03 Mei 2010

Telettubies dalam Balutan Putih Abu-Abu

Lewatlah sudah titik kedelapan belas perjalananku. Tepatnya Senin kedua bulan April lalu. Semua berlalu begitu cepat. Masa-masa TK, SD, MTs, dan kini aku akan menaggalkan seragam putih abu-abuku. Rasanya mustahil. Baru kemarin aku menghirup angin SMA, sekarang aku sudah harus bersiap-siap untuk berkenalan dengan angin baru.

Seminggu terakhir ini, aku susah berkata-kata, merangkai aksara menjadi puisi, malas berdiskusi, atau sekedar berkumpul melepas tawa bersama kawan-kawan. Hanya air mata kegetiran yang terus ngalir bersama suara-suara mereka. Hanya itu. Tak ada yang lain.

Otot-ototku semakin terasa lemah, saat aku sadari umurku di SMA semakin berlengkesa terbawa waktu. Saat aku mengingat masa-masa indah oragnisasi di sekolah bersama Ibu Mus’idah, Nu Jaim, Iroel, Izul, Ulfa, dan kawan-kawan seorganisasi lainnya. Saat aku sadar aku tak kan lagi mendengar suara Pak Nasir di kala pagi memanggil seluruh siswa untuk masuk kelas dan berdo’a menggunakan pengeras suara.

Aku akan rindu pada semua fragmen kisahku di SMA. Juga pada sudut-sudur tempat favoritku: markas PSG (Pemulung Sampah Gaul), gang di belakang kelas, dan pohon asam yang rindang di depan perpustakaan. Terlebih saat aku tersadar bahwa aku akan ditinggal pergi oleh sekawanan Telettubiesku. Aku tak kan lagi merasakan pelukan hangat mereka: tingkah aneh Izul si Tingky Wingky, tawa Iroel si Lala, dan teriakan semangat Nu Jaim si merah Poo.

Hanya Dipsy sendirian yang melinangkan bulir-bulir putih dan bening. Sesuatu yang basah dan terasa saat ia mengusap pipinya dengna punggung tangannya. Hanya Dipsy yang merasakan hatinya terkikis oleh belati yang tajam. Hanya Dipsy yang merasakan air matanya terus mengalir melewati selokan-selokan, parit, sungai, dan akhirnya menyatu bersama karang dan pasir di lautan. Suara tangis itu amat keras dalam duninya, karena ia sadar tak kan ada lagi frekuensi Telettubies putih abu-abu. Lalu ia terjatuh di tepian ruang seraya menopang dagu dengan tungkai bawahnya.

Ia membisu dari waktu ke waktu. Namun matanya isyaratkan teriak: kawan, apa kau mendengar tangisku?


Gubuk Cerita
Guluk-Guluk, 01 Mei 2010