24 Desember 2010

Mengenang Masa Kecil

10:02 WIB

Sejak kecil, aku selalu dipandang sebagai anak yang nakal. Banyak hal ceroboh yang kuperbuat menimbulkan masalah. Tak hanya bagi diriku sendiri tapi juga keluargaku.

Salah-satunya terjadi saat aku masih di Sekolah Dasar. Waktu itu, aku meminta pindah sekolah dari SDN Bragung III ke SDN Tambuko kepada ayah. Alasannya sederhana, karena Bragung bukan bukan desaku dan teman-temanku banyak di SDN Tambuko. Aku juga tidak tahu mengapa dulu aku disekolahakan di sana. Karena kasihan ayah mengabulkan pintaku. Aku merasa senang karena akan segera merasakan kelas baru dan teman-teman yang berbeda.

Ternyata rasa senagkutak berumur panjang. Bukan karena aku sulit beradaptasi, tapi karena di akhir tahun aku tidak naik dari kelas satu ke kelas dua. Ibu Endang, wali kelasku menyampaikan beberapa alasan mengapa aku sampai tak naik kelas. Kata beliau usiaku terlalu muda dan aku masih belum bisa membaca. Karena kesal, akhirnya kuputuskan untuk pindah sekolah lagi ke SDN Bragung III.

Dengan sabar ayah masih saja mengikuti keinginanku. Memohon maaf kepada ibu Endang dan segera mengurusi surat pindahku. Aku merasa puas karena akan segera menuju kelas dua, meski itu dilakukan secara paksa dan meminta keterangan naik kelas pada ibu Endang. Kala itu aku tak peduli.

Sampai di SDN Bragung III lagi aku merasa kecewa karena sekolah itu tak semaju tahun yang sebelumnya. Banyak kakak kelas yang sudah berhenti dan tidak meninggalkan kader untuk bertanding dalam lomba-lomba saat acara HUT 17 Agustusan yang diselenggarakan di kecamatan Guluk-Guluk. Aku merasa kesal meski bukan aku yang bertanding. Faktornya, temanku yang di SDN Tambuko mengejekku yang memilih pindah ke sekolah itu lagi. Saat itu juga aku berniat untuk pindah lagi kepada ayah.

Sesampainya di rumah, kusampaikan maksudku kepada ayah. Beliau benar-benar murka. Sebelumnya, tak pernah kutemui beliau dalam keadaan muka merah seperti kali itu. Ayah memelototiku dan berujar, “Silakan kau pindah dan urusi surat pindahmu sendiri!”

Aku mafhum atas sikap ayah yang akhirnya merasa kesal kepadaku. Berapa kali beliau harus mengurus raport dan suarat pindahku. Tentulah beliau juga malu pada seluruh dewan guru baik di SDN Tambuko maupun di SDN Bragung III. Sungguh aku telah menjadi anak durhaka atas sikap plin-planku kali itu.

Aku mencoba mengurusi surat pindahku sendiri, namun pihak sekolah meminta agar waliku yang mengahadap. Bukan aku. Aku memohon-mohon kepada ayah dan berjanji bahwa ini adalah cerita pindah sekolah yang terakhir. Aku sungguh tidak akan mengulanginya lagi. Memegang janjiku, ayahku mau.

Tuntaslah perkara pindah sekolah. Di tahun ketiga, yakni kelas tiga SD, kecerobohanku kembali menuai masalah.

Ada salah satu kawan sekelasku yang sangat menyebalkan. Namanya Horul. Kurasa dia adalah kawan yang congkak dan pengecut. Sifat angkuhnya kadang kala membuatku tergerak untuk memberinya sedikit pelajaran.

Pernah, dia memelototiku dengan aneh. Tatapan mengejek dicampur dengan senyuman kenes. Sungguh sikap memuakkan yang membuatku ingin muntah-muntah. Seketika itu juga aku menghampirinya lalu menamparnya sekuat tenaga. Entah keberanian dari gelas mana yang mendorongku melakukannya.

Aku sendiri selalu bangga saat merasa menjadi anak lelaki. Setelah besar, aku menyadari, mungkin kampungku yang banyak melahirkan anak lelaki dan sedikit anak perempuan telah berhasil mencetak jiwa maskulin dalam diriku. Dan itu kurasakan saat aku senang berteman dengan anak lelaki di sekolahku. Bahkan saat teman-teman perempuanku bermain lompat tali dan menari-nari, aku malah ikut bersepeda mendaki gunung dengan teman-teman lelakiku.

Baiklah! Kulanjutkan cerita pertarunganku. Meski Horul pengecut dan anak mama, ternyata dia cukup kuat. Ia mendorong badanku sampai oleng dan tertabrak bangku. Aku kehilangan kendali. Aku mengutuk-ngutuk dalam hati lalu berdiri dan menjambak rambutnya berulang kali. Ia menendang-nendang lututku. Kutinju kepalanya dan mencakar pipinya menggunakan kuku-kuku tanganku yang kebetulan panjang. Ia menatapku pasrah. Kukira dia sedang berpikir bagaimana dia harus membalasku dengan tindakan yang lebih ekstrim. Namun ia malah menangis sejadi-jadinya dan meneriakkan namaku sebagai sumber masalah.

Sungguh di luar dugaan. Tak kusangka ia akan melakukan serangan balik yang justru akan membuatku dipanggil ke kantor. Aku segera melesat pergi ke belakang sekolah untuk menyelamatkan diri.

Dua puluh langkah saja dari belakang sekolah, aku telah mendapati tempat persembunyian. Di sana ada kali berbentuk kolam berukuran 3x4 meter. Namanya Sempangan. Kali Sempangan merupakan tempat mandi dan mencuci ke dua setelah sumber Bukoh, sumber utama yang terletak di lereng bukit Pangilen. Kalau hari Ahad, hari libur sekolah, aku biasa ikut ibu ke kali Sempangan. Kurasa di sana adalah tempat yang aman untukku bersembunyi karena di dekatnya ada pematang yang ditumbuhi rerimbunan membentuk semak. Aku bersembunyi di sana sampai kira-kira pelajaran usai dan semua siswa pulang.

Sepulangnya, aku disambut dengan omelan ibu yang panjang kali lebar. Ibu bilang bahwa ibu Horul bertandag ke rumahku untuk mengataiku dan menasehati ibu agar mendidikku menjadi anak yang baik. Selain itu, ibu Horul juga meminta agar ibu memberiku pelajaran. Ia tidak terima atas luka-luka yang diderita anaknya akibat ulahku. Bayangkan saja, betapa murkanya ibu terhadapku kala itu. Aku tetap berdiri seraya menunduk saat ibu terus mewanti-wanti dan menunjuk-nunjuk mukaku dengan telunjuknya.

Saat omelan ibu berakhir, yakni sampai kakiku kesemutan, aku segera menuju kamar dan mengunci pintu. Aku tidak menangis. Tapi nyaris melakukannya. Bukan karena aku telah menyesal melakukan perkelahian itu, tapi karena kekecewaan ibu atas sikap buruk yang kuperbuat. Meski begitu, hal itu tak membuatku berhenti membuat ulah.

Banyak kekacauan lain yang kulakukan selain itu. Sampai akhirnya aku besar dan menyadari betapa kacaunya sikapku di masa kecil. Aku tersenyum mengenang masa-masa kecilku yang sungguh menggelikan itu. Sekarang pun aku sendiri belum mengerti apakah aku telah dewasa atau belum. Tapi aku hanya ingin membuktikan kepada ayah dan ibu bahwa aku telah berubah.



Gubuk Cerita, 01 Desember 2010

02 Desember 2010

Catatan II

14:51 WIB.

Semua bayi terlahir dengan semangat. Tangis pertama pemecah keheningan, gerak enerjik lambangkan manusia dinamis, kerling mata yang cerdas, juga tawa yang dapat sejukkan jiwa-jiwa. Ke mana susutnya semangat itu saat kita beranjak dewasa? Mungkinkan ia tengah bersembunyi di sebuah tempat antah-berantah? Dan mungkin hanya kita yang dapat menemukan dan merangkulnya kembali.

Sejak kecil, aku selalu berusaha untuk membuat ayah dan ibuku tersenyum, meskipun kali itu, aku masih belum mengerti bagaimana caranya. Terkadang cara-cara yang kupraktikkan keliru dan kecerobohan alamiahku membuat kedua orang tuaku kecewa.

Suatu saat akan kuceritakan kepadamu tentang masa kecilku itu. Namun sekarang aku hanya ingin membahas tentang semangat. Itu saja.

Sampai di Sekolah Menengah Pertama, aku selalu berusaha dan berjuang untuk mengukir senyum di bibir ayah dan ibu. Usaha yang kulakukan kian hari kian kutingkatkan. Meski tak berhasil membuat mereka bangga, setidaknya aku bisa mencegah agar mereka tidak kecewa terhadap tindak-tanduk yang kulakukan. Begitulah caraku selalu menyibukkan diri untuk menegakkan eksistensiku sebagai manusia. Agar keberadaanku diakui oleh orang-orang di sekitarku.

Memasuki tingkat Sekolah Menengah Atas, semangatku kian membuncah. Niatku menjadi bercabang. Tak hanya ingin membuat kedua orang tuaku bangga, tapi juga sekolah. Mungkin ini disebabkan aku semakin mempunyai rasa kepemilikan pada Madaris III Annuqayah, lembaga tempatku mengais ilmu dan belajar tentang kehidupan.

Puncaknya adalah kelas XI SMA. Waktu itu aku benar-benar merasa sesaudara dengan teman-teman kelasku. Kami selalu kompak dalam segala hal. Termasuk menjadi polor dalam beberapa kegiatan di sekolah kami. Sungguh tak dapat kubahasakan bagaimana merahnya semangat mereka. Cukup engkau tahu saja bahwa kami benar-benar terbakar semangat nasionalisme sampai gosong!

