26 Maret 2010

Martabak Rindu di Malam Bercakap

Sekiranya kau menyimak kembali catatan tercecer dalam kerlip lampu pasar malam lalu. Enam sekawan menukar uang dengan karcis untuk masuk rumah hantu tak berhantu. Lalu tawa, lalu canda, lalu kuda-kudaan berputar-putar.

Setidaknya kau bisa melanjutkan percakapan, kalau saja tidak kau lupakan malam itu. Dering handpone, panggilan tak terjawab, SMS masuk, dan pulsa-pulsa yang berdansa. Kalau saja. Tapi mungkin kau lupa. Ah! Sudahlah.

Sepertinya malam itu kau tahu betapa mudahnya martabak itu dibuat. Pijat-pijat bola pimpong tepung, pecahkan telur dalam gelas karet berisi bawang, kocok-kocok, goreng dalam genangan minyak yang meletik-letik. Lalu kau gigit pinggir martabak dalam lumatan rindu. Sendiri.

Semestinya kau mengajak kami untuk makan bersama-sama. Bernyanyi di beranda, melihat bintang-bintang, tertawa, atau mungkin puisi. Sementara kau tak pernah tahu bagaimana persahabatan itu seharusnya dinikmati seperti mengunyah sepotong martabak sambil menggigit cabai.



Guluk-Guluk, 25 Maret 2010

20 Maret 2010

Perkenalkan; Namaku Apa?

Enam tahun seperti tak terasa. Aku beranjak dewasa dalam status anak titipan di desa yang bukan tempat kelahiranku. Aku berkutat dengan berbagai aktivitas: pengajian, sekolah diniyah, sekolah formal, mencuci di kali, dan bergurau bersama kawan. Tanpa bosan kutelusuri rutinitas ini sepanjang enam tahun.

Enam tahun seperti tak terasa. Pertengahan musim hujan yang sama. Embun-embun menetes dari pucuk daun mangga di depan gubuk, langit sore yang memesona dengan semburat pelangi usai gerimis, suara air berkejar-kejaran, dan bulan temaram di balik daun-daun jati. Sungguh keelokan Karang Jati telah membuatku terkapar pada kalimat subhanallah.

Enam tahun seperti tak terasa. Bapak dan Ibu menyambangiku setiap minggu. Berkumpul di tempat yang sama–––ruang tunggu di balik gubuk kantor. Mereka berkunjung untuk sekedar membawakanku serantang nasi dan lauk-pauk, menanyakan keaadaanku, serta mereka sempatkan bercerita tentang keaadaan sanak famili di rumah yang tak bisa ikut berkunjung. Tanpa keluh mereka jadikan ini sebagai rutinitas wajib.

Enam Tahun seperti tak terasa. Perjalananku ramai tapi kurasa kosong. Enam tahun lamanya dari tahun 2004 lalu aku diperintah untuk mencari jati diriku. Tapi sampai saat ini aku masih bingung bagaimana caranya untuk melihat diriku dari luar atmosfer. Aku tak tahu bagaimana cara mengeppakkan sayap dan cara terbang yang baik. Hingga sampai detik ini aku tak tahu arti diriku. Kawan bila kau tahu caranya, maka ajarila aku!



Guluk-Guluk, 20 Maret 2010.

18 Maret 2010

Korket Hangat Menyambut Pagi

Pada sebuah pagi dini di bulan Maret, semerbak wewangi bunga-bunga menusuk hidung. Tambuko tampak riang menyaksikan angin yang asyik bersenda gurau bersama burung-burung. Sesekali angin yang berdesir-desir itu mengendap-endap masuk ke rumahku melewati jendela untuk meniup tubuhku yang terbungkus mukenah.

Aku merasa pagi juga ingin bermain-main denganku. Maka untuk sebuah permintaan yang tulus aku lekas membuka mukenah dan beranjak mengajak nenek untuk lari pagi. Nenek mengabulkan permintaanku.

