak teman-teman untuk dapat membuat topeng juga. Mbah senang dengan pernyataanku. Beliau menyilakan kami untuk menggunakan bahan-bahan yang beliau punya untuk kami berkreasi. Dengan telaten beliau mengajari kami hingga kami bisa.

Malam ini kami memilih untuk tidak tinggal di hotel lagi. Ternyata bukan cuma aku sendiri yang merasa tidak kerasan. Kami semua sama tidak kerasan. Kami pulang ke Embong Kembar dengan mengendarai mobil Adi Putra berwarna merah cerah milik Mbak Iklilah sekitar pukul 22:00 WIB. Selama perjalanan aku tertidur. Mataku tak kuat menahan kantuk. Aku tidak menikmati perjalanan. Aku tersadar ketika telah sampai di rumah Mbak Iik. Aku melangkah gontai menuju kamar. Tapi aku tidak lupa untuk mencuci muka sebelum tidur.

Hari ketiga, aku berkesempatan melihat gunung semeru lagi. Namun aku tak jua bosan. Mungkin karena tubuhnya begitu memikat dan aku terlanjur cinta. Ah cinta, apakah betul gunung semeru adalah cinta pertamaku?

Setelah sarapan, kami bersiap untuk berangkat ke Klakah lagi. Sesampainya di sana kami menata barang-barang. Seperti biasa, pengunjung ramai lagi. Kami semua sibuk menyambut. Ada yang presentasi, ada yang sibuk memotret, dan ada pulan yang sibu tersenyum melihat banyaknya pengunjung.

Pada hari ketiga ini aku dah Ibu Mus’idah diajak Mbah Harryadjie untuk mendaki gunung Lemongan. Kebetulan Mbak Fitri, salah-satu pelukis muda terkemuka di Indonesia ingin sekali berkunjung ke rumah Mbah Tjitra, sahabat sekaligus asisten Soekarno yang kini berumur 108 dan bertempat tinggal di perut gunung Lemongan. Kukira kami akan jalan kaki, tapi ternyata kami diajak mengendari mobil milik Direktur kereta api, aku sudah lupa siapa namanya. Tapi yang jelas beliau ramah kepada kami.

Sesampainya di rumah Mbah Tjitra kami berpose bersama. aku kagum memandangi rumah beliau yang di seluruh tembok di tempeli oleh suatu benda berwarna hijau. Benda itu pernah kulihat saat bapakku memperbaiki TV rumah. Bahan itu sepertinya adalah bahan dasar televisi yang ada di dalam TV. Entah apa, aku juga tak tahu namanya.

Pagi menjelang siang, kami diajak berkeliling gunung. Mendaki Lemongan untuk menuju sebuah tempat, yang kata Mbah Harryadjie adalah tempat rebuatan orang-orang untuk menyaksikan indahnya langit senja. Aku berlari mendaki gunung. Selama perjalanan Mbah Harryadjie bercerita tentang mimpi Laskar Hijua. Katanya mereka punya mimpi menjadikan gunung Lemongan sebagai hutan buah. Setiap hari komunitas Laskar Hijau rajin menam pohon atau biji buah-buahan di perut gunung. Hingga kini banyak pohon-pohon yang menjulang tinggi di tempat itu.

Dari kejauhan aku dapat melihat pohon pisang tumbuh berjejer teratur. Kata Mbah, ada seribu pohon durian yang telah berhasil ditanam dan tumbuh di tempat itu. Katanya lagi, itu bukan untuk komunitas Laskar Hijau tapi untuk anak cucu di masa yang akan datang. Sungguh aku merasa gemas membayangkan betapa anak-anak generasai Lumajang akan senang dengan sesuatu yang ditinggalkan oleh nenek moyang mereka. Meski sepertinya hutan buah hanya di dunia dongeng, tapi kini aku dapat berkunjung lansung ke dunia dongeng itu. Senangnya dapat dikelilingi buah-buah segar di tengah hutan. Aku membayangkan bisa memetik pisang, apel, jeruk, manggis dan mangga yang sangat banyak. Ini bukan sekedar mimpi yang usai ketika kita terjaga. Tapi ini nyata adanya.

Sesampainya di tempat yang diceritakan Mbah, bestcam Laskar Hijau, aku tak dapat berkata-kata lagi. Hanya rasa takjub memandangi alam yang begitu luas tak bertara. Gunung semeru tampak amat kecil seperti telah berhasil aku taklukkan di bawah kakiku. Gunung Lemongan begitu gagah di depan mataku. Kami berfoto sendiri-sendiri sebelum berpose bersama. Aku berlaga di ketinggian. Lalu kembali menunduk ke bawah. Menyaksikan indahnya alam. Larva berwarna hitam tampak sangat jelas berada di bawah. Mungkin sisa letusan gunung Lemongan tempo dulu. Bunga-bunga tebu berwarna putih tampak lembut bergoyang-goyang diterpa angin siang.