Namun kini, aku kebingungan mencari mozaik-mozaik semangatku yang raib entah ke mana. Sejak memasuki Perguruan Tingngi, aku menjadi berubah drastis. Kurasa hal-hal yang kulakukan tak sehebat dulu. Aku mengalami kemerosotan yang luar biasa. Aku menjadi mahasiswa yang mengecewakan bagi diriku sendiri.

Aku merasa malu akan satya yang kutetiakkan dengan kawan-kawan di masa SMA dulu; menanamkan jiwa agent of change. Ternyata hal itu hanyalah bualan yang omong kosong.

Impianku menjadi aktifis kampus kian hari tambah memudar. Salah satu faktornya, aku mendengar selentingan bahwa KBM di kampusku menggunakan sistem munarkhi absolut. Menurut sebagian kakak tingkat, aku tidak boleh terlalu berharap untuk berkecimpung di dunia organisasi kampus, karena jika bukan dari daerah pondok tertentu (yang maaf, tidak dapat kusebutkan) di Annuqayah, maka tidak akan direkrut dalam kepengurusan KBM.

Setidaknya, kini, aku harus menjadi mahasiswa yang aktif di kelas saja. Selain itu, aku tidak bisa lagi membayangkan bagaimana aku harus menjadi mahasiswa yang tak berguna. Sungguh mengerikan!


Gubuk Cerita, 02 Desember 2010.

28 November 2010

Episode Jagung Bakar




1#
Di matamu kembang-kembang jagung bermekaran. Seumpama anak peri satu denyut bermunculan. Seorang lelaki bermimpi membangun kastil di tengah ladang. Harapnya merancap nyaring. Irama seruling terpendam kerinduan. Tunggulah sampai musim jagung panen!

2#
Perempuan membakar jagung dengan rambutnya yang panjang di dekat tungku. Aromanya candu. Inilah asap surga yang kau pertanyakan. Seperti matamu butirnya berkilauan.

3#
Lima anak ayam dalam botol cuka. Saling berkelahi dan serempak menganga. Kepada jagung mereka jatuh cinta. Ahai! Pertikaian kian memanjang. Sampai meleleh darah dari jantung ke jagung. Kumohon hentikan!

4#
Pesta jagung digelar di dalam kastil impian seorang pangeran. Semua berdansa di antara kepul asap. Perempuan itu terus membakar rindu dengan rambutnya yang kian memanjang. Episode satu berakhir di atas bara jagung bakar.


Gubuk Cerita, 27 Nopember 2010

21 November 2010

Perahu Retak

Kubaca lagi perahu retak
Di sela-sela ritus pemujaan
Sambil mencubit senar cello
Mempersembahkan sepenggal nada rintihku
untuk Tuhan

Bayangmu hilir membara dalam mantra puja-puja
Do’a kita yang menyerupai sketsa;
susunan balok-balok kayu
menjadi memoar rindu

Perahu,
Kelam sudah bulan separuh kita
Tinggal titik-titik pasir
Gumpalkan kata di atas warna jingga
Lalu luruh bersama sore yang kehilangan rupa

Perahu,
Apakah aku harus bertahan menjadi parasit
di alam abstrakmu
sementara engkau bersekutu karang
dengan cinta pertamamu

Perahu kita retak
Lajunya tak lagi kabarkan damai bagi laut

Dalam sadar aku terus merapal mantra
Karena ini lebih mengerikan dari pada kematian.



Tambuko hijau, 19 Nopember 2010

05 November 2010

Surat Titipan

Seperti apa engkau kabarkan pada dunia
Tentang penyakit yang alam derita?

Atau,
Barangkali kata-kata masih bungkam
Karena pagi terlalu mencekam
Lalu kapan ia akan tertata di atas nampan
Seperti martabak yang siap disajikan?

Kabarkan siang ini juga:
rambut bumi rontok karena leaukimia
perut bumi cacingan karena sampah anorganik yang ia telan
bumi mengalirkan cairan panas dari ekor matanya
juga keringat yang menyengat
sesaki jalanan dengan banjir
persis seperti musafir

Lain itu, ladang kita juga dikejutkan oleh tamu baru bernama Monsanta
Si raja kejam dari Amerika
Yang siap menjajah bibit kita

Hidup semakin mengerikan
Sementara masih banyak kabar belum tersampaikan
Kepada kawan juga kenalan
Kalau engkau sempat
Kepada Tuhan aku ingin menitip surat;
Panjangkanlah umur para pecinta lingkungan


Gubuk Cerita
09 Oktober 2010

Paradoks Rindu

Setiap sore menjelang aku akan senang menyaksikan bocah-bocah kecil yang sibuk berlarian di antara pematang sawah. Mereka berebut langkah untuk mencari tempat layangan lawan yang tersangkut. Suara dari mulut ke mulut melontarkan ejekan untuk menjatuhkan lawan begitu kental terdengar di telingaku. Juga cekcok berisi pengakuan tentang kekuatan diri masing-masing memang sudah tak asing bagiku yang pernah hidup di masa mereka.

Suara-suara itu seperti pertempuaran antara hujan dan angin. Sungguh menggelikan. Mamaksaku untuk menyeret langkah menuju ke ladang dan pematang-pematang yang tumbuh seperti beludru hijau dan membentang tak terbatas di utara rumahku, tempat bocah-bocah kecil itu bermain layang-layang.

Aku lebih memilih untuk memuntahkan rinduku pada buku harianku di tempat ini dari pada berbaring di dalam kamar dan mengunci pintu. Kamar bagiku adalah subuah penjara yang membuatku lebih tersiksa. Di dalamnya aku selalu melihat cermin terbentang di pojokan ruang. Lalu aku merasa kesal karena pada cermin itu aku selalu melihat sekelebat sosok bayangan yang mengaku kecil tengah menertawakan kegilaanku. Tawanya menciak-ciak nyaring laksana suara anak-anak burung.

Kugerakkan penaku pada lembar kesekian. Tapi fikiranku rasanya telah terbelenggu oleh sesuatu yang menyakitkan. Aku tak tahu seperti apa rupa dan bentu rasa itu. Orang-orang sering kali menyebutnya rindu. Ya, mungkin itulah rindu. Aku bingung harus kemana saat rindu telah berhasil mengepungku.

Aku menoleh menatap anak-anak kecil di sampingku. Raut mereka penuh keseriusan melepaskan benang untuk diikutkan terbang mengiringi layangan. Tiba-tiba detik ini aku ingin menjadi layang-layang yang bisa terbang bebas di antara awan-awan tipis dan menghias langit biru yang cerah. Mempunyai ekor panjang yang meliuk-liuk dan dapat melihat sisi jagat raya dari atas sana. Ini sungguh mustahil. Tapi inginku begitu akut.

Kuurungkan niatku menulis. Aku lebih tertarik membaca catatan harian yang bukan punyaku. Catatan itu punya seorang lelaki bertubuh kecil yang mengaku besar dan tinggi. Dia teman baikku dan telah berjanji akan berteman denganku untuk selamanya. Kebetulan sore ini sampai pada gilirannya mengirimkan buku catatan hariannya. Ini adalah sebuah ritual bagi kami. Setiap minggu kami melakukan sebuah transaksi tukar buku catatan. Kami menyebutnya sebagai ‘weekly diary’.

Mungkin bagi remaja yang mengaku dirinya gaul, pekerjaan ini amat konyol, udik, kolot, dan tidak keren. Mereka lebih suka mengandalakan kecanggihan teknologi. Telfonan dan SMS-an, kirim e-mail, atau sekedar updete status di beranda facebook. Tapi bagiku weekly diary adalah rutinitas alamiah yang sangat bermanfaat bagi dunia remajaku. Berdiskusi, sharing, dan berlatih tulis-menulis.

Maka untuk sebuah keinginan, jemariku tengah siap menjadi abdi. Kubuka buku agenda dengan sampul berwarna hitam polos yang sedari tadi berada dalam dekapanku. Begitu sampai pada lembar pertama, tampak jelas huruf-huruf kapital berdiri kokoh bertuliskan sebuah nama “FAUROQ”. Lalu di bawahnya terdapat sub tittle: catatan rindu dari ladang jagung. Di pojok kanan bawah terdapat secarik tanda tangan dan kata-kata dengan huruf yang ditulis agak kecil: “kita tidak gila, tapi robot”. Aku suka kata-kata itu.

Kubuka lembar kedua dan segera membacanya:

DUA RIBU DELAPAN. Pagi pekat pada minggu kedua bulan Februari, butir-butir embun di pucuk dedaunan melesak bergantian turun ke tanah. Tik-taknya telah berhasil mewekeri dunia pagi ini. Di luar langit masih gelap kebiruan. Aku masih tak sampai hati memikirkan tentang sesuatu apa lagi yang akan terjadi padaku hari ini.

Sepertinya aku terlalu pengecut memikirkan hal yang sudah-sudah. Aku terlalu terhantam trauma yang mengerikan. Aku mudah rapuh bersama cinta seorang perempuan yang akhirnya menganggapku sebagai ‘iblis perusak iman’. Namun bagiku cukuplah 4 tahun saja aku berkutat bersama keputusasaan yang menjeratku ini.

Perempuan itu yang lahir bersama kedua malaikat putih di pundaknya telah mampu membuatku merasa kebingunga di saat semua baik-baik saja. Bermula dari kesempatan berdiskusi tentang Tuhan dengannya pada masa SMA. Aku merasa kagum karena logikaku dapat ditaklukkan dengan sekejap mata oleh perempuan berparas sederhana itu.