Aku dan nenek menyusuri jalan panjang yang tak berujung. Menikmati indahnya butir-butir air yang berlindung di ujung daun padi. Sisa-sisa gerimis semalam ternyata telah menitik dalam embun tipis pada rumput-rumput hijau. Kami juga terlena oleh suara air yang mengalir dari parit di tepi jalan. Mereka terasa menyapa pagi yang bersahaja.

Rumah-rumah tampak kabur terselimuti kabut putih yang begitu tebal. Hingga orang-orang yang berlalu di kejauhan tak dapat dikenali. Setelah orang-orang itu berpapasan secara jarak dekat, barulah aku tahu kalau mereka adalah pedagang keliling di pagi hari.

Para penjual itu adalah pahlawan pagi. Mereka menawarkan dagangan berupa: kalepon cettot, peslopes, anak ayam, korket, dan leppet sebagai penawar rasa pahit mulut sisa-sisa mimpi semalam. Berpapasan dengan mereka membuatku membayangkan betapa nikmatnya korket hangat bila dicelup pada sambal pedas.

Di antara para penjual itu, ada yang ku kenal. Nyi Hatip namanya. Sejak kecil aku memang sudah terbiasa menunggunya di beranda rumah. Ketika ia datang dengan nampan di atas kepala, aku memanggilnya. Sementara ia menunggu, aku bergegas menuju ibu yang masih berada di atas sajadah. Kutengadahkan tangan. Lalu ibu memberiku uang recehan sebesar Rp 500,-. Saat itu korket seharga Rp 100,- jadi aku bisa mendapatkan lima buah korket.

Nyi Hatip memberiku 7 buah korket dibungkus plastik. Aku langsung menerimanya begitu saja karena aku belum mendengar isu tentang lingkungan. Yang sebenarnya bila kutahu dari dulu tentang bahaya sampah plastik, niscaya aku akan menerimanya menggunakan dua tanganku saja. Akhirnya aku hanya tertawa girang menerima bonus dua korket dari Nyi Hatip.

Aku menyudahi penyesalanku di masa kecil yang tak pernah dididik untuk tahu dari mana dan akan ke mana sampah-sampah itu. Kini aku sudah besar. Aku harus tanamkan tekad kuat untuk menjadi pahlawan alam.

Cukup lama aku berjalan-jalan kembali ke masa kecil. Aku sampai lupa kalau di sampingku ada nenek. Ia tampak serius. Aku menoleh dan memperhatikan bentuk wajahnya yang bulat. Beberapa garis di jidat dan satu tarikan kendor di pipi kanan dan kirinya membuatnya tampak sangat tua. Namun aku tak bisa memungkiri bahwa ia adalah gadis yang amat ayu di masa mudanya. Itu tampak dari hidung mancung dan bibirnya yang bergaris sensual.

Sayang aku tak mirip dengannya. Sementara sepupu-sepupuku banyak yang mirip. Tapi inilah takdir Tuhan: menciptakan seorang Ummul yang berwajah pas-pasan. Aku cukup bersyukur atas karunia yang amat indah ini, sebab beruntunglah aku yang tidak ditakdirkan menjadi perempuan cacat atau idiot. Aku hanya berharap semoga suatu saat nanti ada seseorang pangeran Wortel yang mencintaiku tanpa syarat. Ah! Aku jadi malu berbicara tentang cinta.

Rupanya tatapanku yang tak sebentar itu membuat nenenk tersadar. Karena aku takut ia bertanya sesuatu, maka aku berpura-pura mengambil bulu matanya yang jatuh di pipinya.
“Kakek merindukanmu di alam sana, Nek. Nih bulu mata nenek jatuh,” kataku meyakinkan.
“……”
“Nenek, sebenarnya aku ingin tahu wajah kakek.”
“Sebuah foto saja nenek tak punya. Ia sudah pergi saat kau berada dalam goa ibumu. Waktu itu umurmu baru 4 bulan,” jelas nenek.
Kini giliranku yang diam.
“Nenek juga merindukannya,” ungkap nenek, jujur.
“Aku mengerti,” sambungku pelan.