Rasa takjub ini membuat air mataku mengalir. Sebenarnya air mata ini bukan inginku, tapi ia memaksa turun menerobos melewati dinding retina mataku. Diam-diam aku mengusapnya. Aku malu kalau ketahuan sedang menangis. Berkali-kali kuucapkan: subhanallah. Setelah itu, aku berpikir tentang keagungan Allah. Lalu aku merasa seperti selembar sampah yang tak berguna bila sisa hidupku tak aku gunakan untuk hal yang bermanfaat.

Waktu berjalan begitu cepat di tempat itu. Tak terasa, cukup lama kami berada di situ. Tapi bagiku hanya seperti mengedipkan mata dari saking asyiknya memandangi laut-laut yang terbentang indah dari ketinggian. Kini tibalah saatnya kami kembali ke stand. Berat rasanya meninggalkan gunung Lemongan ini. Namun sebelum aku beranjak aku berbisik di telinga gunung: “Aku ingin membangun gubuk sederhana di sini, suatu saat. Boleh?” gumamku lirih. Tak ada jawaban. Tapi aku yakin tempat itu mengerti betapa aku menyukainya.

Sore ini ada acara arak-arakan dan selamatan desa. Namun sebelum acara itu dimulai, aku dan ketujuh teman PSG yang lainnya diajak ke café Laskar Hijau oleh Mbah Harryadje. Mbah Harryadjie itu bukan sekedar peserta yang juga ikut acara pameran. Tapi beliau adalah salah-satu panitia yang banyak membantu kami.

Acara selamatan desa telah dimulai. Tampak para seniman berkarnaval menampilkan teater. Lalu di ikuti oleh para anggota Laskar Hijau yang siap menghanyutkan kue tumpeng ke atas danau. Kue itu berada dalam sebuah rumah-rumahan yang terbuat dari janur kuning. Mungkin sebagian orang berpendapat bahwa perkerjaan seperti itu hukumnya haram. Tapi mereka harus menarik perkataan mereka sebelum tahu arti yang sesungguhnya.

Yang sebenarnya tradisi seperti itu dilakukan agar masyarakat memiliki kepedulian terhadap danau dan lingkungan desa Tegal Randu. Alasan yang kedua adalah, berawal dari ranu Klakah yang hampir di akui oleh pemerintah sebagai wisata yang sepenuhnya menjadi hak pemerintah. Penduduk tak diberi sepeserpun dana untuk pembangunan desa oleh pemerintah. Akhirnya penduduk desa Tegal Randu berusaha merebut kembali danau dan hotel Klakah untuk dilestarikan sebagai milik desa, bukan pemerintah. Itulah alasan yang menempatkan apa menjadi adanya.

Malam menjelang. Kami dijemput untuk pulang ke Embong kembar lagi. Sampai kami merasa malu karena merepotkan keluarga Mbak Iik. Sesampainya di sana kami disambut oleh mangkok-mangkok berisi bakso. Rupanya kedatangan kami ke Embong Kembar untuk kali kesekian ini telah dipersiapkan oleh Mak Siyah. Kami menikmati hidangan di depan TV. Kebetulan malam itu ada film India berjudul “Krish” serial lanjutan “Koi Mil Gaya” kesukaanku di stasiun TV Indosiar. Kami nonton bersama. Baru setelah film itu usai, kami bergegas ke dalam kamar untuk tidur.

Hari keempat berjalan seperti biasa. Tapi kali ini adalah hari terakhir. Nanti malam acara penutupannya. Kami menikmati ranu Klakah untuk yang terakhir kalinya. Kami berfoto-foto untuk yang kesekian. Klik lagi dan lagi.

Pada hari ini aku bertemu dengan Pak Agung. Pelukis yang berasal dari Sidoarjo dan mempunyai indra keenam. Menurut cerita dari beberapa penduduk, beliau telah melukis lumpur lapindo 6 bulan sebelum lumpur itu meledak. Pak agung adalah pelukis yang dapat merasakan sesuatu sebelum kejadian itu benar-benar terjadi. Beliau dengan senang hati melukis wajah kami. Namun hanya aku dan Iir yang dilukis. Yang lain sudah tak punya waktu. Usai dilukis kami berpose bersama di ruangan yang disebut sebagai aula pameran seni rupa. Sebelum pulang aku diberi lukisan ranu Klakah oleh Bapak agung. Dengan alasan, aku adalah pemecah recor dialog bersamanya selama satu hari. Aku senang sekali dapat membawa lukisannya ke Madura.