Matanya yang sayu mengisayaratkan sebuah kepolosan dan keluguan. Geraknya yang lembut melambangkan sebauh kesopanan yang teramat. Tutur katanya yang mengalir tak pernah membuat hati orang lain terluka. Dia perempuan yang tak suka keburukan dan senantiasa menghindar dari cela.

Stratus awan yang berarak di ufuk timur membuatku mengingat sebuah kejadian traumatis yang sungguh dilema: malam itu, kami berdiskusi melalu layanan SMS. Aku yang telah diakui teman-teman sebagai raja debat dikalahkan olehnya. Aku tersesat saat mendapat perlawanan darinya. Aku tidak bisa menyerang balik. Maka pada kekalahan itu aku merasakan serbuk gula telah tertebar di seluruh badanku. Akar asmara telah tumbuh melilit pada papan dinding rumah kayuku. Kuutarakan rasaku. Dia tak percaya.

Tak ada yang tahu tentang misteri dan teka-teki yang Tuhan rangkai. Kita hanyalah robot yang dapat dimainkan dengan remot kontrol oleh-Nya.

Di sepertiga malam, usai kuputar butir-butir kayu berbentuk bulat untuk memuja Tuhan, tiba-tiba layar handphoneku menyala. ‘1 pesan di terima’ kupilih ‘tampil’. SMS itu dari perempuan yang diam-diam telah berhasil merasuk ke dalam sum-sum tulangku. Perempuan bernama Nur yang telah memberi kontribusi energi baru bagi hidupku. Isinya kurang lebih sebuah pernyataan kalau ia juga rindu pada suaraku. Begitulah aku mengambil kesimpulan dari kata-katanya di SMS. Detik itu Tuhan memberi tahu kepadaku bahwa dia pun mempunyai perasaan yang sama sepertiku.

DUA RIBU ENAM. Sebuah malam pada dua belas Juni. Selepas menjamak takdim isyakku di waktu maghrib, aku lalu bergegas menuju ibu untuk meminta restu keberangkatan menjemput paman di bandara Soekarno-Hatta. Pamanku akan tiba dari India besok subuh. Ibu khawatir karena aku hanya berangkat seorang diri. Begitulah ibu yang amat takut kehilangan. Kata beliau perasannnya campur aduk malam itu. Namun aku berhasil meyakinkan beliau. Aku bilang bahwa aku adalah lelaki tangguh yang akan pulang dengan selamat. Ibu tersenyum was-was sebelum akhirnya memberi izin.

Kucing pesakitan menyeberang dengan tertatih. Aku kehilangan kendali. Aku memang terlalu cinta pada kucing sehingga aku memilih, aku saja yang terpelanting dari pada melihat darah kucing itu. Hanya itu yang dapat kuingat. Setelah kubuka mata, yang dapat kulihat hanya tiang infus tengah menjulang di sampingku. Tetes demi tetes air kimia itu mengalir melalui selang yang menepi di lengan kiriku.

Ibu sesenggukan di dekatku. Isaknya tertahan-tahan. Rasanya lebih perih melihat air mata ibu dari pada merasakan darah ynag mengalir deras dari bagian tubuhku yang terluka. Bibirku sumbing, hidungku terbelah, dan kurasakan gigiku telah terpotong rata pada ujung-ujungnya.

Seluruh rumah sakit di kotaku tak mampu tangani luka-lukaku. Sepakatlah seluruh keluargaku untuk memboyongku ke ibu kota, Jakarta. Aku melalui hari-hari dengan perawatan intensif. Berputar-putar di sepanjang koridor rumah sakit setiap hari di atas kursi roda. Membosankan.

Seminggu setelah kepulanganku ke kampung halaman, Ganding, aku harus menerima kalimat menyerupai belati dari perempuan yang sudah jelas akan kupinang: “Pergilah! Jangan ganggu aku lagi. Kau hanyalah iblis yang merusak imanku.”

Masih belum sembuh total luka fisikku. Ia malah memberiku luka baru yang lebih parah. Luka ini seprti paku karat yang ditusukkan pada seluruh dagingku. Selamanya akan membekas. Aku kecewa pada diriku sendiri yang tak dapat menyakinkan ibu bahwa dialah perempuan paling baik bagiku. Kata ibu, beliau lebih peka untuk membaca perempuan dibandingkan aku yang dianggapnya masih anak-anak. Semua sudah jadi berantakan. Kecewa, frustasi, dan akhirnya aku sedikir stres.

JUNI 2008 LALU, Tuhan mempertemukan kita lewah sebuah kisah permusuhan. Rasa kebencianku adalah tingkat stadium, kira-kira bila diukur. Entah kenapa aku harus menjadi panitia dalam acara ‘lingkungan’ yang dihadiri oleh berbagai sekolah kala itu. Lalu aku bertemu denganmu yang bersikap menyebalkan dak sok pintar. Hingga aku mengutuk semuanya: perempuan yang sudah-sudah dan juga kau yang hadir dengan keanehan dan keangkuhan.

Saat kulontarkan kata-kata kasar di sebuah acara pertemuan sekolah itu, kulihat kau melawanku sejadi-jadinya.
“Perempuan aneh. Dasar gila!” bisikku dari dalam kaca.
“Kau yang gila!” balasmu geram.
“Monyet,” umpatku berteriak.
“Anjing,” balasmu lagi. Kali ini suaramu seperti derak-derak ban mobil. Matamu terbelang ke arahku. Aku menunduk karena takut. Kau berlalu di antara genangan air hujan. Irama terakhir dari perang pertama kali itu adalah suara kecipak-kecipuk langkah.

Kisahku lalu berjalan paradoks; terjadi sesuatu yang kontradiktif. Mana mungkin aku merindukan sosok perempuan yang berparas di bawah rata-rata dan angkuh sepertimu. Mana mungkin aku inign mengenalmu lebih dalam lagi. Mana mungkin aku berkeinginan untuk berproses denganmu. Mana mungkin kisah ini berbalik sebegitu cepatnya. Lebih cepat dari membalikkan telapak tangan. Engkau yang tercipta menjadi antonim dari perempuan masa laluku, tapi aku harus akui kau itu adalah candu. Rasa ini hadir tak beralasan. Tapi berlebiahan bila aku menyebutnya cinta, sebab cinta itu agung, suci dan hanya pantas untuk Tuhan.

Sampai pada titik ini, aku melihat matahri telah lari terbirit-birit dikejar malam. Langit Jeruk Durga kembali memamerkan lembayungnya yang membuatku menganga. Permainan layang-layang telah usai. Anak-anak kecil itu kini sibuk menggulung benang. Layang-layang telah turun ke pangkuan mereka lagi. Salah seorang bocah gundul yang kira-kira berusia 5 tahun menghampiriku. Dari kaki hingga lututnya ada lumpur yang menempel belepotan.
“Mbak Sri, pulang yuk. Nanti ada hantu trus Mbak dimakana,” katanya dengan nada polos dan datar. Aku mengangguk sambil tertawa.

Aku masih ingin membaca dua lembar di halaman terakhir yang distaples. Rahasia apakah itu yang aku saja tak boleh membacanya. Pikirku menerka-nerka sesuatu yang keras. Mungkinkah tulisan adalah sederet ungkapan jujur untukku? Mungkin pula di dalamnya berisi sebuah kata mutiara––yang lagi-lagi mungkin––untukku? Atau barang kali cacian untukku semasa kita berkelahi?

Ego, id ego, dan super egoku berkecamu sebegitu hebatnya. Aku tak tak berhak membukanya karena secara etika itu salah, tapi aku juga merasa jahat bila menyiksa pikiranku dengan sebuah rasa penasaran. Kuhitung kancing bajuku: buka, tidak, buka, tidak, buka. Berarti aku harus membukanya.

Kubuka perlahan-lahan biji staples di bagian atas dan bawah. Habis itu bisaku hanya terbeliak melihat lembaran-lembaran foto perempuan sejumlah 12 dengan ukuran 3x4 berjejer rapi menghias kertas putih itu. Ada sebuah tulisan menjijikkan yang rasanya membuat perutku ingin memuntahkan sesuatu: “Para Korban Pelarian Cintaku.” Kulihat wajahku juga terpampang jelas pada deret paling akhir. Aku menelan ludah. Masai rasanya.



Gubuk Cerita, 18 Juni 2010

31 Agustus 2010

Lelaki Luka

;Ka' Gie


Kata-katamu terus dan terus saja berlayar di atas bulan yang kau susun dari karang dan pasir Sanur.
Tepat saat surat merah muda telah pak pos sampaikan lewat deru ombak yang kesepian.

Di situlah aku berhasil membaca sajakmu: tentang lelaki kecil bertubuh memar. Dadanya sesak oleh cinta pertama yang terbakar. Menyeruakkan api pada 3 tahun penantian. Sisa-sisa darah perjuangan.

Sayang,
sungguh malang nasibmu mengeja cuaca.

Akan kubangunkan kau ruang rindu untuk menampung seluruh silap-kelih kegagalan.
Lalu,
akan kubuat musim tak lagi penting saat kita berlarian dan kucumbui engkau di sepenjang pematang.


Bali, 30 Agustus 2010.

21 Juli 2010

Sepatu Bolong 17 Agustus*

Oleh: Ummul Karimah**

“Saya malu mengeluh karena tidak mampu membeli sepatu baru ketika orang yang tak punya kaki mampu menjalani hidup dengan suka cita…”

Sebuah sore yang cemas pada minggu pertama di bulan Agustus 2008 lalu. Batinku mengadu pada garis kisah di bawah pohon mangga. Tepat di depan gubuk perpustakaan PPA. Karang Jati, asramaku. Aku sungguh tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada 17 Agustus nanti. Pada sebuah pagi yang ditunggu-tunggu. Sebuah kemerdekaan bagiku, ataukah beberapa cemoohan.