Aku berujar layaknya orang dewasa. Padaha kata orang aku masih bau kencur. Tapi untuk masalah ini aku mengerti bagaimana rindu nenek bergerak, sebab pada uratnya yang berbisik aku dapat merasakan sebuah kerinduan mendalam. Kami menunduk tanpa suara beberapa saat.

Tiba-tiba saja dari korket menuju rindu. Aku sadar sepenuhnya bahwa pagi ini aku benar-benar memanjakan lamun. Beberapa kisah tentang masa lalu telah selesai kuputar.

Perjalanku pagi ini cukup panjang. Bersama nenek telah ku habiskan embun yang mesra dan bersahaja. Nenek mengajak pulang. Kami berlalu bersama kabut yang terbunuh oleh jarum cahaya surya. Aku bersiap menyambut pagi dengan korket hangat Nyi Hatip.




Tambuko, 03 Maret 2010

17 Maret 2010

Mengintip Setan Bermain

Jam 01:23 WIB.

Malam di bulan Februari, untuk alasan yang tidak diketahui, mataku sulit mengatup. Suara angin mendesau dipadu dengan suara tokek di kejauhan membuatku memeluk ibu yang pulas di samping kiriku. Kutarik selimut tebal berwarna merah hingga ujung kepala. Aku memilih berlindung di bawah naungan selimut saja dari pada membangunkan ibu.

Fikiranku bertarung dengan batin waktu itu. Saat suara cicak juga berpartisipasi megusik hening malam. Ditambah lagi dengan tabuhan gayung dan suara byar-byur air di kamar mandi. Bulu kuduku berdiri tegang. Aku merasakan mereka semua ingin lari tapi tidak bisa.

Dua menit setelah kupejamkan mata dan menekuk tubuh, akhirnya aku penasaran akan suara-suara yang bersumber dari kamar mandi itu. Benarkah setan bermain-main di malam hari? Kalau iya, aku ingin mengintip mereka malam ini. Sebelum semuanya terlambat. Sebab mungkin besok malam setan-setan itu tak nafsu untuk bermain.

Demi sebuah keinginan, akhirnya dengan terpaksa aku membangunkan ibu dengan alasan hendak buang air kecil. Ibu tak menggerutu, tapi lantas bangun dan melangkah gontai di depanku. Aku juga melangkah perlahan bersama dag-dig-dug jantung yang mengalahkan suara gendang India pada sebuah pesta pernikahan. Ibu menoleh karena aku tertinggal. Ia mengerti kalau aku ketakutan.
“Ayoh, cepat!” perintah ibu.
“Anu… sebenarnya Ummul cuma ingin tahu siapa yang bermain air di kamar mandi, Bu,” ungkapku lirih dan menunduk. Aku takut ibu marah karena aku lancang membangunkannya. Apalagi dengan alasan mengintip setan.
“Memangnya ada suara apa?”
“Suara byar-byur dan gayung dimainkan.”
“Ah kamu, Mul! Itu hanya halusinasi kamu saja. Kamu sendiri yang mengundang suara-suara itu,” tuduh ibu.
“Tapi, Bu… suara itu benar-benar ada,” kilahku.
“Ya sudah. Kalu kau memang penasaran, ayo kita intip bersama-sama.”
Aku mengangguk mantap. Rasa takutku sedikit terhapus oleh kekompakan dan semangat ibu.

Kini kami bagaikan dua sekawan yang tak gentar meski halilintar menggelegar. Tekadku makin bulat. Ibu tersenyum-senyum geli melihat diriku yang berapi-api.