Maugrib tiba. Kami siap berkemas untuk pulang ke Embong Kembar sebelum pulang ke Sumenep. Acara penutupan akan dilaksanakan selepas isyak. Acara penutupan tersebut dimeriahkan oleh Syukkur, pelawak yang memang sering kali meluncurkan aksi lewat kaset VCD. Aku suka Syukkur, tapi kami tak menuntaskan acara penutupan sehingga kami tak sempat menyaksikan aksi lawaknya. Kami hanya menonton hadrah, penampilan pemuda desa Tegal Randu. Suara mereka terdengar syahdu merdu. Ditambah dengan pakaian serba putih. Sepertinya pemuda-pemuda itu telah berhasil mengundang Rasulullah ke tempat ini. Bulu kuduku berdiri tegang.
Para pemuda yang menabuh rebana itu turun. Kami bergegas ke depan kamar. Di sana ada Gus Aa’ Abdullah, Lora Idi (Kiai dari desa Karduluk yang juga berkunjung ke tempat ini), dan Mbah Matruki. Mereka telah siap melepas kepulangan kami. Semua barang-barang kami angkut ke atas mobil penghantar dari panitia yang telah menunggu kami. Namun sebelum beranjak kami berpose bersama dan bercurah tentang kesenangan kami berkunjung ke tempat ini kepada Mbah Matruki. Beliau hanya tersenyum-senyum.

Sekitar jam 19.00 WIB mobil kami melaju meninggalkan ranu Klakah. Kami berlalu meninggalkan tempat itu dengan membawa jutaaan kenangan dan banyak pengetahuan yang nantinya akan kami ceritakan pada teman-teman di sekolah. Aku tanamkan janji pada angin malam itu tentang kewajibanku untuk menceritakan pengalaman ini.


Guluk-Guluk, 20 Mei 2010

07 Juni 2010

Permen dari Pulsa yang Hangus

Di dering ketiga tanda sms masuk, aku akan menari
seperti sekawanan semut merah membawa gula merah.
Pada detik kesepuluh kita akan sama-sama tahu bahwa rasa kita
laksana suara kenalpot yang meletup-letup.

Huruf dan angka yang menyala-nyala, persis cahaya memar
dalam lipatan daging yang terhantam batu.
Cahaya itu sebenarnya adalah isyarat bahwa;
rindu, cinta, dan hujan merupakan siklus yang berkepanjangan
dan tak kan pernah usai.

Di tanganku, tiba-tiba ada beberapa permen gula-gula.
Entah itu dari mana dan akan kubagi dengan siapa.
Sementara,
Sebentar lagi pulsaku hangus.
Aku takut bila tak sempat berbagi manis dengannya.
Ah! Tapi kata si Kecil aku tak boleh menjadi penakut.
Lalu bagaiman caranya agar aku dapat menunjukkan permenku
saat tuts dan layar handphone sudah tak berguna?

“Apakah engkau ingin permen-permen ini?” tak ada jawaban.

Pulsa benar-benar telah hangus, tapi denyut inginku semakin akut.
Di dering ketiga sms yang kedua aku mulai gila dan menemukan mantra baru:
“Rasaku tak kan habis hanya sampai di ujung pulsa.”



Ruang rindu,
Tambuko, 02 Juni 2010

Perempuan Ambigu

Setumpuk tahu isi berceloteh. Seorang lelaki
Sore itu jalanan membagi waris, katanya.
Separuh untukmu, separuh untuknya
Lalu sekelebat perempuan menyela kata pada senar cello
“Aku memang telah menempuh ribuan kilo meter untuk
membujuk jalan agar terbelah.”
Sesosok itu mengaku diriku
Aku ambigu

Lelaki itu mematung pada garis senyum
Perempuan itu menyeret jarak, seolah lupa
kalau mereka pernah kenal
Di jalanan, aspal berubah merah
Menjadi latar dua pasang mata

Sayang,
Suara deru sepeda motor tergesa
Adalah irama potongan adegan terakhir
Dari fragmen drama spontanitas, kali itu
Aku hanya tertunduk

Di jalanan sisa bensin tumpah dalam genangan air
tersiram cahaya lampu neon
Jalanan yang basah
“Hey! Ada pelangi di malam hari,” kata tahu isi sambil menunjuk
Aku sekali lagi ambigu


Tambuko, 22 Mei 2010