Rasa was-was ini bermula dari sebuah masalah yang sangat sepele. Mungkin begitu bagi orang lain. Tapi bagiku ini merupakan masalah runyam yang akan terus terkenang dalam memori sepanjang sejarah kehidupanku apabila kejadian yang kukhayalkan itu benar-benar terjadi.

Beginilah ceritanya: jauh hari sebelum tanggal 17 Agustus, para panitia HUT RI SMA 3 Annuqayah telah menentukan siapa saja yang akan menjadi petugas upacara. Namun sebelumnya mereka menyeleksi siswa terlebih dahulu. Aku masuk seleksi menjadi pemimpin. Awalnya aku tak yakin bisa benar-benar lolos menjadi pemimpin upacara. Tapi pada akhirnya akulah yang terpilih. Aku senang namun pada sudut bagian hatiku yang lain, aku berduka. Inikah sebuah paradoks?

Dukaku kerap kali menghantui hari-hariku. Masalahnya, sepatuku bolong dan tak dapat tertolong. Aku tak punya sepatu cadangan seperti teman-temanku yang lain, yang tergolong anak orang kaya. Hal ini membuatku terpukul. Terlebih saat aku membayangkan berdiri di bawah tiang bendera dengan sepatu merahku yang menganga, sementara semua pandangan tertuju ke arahku. Memalukan!

Rasa pesimis untuk tampil pada hari yang dipertingati untuk mengenang kemerdekaan itu lama kelamaan semakin kental. Aku lalu mencari cara agar nasibku tak seburuk yang aku khayalkan. Mulailah aku berpikir keras merancang beberapa strategi antisipasi. Aku menyusun sousi A dan B. Dan aku memulai aksi.
Solusi A adalah cara yang lebih sulit kulakkan dari pada solusi B, karena solusi B lebih mungkin dijalani. Solusi A dijadikan yang pertama karena apabila ia tak berhasil kulalui maka dengan mudah akan kuterapkan solusi B. Solusi A: meminta sepatu baru kepada ibu.

Berat rasanya mulutku meminta benda tersebut pada ibu dan bapak. Aku tidak tega bila harus memandang wajah iba mereka terhadapku. Sedang musim saat ini adalah paceklik. Tembakau masih belum ditanam. Padi-padi di sawahku tak bisa diajak kompromi. Mereka tumbuh pesakitan. Hama-hama gemar menyerang sehingga orang tuaku tak mujur dalam panen padinya kali itu. Untuk menerapkan solusi A, aku sungguh dilema.

Pada akhirnya, sampailah di hari Jum’at (16/08/2008), hari saat orang tuaku biasa menyambangiku. Awalnya aku ragu harus ungkapkan masalah ini pada mereka. Namun akhirnya dengan terpaksa mulutku kupaksa. Tentunya dengan mental siap bila orang tuaku, nantinya tak dapat memenuhi pintaku.

Aku tahu, orang tua siapapun di dunia ini tak kan tega bila melihat anaknya tengah mengalami nasib yang mengenaskan. Orang tua akan selalu memerikan terbaik bagi anaknya. Meski tak seratus persen semua orang tua begitu, tapi bapak dan ibuku adalah salah-satu orang tua yang pantas mendapat nominasi orang tua terbaik. Mereka berdua selalu mendukungku untuk maju berjuang dan belajar.

Sejak kecil aku diasah untuk menjadi orang dewasa yang dapat berguna bagi semesta. Tak pernah sedikit pun orang tuaku memarahiku bila yang kulakukan berkaitan dengan hal-hal yang positif, apalagi menyangkut pendidikan. Mereka hanya menasehatiku bila aku bertingkah nakal dan tidak sopan. Itulah orang tua, yang selalu mulya dan terhormat hingga kisah kehidupan ini menjadi tamat.

Tapi kali ini permintaanku tak dapat dipenuhi. Mereka terjepit pada ingin dan sebuah kenyataaan yang membentang.

“Sebenarnya ini tidak terlalu penting, Pak. Tapi aku malu bila harus memakai sepatu bolongku di acara itu. Aku tak tahu seberapa keras tawa teman-teman menggema di telingaku,” kataku sambil memelas.

“Ibu janji akan belikan sepatu baru untukmu, tapi tidak kali ini. Ibu benar- banar tak punya uang. Bila hari ini Ibu dapat meminjam pada tetangga, maka Ibu bersedia menutup muka. Tapi tak mungkin para tetangga meminjamkan uangnya untuk kita. Mereka juga sedang susah,” begitulah kata ibu yang membuatku tak dapat berkata apa-apa lagi. Aku hanya tertunduk.

Pada menit berikutnya aku memutuskan untuk berbicara. Sekedar memberi kode pada ibu dan bapak bahwa aku baik-baik saja meski tanpa sepatu baru. Juga agar mereka berdua tak terlalu khawatir memikirkanku.

“Tak apa bila Bapak dan Ibu tak bisa memberikan seperti apa yang kuminta. Aku mengerti keadaan di rumah. Terlebih masalah panen kita saat ini. Aku akan tetap semangat menjalani hari-hari di sekolah meski tanpa sepatu baru,” putusku, pasrah.

Kulihat ibu menitikkan beberapa butir air mata. Bapak tersenyum bangga menatapku.
Lalu aku menghambur dalam pelukan ibu. Sebelum akhirnya aku mencium tangan keduanya, petanda mereka harus pulang. Hening, batuk-batuk tua bapak. Kemudian salam memecah kesunyian. Mereka berlalu melewati pintu ruang tunggu, lalu melintasi semak-semak kebun pondok, hingga akhirnya melaju dengan sepeda dan ditelan oleh jalan.
Aku melangkah sambil membatin: apakah sekolah itu memang wajib memakai seragam dan sepatu? Mengapa demikian ribet? Siapa yang punya usul pertama kali akan kewajiban pelajar untuk berseragam dan bersepatu?

Dalam anganku sendiri lalu muncul sebuah jawaban yang menurutku itu sebagian dari buruk sangka: aku yakin ini adalah ide manusia petinggi-petinggi tempo dulu. Pemerintah yang bekerja sama dengan pengusaha yang mempunyai pabrik textil dan memproduksi seragam untuk meraup keuntungan dari rakyat kecil. Bayangkan saja, kalau tiba tahun ajaran baru, pastilah toko-toko dipenuhi oleh seragam-seragam anak sekolahan. Pastilah pula pengusaha yang memproduksi seragam itu amatlah gemar memetik laba yang diraih, dan tentunya pemerintah pun akan senang atas pajak yang dapat dipungut. Begitulah menurutku.

Aku masih tak habis pikir akan apa isi dalam dada pemerintah zaman dahulu. Hati ataukah belati? Rasa kasihan ataukah kepura-puraan? Uang memang serung kali dapat mengubah ornag baik jadi jahat, orang patuh menjadi angkuh, dan sifat dermawan berganti keserakahan.

Kini aku sadar, tak seharusnya menyesali yang sudah-sudah. Pun tak baik bila terus berburuk sangka. Semua sudah terlanjur mengalir. Kekeliruan paradigma tentang sekolah tak mudah diubah. Meski yang sebenarnya sekolah itu adalah peoses pencerdasan dan berlomba-lomba menggali ilmu pengtahuan. Bukan mengatur pakaian yang seragam.

Baikalah. Rencana A telah gagal. Dan aku juga tak terlalu berharap ibu dapat membelikan sepatu baru untukku. Kerena, sekali lagi, aku tahu keadaan yang tengah terjadi di keluargaku.

Meski demikian, aku tak putus asa samapai di situ. Akan kuterapkan solusi B dengan keharusan menanggung resiko-resikonya. Kali ini aku yang harus menutup muka pada seluruh kawan-kawanku di pondok. Solusi B: meminjam sepatu pada kawan.
Sampai di sini, aku juga masih kebingungan. Sepatu siapa yang harus kupinjam? Sementara seluruh kawan-kawanku juga akan mengikuti upacara bendera. Rasanya sulit mencari kebaikan di saat yang tak tepat. Tapi kali ini harus kucoba, sebab besok adalah hari H. Waktuku tinggal semalam. Kuubah mukaku menjadi tembok dan mengutarakan maksud pada temanku. Devi namanya. Kalau tidak salah dia punya dua pasang sepatu.

“Bisakah kau meminjamkan sepatumu untukku, Dev? Besok aku jadi pemimpin upacara. Sepatuku bolong dan tak dapat tertolong. Bagian depannya menganga. Pada bagian tutupnya sebagian dimakan rayap. Aku malu memakainya,” aku memelas, dengan harapan besar ia dapat meminjamkan sepatunya untukku.

“Maaf. Bukannya kau tak mau meminjamkannya untukmu. Sepatuku lagi kotor. Kebetulan tadi sore aku juga dikunjungi, jadi kutitip sepatuku pada pembantuku untuk dicuci di rumah. Sepatuku di sini tinggal satu, untuk juga kupakai besok,” jawabnya.
Lagi-lagi aku kecewa. Keringatku bercucuran. Aku tahu, sebenarnya Devi adalah sosok teman yang amat baik. Kali ini aku mengerti akan alasannya. Begitu logis dan menempatkan apa sebagai adanya. Aku beranjak setelah mengucapkan terima kasih. Kulihat wajah Devi pun ikut berduka. Solusi B juga gagal.
***

Tibalah hari H.
Seluruh ketua kelas tampak sibuk mempersiapkan masing-masing banjar pasukan mereka. Paskibraka telah gagah memakai songkok nasional yang diberi lambang garuda Indonesia dibagian pojok atas sebelah kiri, seragam putih-putih dan selendang merah, juga kaos tangan putih membalut tangan mereka. Seluruh petugas upacara yang lain, seperti: protokol, pembawa teks pancasila, pembaca UUD 1945, dan pembaca do’a telah berbaris rapi di tempat mereka. Para guru berdatangan dan menempati posisi di depan kantor. Tinggal aku sendiri yang masih bingung antara: maju untuk memimpin ataukah mengacaukan acara.