Hanya 15 langkah saja kami sudah tiba di depan kamar mandi. Pintunya terkunci rapat. Sedang suara gemercik air semakin jelas dan nyaring. Oh, kini aku semakin yakin kalau ada hantu di dalam ruangan itu.

Aku dan ibu berjinjit menuju sumur di samping utara kamar mandi. Kami merapatkan tubuh di tembok untuk mendengarkan suara-suara selain percikan air. Sungguh kami amat kompak, hingga rasa takutku berganti penasaran: kapan pintu akan dibuka? Siapakah yang akan keluar?

Sesaat kemudian suara engsel pintu beradu membuat kami tak bersuara. Langkah-langkah tertatih semakin membuat mataku melebar. Kupeluk ibu dari belakang. Erat. Kurapatkan mata.

Suara seorang kakek tua terbatuk-batuk tiba-tiba membuat kami sadar kalau yang kami intip itu ternyata kakek sedang berwuduk untuk shalat malam. Beliau membetulkan lengan bajunya seraya tersenyum memandangi kami yang bertingkah serba salah.

Aku dan ibu saling lempar pandang. Ibu melotot geram ke arahku. Lalu ia menjewer telingaku dengan hangat dan penuh kasih sayang. Aku mengerti ia malu pada kakek.
“Ini akal-akalanmu saja, Mul. Ibu jadi ikut-ikutan pensaran. Kamu pintar merayu, padahal ibu tak pernah mengajarimu seperti itu.”
Aku tersenyum tak menjawab. Aku sadar bahwa aku salah. Tapi ibu tak marah. Ibu malah mengacak-acak rambutku. Aku senang.
“Kalau begitu mari kita ambil wudluk untuk sebuah shalat malam. Kita wajib minta maaf pada Tuhan karena percaya akan adanya hantu gentayangan. Habis itu kita minta maaf kepada kakek karena telah su’udzan,” ajak ibu.

Sekali lagi kupeluk ibu bersama malam yang penuh cahaya gemintang. Bulan tersenyum ke arah kami. Ia mengerti, karena sedari tadi ia memperhatikan langkah kami.




Guluk-Guluk, 25 Februari 2010

13 Maret 2010

Berkenalan dengan Rindu

Dalam perjalananku menuju titik dewasa, aku dapat merasakan betapa keras ingin tahuku merangkak saat balita. Lalu mulailah ibu mengajariku cara berjalan dan berlari cepat secara tekun. Berulang-ulang setiap hari sampai aku bisa. Bahkan ibu tak pernah mengeluh atas keringat dingin yang tersirat saat mengganti popokku usai kukencingi. Hari-harinya hanya repot memikirkan bagaimana aku bisa tumbuh menjadi manusia dewasa yang beretika.

Kini aku ingin katakan pada ibu bahwa saat ini aku mulai mengenal rindu. Diam-diam seseorang telah berhasil meniupkan rindu di sela-sela bantal malam-malamku. Ia juga berani mengubah sekenario hidupku yang nyaris berantakan dan menaburi bintang-bintang di hatiku yang hampa dalam kegelapan. Aku bagai manari di tengah hamparan salju putih.

Aku tidak menyadari sejak kapan rindu itu menyelinap masuk ke dalam rumahku. Tiba-tiba saja ia datang menelusup ke dalam lubang jendela pori-poriku. Dan aku telah berhasil dibuatnya senang bercermin.

Rindu ini bukan inginku. Dan aku yakin dia juga tak pernah berharap. Tapi Tuhan yang mengatur kisah kita. Hingga aku ingin melintasi alam azali barang sebentar untuk melihat kisah seperti apa yang telah kuatur bersama Tuhan, dulu.

Akhirnya kusadari sepenuhnya bahwa kita adalah kisah yang mengatur dan diatur. Cukup menjadi langkah yang teratur saja untuk mengatur keseimbangan kita dalam berenang di laut Tuhan.