Akhirnya, dengan langkah pasti aku maju. Berjalan mengepalkan tangan bersama keyakinan dan ketangguhan. Berdiri lurus di bawah tiang bendera. Tanpa rasa malu pun memikirkan kemungkinan yang akan terjadi: bisik-bisik atau tawa kecil. Aku berdiri gagah menantang matahari, menatap tiang dengan pasti. Kukobarkan api semangat lewat sepatu bolongku yang berwarna merah.



*Dalam lomba LKTF (Lomba Karya Tulis Fiksi) Haflah Akhir Dirosah Madaris III Annuqayah. Alhamdulillah karya yang ini membawa berkah.


**Ummul Karimah adalah siswa XII IPA SMA 3 Annuqayah. Berasal dari desa Tambuko Guluk-Guluk Sumenep. Bukan perempuan keramat dan belum pernah meraih nobel. Kini tinggal di ladang jagung PPA. Karang Jati Assaudah.

02 Juli 2010

Musim di Matamu

Cukup aku bisikkan kepadamu saja pengakuan ini: aku rindu berulangkali kepada garis matamu, lokan-lokan di dalam kamar dan ikan yang rekat ke marmar. Semuanya terlanjur menyelusup dalam ingatan yang rentan. Ruangku basah oleh keringat rindu, warna yang berpadu.

Padahal, berabad-abad yang silam, telah kupenggal leher dongeng-dongeng yang berbau sayang. Tapi cinta, bukan hanya segelas air yang habis hingga tetes terakhir. Atau sebongkah tubuh yang kecut dan pasi. Tapi cinta adalah film Doraemon; di sana semua terpenuhi. Tinggal merogoh saku semua tak kan buntu.

Konon, sebelum aku terlahir, terdapat sejarah yang telah terbaca menggunakan rajah. Engkau diam-diam menyapaku mesra sekali. Tepat saat waktu berhenti. Lalu salju, semi, gugur, kemarau, dan semua musim bertemu di matamu.

Haruskah kuucapkan lagi pengakuan ini; aku rindu berulang kali kepada ikan-ikan emas yang berkejaran di matamu. Lokan-lokan dalam hutan di negeri yang ajib. Semua terlanjur menyelusup. Cinta, barangkali adalah aku.


Gubuk Cerita,
PPA. Karang Jati, 15 Juni 2010

Pak Tani, Tembakau, dan Igau

Ada mayat Pak Tani
Kering dan pucat di tengah sawah kerontang tanah-tanah
Terbungkus tujuh helai daun tembakau
Di negeri yang subur, damai, dan indah permai
Indonesia, rakyatmu ada yang terbujur
Telah gugur bersama igau anggur-anggur
Sebuah harapan yang tertoreh pada garis daun-daun tembakau



Tambuko, 30 Maret 2010

10 Juni 2010

Catatan Hijau dari Tegal Randu



“Hey, bangun! Sudah sampai,” sebuah suara menghardik jenaka.
Aku bingung dari manakah suara itu. Sepertinya aku kenal betul suara lembut itu. Ya, suara seorang kawan. Aku lalu mengucek mata dari punggung tanganku. Aku lantas sadar, bahwa aku tak sedang tidur di asrama. Suara bus, gerimis kecil, kawan di samping kursi, dan ransel yang hamil membuncit.

Aku memang sungguh terlalu. Tak sadar kalau sore tadi, aku, Ibu Mus’idah (guruku di SMA 3 Annuqayah), dan keenam teman PSG (Pemulung Sampah Gaul) lainnya telah masuk ke dalam ruangan ‘Damri’ di terminal Prenduan untuk mengikuti pameran dalam acara Maulid Hijau di desa Tegal Randu, Klakah, Lemongan, Lumajang. Ini memang penyakitku, lupa sedang tidur di mana.

Rombongan kami tiba di Lumajang pada jam 02:00 WIB dini hari. Cuaca sudah reda, namun jalanan yang basah tersiram cahaya lampu neon mencipta suasana remang-remang. Pada suasana ini aku asing, tidak kerasan, dan merasa tengah dalam bahaya. Perasaanku memang selalu aneh. Hal ini terjadi karena tempat itu begitu sepi. Namun beberapa menit kemudian, ada suara deru ban mobil berhenti. Angkot kota berwarna merah. Aku lega.

Perjalanan dari senja petang tadi begitu melelahkan. Meski waktuku kerap kali kuhabiskan dengan tertidur. Kepalaku selalu terhantuk-hantuk keca jendela. Masih terasa sisa sakitanya. Didukung lagi dengan udara dingin mencekam. Tubuhku menggil, tapi untunglah tidak terlalu karena aku mengenakan sweater tebal abu-abu kesayanganku. Aku masih ingat, saat aku melek ayam di dalam bus, aku sempat menoleh ke arah kanan, tempat Ibu Mus’idah duduk. Beliau mengenakan shal berwarna biru. Rupanya dingin tak hanya kurasakan sendirian.

Kami langsung menghentikan angkot malam itu. Lalu mulailah Ibu bernegoisasi mengenai ongkos menuju Embong Kembar, Lumajang, rumah Mbak Iklilah, alumnus SMA 3 Annuqayah. Di sanalah tujuan kami malam ini. Numpang menginap, agar malam tak menertawakan kami karena menjadi gelandangan utuh di malam buta.

Mula-mula masing-masing kepala ditagih Rp.10.000,-an. Kami menolak bulat-bulat, karena anggaran yang kami target tak segila ini. Proposal yang kami ajukan pada sekolah sangat terbatas. Kas PSG juga sedang tipis. Kami memang selalu hemat dana, karena prinsip kami: kita bisa melangkah tanpa tergantung penuh pada uang. Ibu menawar lagi Rp.5.000,-an per kepala. Tapi kini Pak sopir yang berbadan segemuk tang itu yang tidak mau. Bingunglah kami. “Inilah resikonya kalau kita sampai pada malam hari,” keluh Bu Mus.

Tuhan memang selalu sayang. Tiba-tiba ada seorang yang mengaku asli Lumajang membantu menawar pada Pak sopir.

“Rp.50.000,- saja. Bagaimana?” kata lelaki setengah baya itu membuka percakapan baru.
“Tidak bisa. Ini malam. Saya begadang meninggalkan anak istri. Masak cuma Rp.50.000,-? Rugi saya. Yo wes… Rp.60.000,- saja.” bantah Pak sopir dengan bahasa Jawa dan logat khas Lumajangnya. Lalu ia memberi harga lagi.
Aku menoleh ke arah ibu. Kerling mata beliau mengisyaratkan tanda kepasrahan. Kalau diterjemah kira-kira artinya: mau bagaimana lagi.

Kerena ijab telah berkabul, maka kami mulai sibuk mengangkut barang-barang bawaan yang amat banyak: satu koper berisi tas-tas sampah platik dan properti tim sampah plastik, satu kardus pupuk organik, dua toples besar berisi cairan KCl (Kalium Clorida) bahan tetes untuk pupuk organik dan cara contoh pembuatan pupuk organik, satu kardus berisi jubadha (makanan dari gula merah khas desa Karduluk Sumenep) yang disatukan dengna kripik singkong asli Madura, serta satu kardus berisi ayam-ayaman dari benang payet karya siswa SMA 3 Annuqayah. Sebagian kardus ada yang basah terkena percik air hujan dalam bagasi bus.

Melajulah kami bersama bola mata yang membengkak. Kantuk benar-benar selalu merayu mata untuk terlelap. Ibu tampaknya sibuk menghubungi Mbak Iklilah. Layar dan tuts handphonenya selalu menyala terang. Sesekali kami tertawa senang karena pada akhirnya kita bisa sampai. Pak sopir selalu berbincang menggunakan bahasa Jawa. Kami kebingungan. Tapi kami masih beruntung lagi. Salah-satu kawan kami yang ikut, Siti Muniratul Himmah namanya, adalah anak asli Jember. Jadi dia kami tugaskan untuk mengobrol dengan Pak sopir itu. Aku dan teman-teman yang lain membuncahkan tawa lagi mendengar obrolan mereka yang sungguh lucu bagi kami.

Kami disambut oleh seorang kawan lama yang kira-kira seusia dengan kakak perempuanku. Setelah tangan-tangan saling berjabat dalam balutan senyum, dia bersama seorang nenek tua (mungkin pembantunya) membantu menurunkan barang-barang dari dalam angkot. Suasana begitu hening. Suara jangkrik terdengar dari rawa-rawa di dekat rumah itu. Bangunan megah berwarna merah muda dengan pagar besi coklat tua mejulang gagah, sedikit memamerkan bangunan kastil. Sebelumnya aku tak punya bayangan tentang tempat yang akan kami tinggali. Aku tak sempat memikirkan itu. Yang kupikirkan hanyalah bagaimana stand kami bisa tampak canggih dan penuh seni.

Mbak Iklilah mempersilakan kami masuk ke dalam sebuah kamar. Tepat di samping kiri tangga. Sebuah kamar berukuran 7 X 7 berisi lemari kecil tempat koleksi buku-buku dan kaset DVD, satu lemari gantung berukuran besar dan sederet kasur tebal lengkap dengan selimut. Rombongan kami yang berjumlah 7 orang ini merasa malu. Itu tergambar dari langkah mereka yang grogi untuk memasuki kamar yang lengkap dengan kamar mandi itu. Aku juga malu, meski rumah itu merupakan rumah familiku sendiri. Sebelum berebah, Mbak Iik mempersilakan kami untuk makan. Tapi kami sudah makan dalam perjalanan. Jadi kami memilih untuk istirahat saja. Sementara yang lain menata pakaian, aku memilih melangkahkan kaki ke kamar mandi untuk mencuci muka sebelum tidur. Setelah tubuhku merebah, aku tak ingat apa-apa lagi.

Hari pertama di Lumajang, amat menyenangkan. Aku dan kawan-kawan diajak naik ke loteng oleh Mbak Iik. Dari sana kami dapat melihat indahnya gunung Semeru dengan asap mengepul yang menari-nari di puncaknya. Gunung itu laksana istana kayangan yang ada di atas langit. Kakinya seperti tak menyentuh bumi karena dari bawah hanya tampak asap-asap yang menyerupai awan. Dalam hati aku bergumam: subhanallah. Takjupku tak henti atas ciptaan Allah yang tak tanggung-tangguh indahnya. Lumajang yang hijau. Tak tampak bahwa di sini adalah kota metropolitan, karena udaranya begitu sejuk dan nyaman.

Lamunanku buyar oleh suara lagu India berjudul ‘Dil To Pagel Hai’ yang bersumber dari tipe recorder. Sepertinya suara itu ada di dalam kamar mandi. Rupa-rupanya terkaanku benar. Mbak Iklilah sedang memutar lagu Hindi kesukaannya. Kebetulan aku juga suka. Dari dulu kami memang tergabung dalam komunitas “Hindi Lovers”. Kami bernyanyi bersama di depan kamar mandi yang kokoh berdiri di loteng bagian belakang. Senang sekali dapat mendengar lagu yang di nyanyikan oleh artis India dalam film yang dimainkan Sahruk Khan dan Juhi Caula itu.

Kami mandi bergantian. Ada yang mandi di kamar mandi dalam, ada yang memilih di dekat dapur, dan ada pula yang memilih mandi di kamar mandi samping mushalla. Semua pekerjaan kami persingkat agar kami dapat segera berangkat ke desa Tegal Randu, Klakah. Aku sudah tak sabar ingin segera tiba di sana.

Setelah semua siap, kami lalu diajak untuk masuk ke dalam dapur. Kami dipersilakan untuk sarapan. Nasi hangat dan berbagai lauk-pauk yang bermacam-macam membuatku merasa kasihan kepada perut yang semalam meronta kelaparan. Kami duduk manis mengitari meja makan. Kemudian, terjadilah pertempuran lidah dan gigi setelah basmalah dan do’a kami bacakan sebelumnya.

Usai makan, kami bersiap-siap untuk mengangkat barang-barang ke atas mobil pik-up. Mobil Mitsubishi yang disediakan oleh tuan rumah untuk mengantarkan kami ke Klakah. Namun sebelum mobil itu melaju, kami berfoto-foto dulu di atas mobil. Senyum termanis kami pasang. Lalu, ‘klik’! sebuah gambar terbentang di layar kamera. Aku senang berfoto meski wajahku tak dapat dimodel. Tapi kurasa senyumku di kamera itu manis (hehehe…gede rasa dikit). Setelah itu kami berpamitan kepada Ibu Siyah dan Bapak Romli, orang tua Mbak Iklilah. Sedang Mbak Iik tersenyum mengiringi kami ke Klakah. Kami melaju bersama bibir yang melebar.

Selama perjalanan, gerimis tipis menghiasi cuaca pagi. Sekali lagi kami terbuai oleh keindahan tubuh gunung Semeru yang dapat kami lihat dari atas mobil. Namun kali ini aku tak dapat berkata apa-apa. Mulutku serasa terkunci oleh pemandangan ini. Sawah yang membentang luas ditumbuhi padi-padi hijau seperti bersedia menjadi beranda gunung yang pernah muntah itu. Indah nian pemandangan ini. Aku hanya bergidik miris.

Sampailah kami di tempat tujuan, desa Tegal Randu. Di sepanjang jalan, rumah-rumah penduduk sudah terhias janur kuning melengkung, ketupat, dan sampah-sampah plastik yang digantung di pagar-pagar. Awalnya kami ragu bahwa di tempat ini kita akan pameran, sebab kami adalah peserta pertama yang berkeliaran di sekitar lapangan Klakah.

Kami langsung menghubungi panitia untuk bertanya: betulkah di sini tempat pameran Maulid hijau? Kedua panitia yang kesemuanya perempuan itu mengangguk dengan sedikit senyum. Aku senang. Rupanya penduduk tempat ini ramah-ramah. Kami diantar ke tempat stand di depan sebuah bangunan tua yang ternyata bangunan itu adalah hotel untuk kami bermalam.

Teman-teman mulai menghias stand yang berukuran 2x2 meter itu. Aku ingin sekali stand kami juga dihias oleh janur kuning agar tampak bahwa kami juga merayakan Maulid Hijau. Karena tak membawa hiasan hidup akhirnya aku dan Nujaimah, sahabat sekaligus familiku yang juga ikut, ditugas untuk mencari cara bagaimana stand kami dapat terhias bagus. Aku dan Nu langsung bergegas menuju rumah penduduk. Kami memang selalu kompak dari sejak kecil. Walau terkadang kami selalu bercekcok mulut mengenai pemikiran yang tak selaras. Ia selalu mengalah, karena aku tak mau mengalah. Aku sayang kepadanya layaknya saudara kandung.

Kami menyusuri jalan kecil di sekitar taman itu untuk menuju jalan raya.

“Danau!” teriak Nu menunjuk ke arah timur.

“………” aku tak menjawab, hanya meresponnya dengan tolehan kepala.

“Innallaha jamilun…” ungkapnya sembari mengikat mata pada danau bening yang dikelilingi pepohonan hijau yang ia tunjuk. Tepat di ujung timur sana, tampak sebuah gunung membubung dengan asap mengepul dipuncaknya menjadi backgroud. Tempat ini seperti lukisan dalam kelas kami semasa MTs dulu. Tempat ini juga mengingatkanku pada cerita dalam film “Gitar Tua” yang di bintangi oleh Roma Irama, karena tempat ini bernuansa kuno namun begitu memikat.

Sejenak kami tak bersuara. Mungkin temanku itu juga sedang berkhayal sesuatu. Dasar! Kami berdua memang suka berimajinasi. Penyakit ini sampai-sampai membuat kami bermimpi membintangi film persahabatan yang diangkat dari sebuah buku berjudul “The Kite Runner” karya Khaled Hosseini. Padahal kami sama-sama tahu kalau pemain dalam film itu adalah laki-laki bukan perempuan. Ah! Kadang kami memang suka gila.

Nu mengajakku untuk meminta janur ke salah-satu rumah penduduk. Menggunakan bahasa polos dan lugu kami meminta janur dengan alasan kami bersal dari jauh dan ikut pameran. Lalu diembel-embeli dengan keinginan kami menghias stand menggunakan janur kuning. Namun ternyata permohonan kami tak terkabul. Penghuni rumah yang kami kunjungi itu menjawab bahwa ia punya pohon kelapa, tapi tak ada yang bisa naik saat gerimis seperti saat itu. Katanya takut jatuh, karena pohon kelapanya licin. Pulanglah kami dengan tangan hampa dan rasa kecewa.

Semangat kami tak putus sampai di situ. Kami tetap berusaha bagaimana kami bisa mendapat janur dan tumbuhan liar sebagai bahan untuk menghias stand. Usaha kedua kami lakukan. Sekarang giliranku yang menarik lengan Nu untuk menuju warung di pinggir jalan. Kami bertanya kepada seorang perempuan muda yang kira-kira berumur 30 tahunan di sana.
“Numpang tanya boleh, Mbak?” kata Nu membuka percakapan.

“Tentu boleh, Dik. Adik dari mana?” jawabnya sembari membuka pertanyaan baru.
“Begini Mbak. Kami ini dari Sumenep Madura, mau ikut pameran ke sini. Kami sekarang lagi butuh janur. Kira-kira di mana ya Mbak kita bisa dapat janur?” sekarang giliranku yang bicara.

“Saya punya janur, Dik. Tapi terlalu tua. Kalau sebagai hiasan saya rasa tidak bagus. Apa adik mau?” tawarnya.

“Ya, Mbak, kami mau,” putus Nu.

“Kalau yang kuning gak ada ya, Mbak?” kilahku meminta yang lebih baik. Nu mengerlingkan matanya ke arahku. Aku takut.

“Atau begini saja, adik berdua ini bisa pergi ke rumah penduduk yang punya banyak pohon kelapa. Adik bisa minta janur di sana. Rumah itu adalah milik seseorang yang punya acara ini. Dia pasti bisa bantu kalian. Bagaimana?” katanya memberi solusi.

“Baiklah! Terima kasih, Mbak. Mari…” kami berujar kompak.

Seperti mobil yang punya stok bensin penuh, kami tak merasa lelah sedikitpun untuk melangkah. Kami menyusuri jalan ke arah timur. Halaman pemilik rumah yang ditunjukkan Mbak tadi rimbun oleh rerumput hijau. Sejuk sekali tempat ini. Aku tolah-toleh ke arah sekitar untuk memperhatikan secara detail halaman panjang itu. Ada spanduk bertuliskan “POSKO PANITIA”. Rupanya tempat ini adalah posko panitia acara Maulid Hijau ini. Lalu kami melontarkan salam lembut setelah sampai di ambang pintu.