Sekelumit kisah berkenalan dengan rindu ini adalah sebuah dentuman keras dalam hidupku. Aku tak dapat mengelak dari karunia Tuhan yang penuh warna ini. Namun aku selalu berdoa agar Tuhan membangunkan tembok kokoh dalam hatiku yang akan menjadi benteng bagi dunia remajaku. Sebab aku tahu tentang jalan lurus untuk mencintai: menolak ketika ingin dan berkata tidak ketika mungkin.

Lalu, aku ingin berbisik di dekat telinga ibu: “Ibu, apakah aku sudah dewasa?”



Guluk-Guluk, 12 Maret 2010

05 Maret 2010

Membelah Topeng

Mad, nyala matamu adalah kunang kunang, malam itu
;saat kau menjelma katak bertapa dengan mahkota
Gigil angin menyapu telingaku
Lembut
Kau pintar meniup rasa
Kau lihai membisik kata
Tapi bagiku
Tak perlu kacamata untuk ku mengikat mata
Sebab aku tak rabun untuk
melihat tubuhmu yang biru, jernih, cahaya, dan panas
(hanya, aku takut terbakar…)

Ssst!
Suaramu berisik, Mad
Seperti tak tik hujan yang jatuh di seng kamar mandi
Hampir kau buat aku luluh oleh abjad
yang kau pahat pada relung relung rumah kayuku
Untuknglah
Tuhan masih melekat dalam urat
Hingga topengmu dapat kubelah




Guluk-Guluk, 04 Maret 2010

Rindu Belum Pecah

Seharusnya ku tatap wajahmu hari ini
bersama mekar bunga yang basah oleh gerimis
embun di pagi buta

Seharusnya ku tatap senyum mendalam detik ini
bersama nyanyian burung yang berpindah
dari ranting ke ranting
Seharusnya rindu ini telah tumpah
Saat dimensi mengadu gelas gelas kaca menjadi
pecah
Tapi terkadang harap itu musuh
Dan pertemuan ini adalah harap yang menikam




Guluk-Guluk, 18 Februari 2010
Bersama kepingan rindu

Dentuman Rasa

Galaksi itu ada di matamu
Retak menyembur pecahan pecahan kaca
Halus menusuk;
di bilik kanan dan kiri jantung
Berdegup darah
Muncrat nanah
Lalu,
Terdampar ke langit luas malam
Darah nanah bercampur gula bintang bintang
Manis
Tapi tetap amis



Guluk-Guluk, 02 Maret 2010

Buyutku Bukan Materi

Dalam dimensi sudut barzah
Buyutku berlingdung pada stomata daun pakis
yang berjejer rapi menghias kali bening
lumut lumut basah oleh ludah
Berhentilah meludah!
Buyutku memang hanya menantu
tapi ia juga raja
yang memenda selendang rakyat
dari tanah ke atas bahu

Buyutku yang agung,
Adakah dulu kau melepas diri dari materi?
Memecahnya bersama pecah
Mengirisnya bersama iris
Adakah kau melebur materi bersama tanah?
Menguburnya dalam lemari
Menginjaknya dengan kepala
Buyutku,
Semoga kalu tak lagi materi
Sebab materi adalah bahan bakar neraka




Guluk-Gulu, 19 Februari 2010
Yang berharap membus sejarah dan waktu
Yang berharap bertemu dengan buyutnya

Lelaki Angka Angka

Lelaki itu
yang meniupkan rindu
di sela sela bantal malam malamku
Lelaki itu
yang hadir
dengan sihir bermantra gigi putih
mampu membuatku mabuk dalam mimpi
hingga dejavu di negeri nyata
Lelaki itu
yang mengajariku berjalan
dari bukit
menuju surau tempat kekal kami
bersemayam
Lelaki itu
adalah guru
namun ia tak bisa menerjemah puisi
sebab di tangan kirinya hanya angka angka





Guluk-Guluk, 5 Januari 2010