“Waalaikumsalam. Masuk, Nak! Tak usah takut,” jawab sebuah suara tua bersahaja. Terdengar nada kasih sayang dari suara lembut dan ramah itu. Maka kami memilih untuk masuk saja ke dalam ruangan.

Di dalam, tampak seorang setengah baya menginjak renta sedang duduk santai menikmati secangkir teh bersama seoarang lelaki gemuk di sampingnya. Kami dipersilahkan duduk. Beliau langsung bertanya siapa kami. Seperti biasa kami menjawab dengan polos dan lugu. Sebelum mengutarakan maksud, kakek tua itu meperkenalkan diri.

“Nyamanah guleh nikah Matruki. Tape oreng benyya’ ngolok guleh Ke Celleng,” tuturnya membuat kami terkejut karena beliau ternyata bisa berbahasa maduara.

“……..”

“Ta’ osa takerjet, Nak! Sengko’ reng Madura. Padeh ben be’en. Sengko’ dari Pamekasan,” jawab Mbak Matruki. Mungkin beliau mengerti kami sedang heran.

Setelah kami mengutarakan maksud, beliau langsung memberikan jawaban yang membuat kami tersenyum-senyum. Beliau mempersilakan kami untuk mengambil janur kuning di depan rumahnya. Namun sebelum kami beranjak pergi, kami melihat Bu Mus’idah dan Mbak Iklilah dari dalam kaca hitam yang transparan dari dalam ruangan. Ternyata Ibu Mus dan Mbak Iklilah juga ke rumah ini. Ibu tersesenyum setelah melihat kami berada di situ. Ibu langsung melapor kalau kami adalah dua muridnya. Jadilah kami berbincang-bincang panjang ditemani secangkir teh hangat.

Mbah Matruki ternyata adalah mantan Kepala Desa Tegal Randu. Beliau bercerita sekilas tentang Laskar Hijau. Beliau juga menuturkan bahwa Laskar Hijau adalah komunitas yang lahir pada tahun 2006 atas inisiatif K. Abdullah al-Kudus dan didasari atas kepedulian terhadap lingkungan. Penutup dari perbincangan kali itu adalah semangat untuk hijaukan alam. Beliau berkisah tentang masa lalunya yang penuh perjuangan untuk menghijaukan desa Tegal Randu. Aku, atau siapapun memang perlu meniru jejak Mbah Matruki yang setiap hari mewajibkan diri untuk menanam pohon. Setidaknya kita tak lupa, meski hanya sehari saja kita sumbangkan satu pohon untuk melebatkan rambut alam. Sungguh mulia pekerjaan itu. Apakah aku juga bisa? Semoga saja. Kami berempat beranjak dari rumah Mbah Matruki dengan membawa semangat dan rasa iri. Juga janur kuning dan rumput liar memanjang yang menjadi saksi atas perasaan kami.

Selama proses menghias stand kami bekerja sangat kompak dengan suasana yang sangat cair dan pernuh tawa. Sesekali aku melawak dengan versiku. Entah lucu atau tidak. Tapi yang jelas mereka semua sepertinya senang. Aku juga senang. Saat sampai pada proses menghias pintu stand dengan janur kuning, aku dan yang lain merasa kebingungan. Jujur saja, baru kali ini aku berhadapan dengan janur dalam wajah hiasan pintu. Bersama rasa bingung itu, Tuhan kirimkan seorang kakek tua kepada kami. Namanya Harryadjie BS. Kami memanggilnya Mbah saja. Selain beliau memang sudah tua, juga agar lebih dekat.

Mbah Harryadji yang merupakan seniman nasional kebetulan mempunyai stand “loka karya pembuatan topeng dari bahan organik” yang bersebelahan dengan stand kami. Pas di samping kiri stand PSG. Mbah ajarkan kami menyulap janur kuning menjadi hiasan yang sangat indah. Seperti hiasan perayaan hari raya kuningan di Bali. Habis itu beliau ajarkan kami membuat burung-burungan masih tetap dengan bahan janur tersebut. Aku dsan yang lain merasaay bersyukur dapat bertemu dengan beliau.

Usai menyulap stand menjadi ‘pesta hutan’ (hiasan yang serba-serbi dari rumput liar dengan janur kuning di ambang pintu), kami bergegas menuju lapangan untuk mengikuti pembukaan acara Mauli Hijau. Di sana, tampak penduduk berbondong-bondong mengelilingi lapangan. Dari yang tua sampai yang anak-anak membaur di sana. Sejenak kemudian, tepuk tangan meriah menyemarakkan suasana saat pembukaan resmi acara tersebut di tandai dengan 3 tabuhan gong dan pelepasan seribu burung merpati oleh bapak wali kota Lumajang. Lalu pasukan drum band mengiringi burung-burung merpati yang terbang bebas itu. Halaman kini ramai oleh suara-suara drum yang dimainakan oleh pasukan berseragam biru. Para anak-anak kecil bersorak gembira.

Malam tiba. Kami ditawari untuk menginap di hotel Klakah, tepat di depan stand kami. Kamar nomor satu yang terletak di deret paling timur. Bangunan sederhana berisi springbad, sebuah lemari kayu dan kamar mandi berukuran sempit. Sebenarnya kami menolak bermalam di sana dengan alasan kami akan dijemput oleh keluarga Mbak Iklilah. Namun karena panitia penuh rasa tulus menyilakan kami tidur di sana, akhirnya kami mau dan Ibu Mus segera menghubungi Mbak Iklilah untuk menggagalkan penjemputan.

Sementara yang lain mandi, aku, Nu, dan Khoy kebagian menjaga stand. Hingga pad akhirnya yang lain selesai mandi dan shalat. Kini sampailah pada giliranku, Nu, dan Khoy untuk menyegarkan badan. Namun kami amat kecewa setelah tahu kalau ternyata air di bak mandi telah terkuras habis. Kran air mati. Aku tambah kesal. Tapi aha! Aku punya ide. Kuajak Nu dan Khoy untuk mandi di rumah Mbah Matruki. Beliau amat baik, pasti memberi kami tumpangan mandi.

Sempat kami merasa takut karena melewati jalanan yang petang. Kami merasa asing di tempat ini, meski kami tahu di sini banyak orang Madura. Rasa takut yang kami rasakan tiba-tiba hilang saat kami melihat sesosok yang kami kenal. Mbah Matruki melambai santai dari arah selatan. Kami menghampiri beliau lalu berkeluh-kesah tentang air yang telah skarat dan akhirnya kami mengutarakan maksud inti: minta izin untuk mandi di rumah beliau. Dengan senang hati beliau menyilakan kami untuk numpang mandi.

Sungguh aku tak kerasan berada di tempat ini saat malam hari. Rasanya aku ingin melayang ke Tambuko, desa tempatku lahir, tapi Nu dan Khoy menguatkanku untuk kerasan berada di tempat ini. Dan aku bisa menerima. Nu dan Khoy tersenyum melihat penyakitku kambuh: merengek seperti anak kecil. Aku jadi malu pada mereka.

Aku membuka mata menyambut hari kedua di desa Tegal Randu. Kami tetap merasa bingung, bagaimana kami bisa mendapat air untuk mandi. Kami mencoba berjalan menyusuri tepian danau. Bermaksud untuk mandi atau sekedar cuci muka di ranu (danau) Klakah. Namun kami mengurungkan niat saat tahu tak ada tempat untuk kami mandi. Tempat itu terbuka dan kami tak mau mandi di tempat terbuka. Akhirnya niat untuk mandi kami kubur. Semua berlalu dan melangkah untuk kembali ke kamar.

Sementara yang lain cuci muka dan menggosok gigi menggunakan air kemasan, aku dan Nu memilih berkeliling ke rumah penduduk. Aku tak biasa menahan nafsu untuk mandi di waktu pagi. Rasanya badan tak sanggup beraktivitas jika tak didahului dengan mandi. Aku dan Nu memang selalu beruntung. Itu terbukti, saat kami berdua dapat tumpangan mandi di rumah penduduk. Bukan rumah Mbah Matruki lagi, tapi di rumah seorang perempuan yang mengaku juga berasal dari kota Pamekasan. Kami bersegera mandi dan cepat-cepat kemabali ke stand. Saat kami tiba, stand telah tertata rapi. Yang lain melirik iri ke arah kami. Kami berdua berlagak sombong. Lalu tawa meledak begitu saja.

Hari kedua, pengunjung lumayan banyak. Selain penduduk dan seniman-seniman yang berkunjung ke stand PSG, panitia juga tampak berkeliaran. Kami tak hanya menjaga, tapi kami juga sedikit berkampanye tentang lingkungan. Ada sebagian pengunjung yang memberi masukan untuk PSG. Kami merasa senang sekali karena rupanya masih ada orang yang peduli dengan kami. Masukan itu kami umpamakan sebagai guru. Jadi kami beruntung bila mendapatkan guru baru.

Setelah beberapa pengunjung beranjak dari stand kami, kami lalu berkunjung ke stand Mbah Harryadjie. Di situ kami diajari bagaimana membuat topeng dari bahan organik. Saat proses belajar membuat topeng aku jadi bergumam benci pada diriku sendiri yang tak dapat memfungsikan bahan yang dianggap tak berguna bagi orang lain. Mbah dapat membuat topeng penuh seni dari pelepah pohon kelapa, pelepah pohon palem, batok kelapa, dan kulit buah-buhan. Aku berjanji pada Mbah, setelah sampai di sekolah akan mengajak teman-teman untuk dapat membuat topeng juga. Mbah senang dengan pernyataanku. Beliau menyilakan kami untuk menggunakan bahan-bahan yang beliau punya untuk kami berkreasi. Dengan telaten beliau mengajari kami hingga kami bisa.

Malam ini kami memilih untuk tidak tinggal di hotel lagi. Ternyata bukan cuma aku sendiri yang merasa tidak kerasan. Kami semua sama tidak kerasan. Kami pulang ke Embong Kembar dengan mengendarai mobil Adi Putra berwarna merah cerah milik Mbak Iklilah sekitar pukul 22:00 WIB. Selama perjalanan aku tertidur. Mataku tak kuat menahan kantuk. Aku tidak menikmati perjalanan. Aku tersadar ketika telah sampai di rumah Mbak Iik. Aku melangkah gontai menuju kamar. Tapi aku tidak lupa untuk mencuci muka sebelum tidur.

Hari ketiga, aku berkesempatan melihat gunung semeru lagi. Namun aku tak jua bosan. Mungkin karena tubuhnya begitu memikat dan aku terlanjur cinta. Ah cinta, apakah betul gunung semeru adalah cinta pertamaku?

Setelah sarapan, kami bersiap untuk berangkat ke Klakah lagi. Sesampainya di sana kami menata barang-barang. Seperti biasa, pengunjung ramai lagi. Kami semua sibuk menyambut. Ada yang presentasi, ada yang sibuk memotret, dan ada pulan yang sibu tersenyum melihat banyaknya pengunjung.

Pada hari ketiga ini aku dah Ibu Mus’idah diajak Mbah Harryadjie untuk mendaki gunung Lemongan. Kebetulan Mbak Fitri, salah-satu pelukis muda terkemuka di Indonesia ingin sekali berkunjung ke rumah Mbah Tjitra, sahabat sekaligus asisten Soekarno yang kini berumur 108 dan bertempat tinggal di perut gunung Lemongan. Kukira kami akan jalan kaki, tapi ternyata kami diajak mengendari mobil milik Direktur kereta api, aku sudah lupa siapa namanya. Tapi yang jelas beliau ramah kepada kami.

Sesampainya di rumah Mbah Tjitra kami berpose bersama. aku kagum memandangi rumah beliau yang di seluruh tembok di tempeli oleh suatu benda berwarna hijau. Benda itu pernah kulihat saat bapakku memperbaiki TV rumah. Bahan itu sepertinya adalah bahan dasar televisi yang ada di dalam TV. Entah apa, aku juga tak tahu namanya.

Pagi menjelang siang, kami diajak berkeliling gunung. Mendaki Lemongan untuk menuju sebuah tempat, yang kata Mbah Harryadjie adalah tempat rebuatan orang-orang untuk menyaksikan indahnya langit senja. Aku berlari mendaki gunung. Selama perjalanan Mbah Harryadjie bercerita tentang mimpi Laskar Hijua. Katanya mereka punya mimpi menjadikan gunung Lemongan sebagai hutan buah. Setiap hari komunitas Laskar Hijau rajin menam pohon atau biji buah-buahan di perut gunung. Hingga kini banyak pohon-pohon yang menjulang tinggi di tempat itu.

Dari kejauhan aku dapat melihat pohon pisang tumbuh berjejer teratur. Kata Mbah, ada seribu pohon durian yang telah berhasil ditanam dan tumbuh di tempat itu. Katanya lagi, itu bukan untuk komunitas Laskar Hijau tapi untuk anak cucu di masa yang akan datang. Sungguh aku merasa gemas membayangkan betapa anak-anak generasai Lumajang akan senang dengan sesuatu yang ditinggalkan oleh nenek moyang mereka. Meski sepertinya hutan buah hanya di dunia dongeng, tapi kini aku dapat berkunjung lansung ke dunia dongeng itu. Senangnya dapat dikelilingi buah-buah segar di tengah hutan. Aku membayangkan bisa memetik pisang, apel, jeruk, manggis dan mangga yang sangat banyak. Ini bukan sekedar mimpi yang usai ketika kita terjaga. Tapi ini nyata adanya.

Sesampainya di tempat yang diceritakan Mbah, bestcam Laskar Hijau, aku tak dapat berkata-kata lagi. Hanya rasa takjub memandangi alam yang begitu luas tak bertara. Gunung semeru tampak amat kecil seperti telah berhasil aku taklukkan di bawah kakiku. Gunung Lemongan begitu gagah di depan mataku. Kami berfoto sendiri-sendiri sebelum berpose bersama. Aku berlaga di ketinggian. Lalu kembali menunduk ke bawah. Menyaksikan indahnya alam. Larva berwarna hitam tampak sangat jelas berada di bawah. Mungkin sisa letusan gunung Lemongan tempo dulu. Bunga-bunga tebu berwarna putih tampak lembut bergoyang-goyang diterpa angin siang.

Rasa takjub ini membuat air mataku mengalir. Sebenarnya air mata ini bukan inginku, tapi ia memaksa turun menerobos melewati dinding retina mataku. Diam-diam aku mengusapnya. Aku malu kalau ketahuan sedang menangis. Berkali-kali kuucapkan: subhanallah. Setelah itu, aku berpikir tentang keagungan Allah. Lalu aku merasa seperti selembar sampah yang tak berguna bila sisa hidupku tak aku gunakan untuk hal yang bermanfaat.

Waktu berjalan begitu cepat di tempat itu. Tak terasa, cukup lama kami berada di situ. Tapi bagiku hanya seperti mengedipkan mata dari saking asyiknya memandangi laut-laut yang terbentang indah dari ketinggian. Kini tibalah saatnya kami kembali ke stand. Berat rasanya meninggalkan gunung Lemongan ini. Namun sebelum aku beranjak aku berbisik di telinga gunung: “Aku ingin membangun gubuk sederhana di sini, suatu saat. Boleh?” gumamku lirih. Tak ada jawaban. Tapi aku yakin tempat itu mengerti betapa aku menyukainya.

Sore ini ada acara arak-arakan dan selamatan desa. Namun sebelum acara itu dimulai, aku dan ketujuh teman PSG yang lainnya diajak ke café Laskar Hijau oleh Mbah Harryadje. Mbah Harryadjie itu bukan sekedar peserta yang juga ikut acara pameran. Tapi beliau adalah salah-satu panitia yang banyak membantu kami.

Acara selamatan desa telah dimulai. Tampak para seniman berkarnaval menampilkan teater. Lalu di ikuti oleh para anggota Laskar Hijau yang siap menghanyutkan kue tumpeng ke atas danau. Kue itu berada dalam sebuah rumah-rumahan yang terbuat dari janur kuning. Mungkin sebagian orang berpendapat bahwa perkerjaan seperti itu hukumnya haram. Tapi mereka harus menarik perkataan mereka sebelum tahu arti yang sesungguhnya.

Yang sebenarnya tradisi seperti itu dilakukan agar masyarakat memiliki kepedulian terhadap danau dan lingkungan desa Tegal Randu. Alasan yang kedua adalah, berawal dari ranu Klakah yang hampir di akui oleh pemerintah sebagai wisata yang sepenuhnya menjadi hak pemerintah. Penduduk tak diberi sepeserpun dana untuk pembangunan desa oleh pemerintah. Akhirnya penduduk desa Tegal Randu berusaha merebut kembali danau dan hotel Klakah untuk dilestarikan sebagai milik desa, bukan pemerintah. Itulah alasan yang menempatkan apa menjadi adanya.

Malam menjelang. Kami dijemput untuk pulang ke Embong kembar lagi. Sampai kami merasa malu karena merepotkan keluarga Mbak Iik. Sesampainya di sana kami disambut oleh mangkok-mangkok berisi bakso. Rupanya kedatangan kami ke Embong Kembar untuk kali kesekian ini telah dipersiapkan oleh Mak Siyah. Kami menikmati hidangan di depan TV. Kebetulan malam itu ada film India berjudul “Krish” serial lanjutan “Koi Mil Gaya” kesukaanku di stasiun TV Indosiar. Kami nonton bersama. Baru setelah film itu usai, kami bergegas ke dalam kamar untuk tidur.

Hari keempat berjalan seperti biasa. Tapi kali ini adalah hari terakhir. Nanti malam acara penutupannya. Kami menikmati ranu Klakah untuk yang terakhir kalinya. Kami berfoto-foto untuk yang kesekian. Klik lagi dan lagi.

Pada hari ini aku bertemu dengan Pak Agung. Pelukis yang berasal dari Sidoarjo dan mempunyai indra keenam. Menurut cerita dari beberapa penduduk, beliau telah melukis lumpur lapindo 6 bulan sebelum lumpur itu meledak. Pak agung adalah pelukis yang dapat merasakan sesuatu sebelum kejadian itu benar-benar terjadi. Beliau dengan senang hati melukis wajah kami. Namun hanya aku dan Iir yang dilukis. Yang lain sudah tak punya waktu. Usai dilukis kami berpose bersama di ruangan yang disebut sebagai aula pameran seni rupa. Sebelum pulang aku diberi lukisan ranu Klakah oleh Bapak agung. Dengan alasan, aku adalah pemecah recor dialog bersamanya selama satu hari. Aku senang sekali dapat membawa lukisannya ke Madura.

Maugrib tiba. Kami siap berkemas untuk pulang ke Embong Kembar sebelum pulang ke Sumenep. Acara penutupan akan dilaksanakan selepas isyak. Acara penutupan tersebut dimeriahkan oleh Syukkur, pelawak yang memang sering kali meluncurkan aksi lewat kaset VCD. Aku suka Syukkur, tapi kami tak menuntaskan acara penutupan sehingga kami tak sempat menyaksikan aksi lawaknya. Kami hanya menonton hadrah, penampilan pemuda desa Tegal Randu. Suara mereka terdengar syahdu merdu. Ditambah dengan pakaian serba putih. Sepertinya pemuda-pemuda itu telah berhasil mengundang Rasulullah ke tempat ini. Bulu kuduku berdiri tegang.
Para pemuda yang menabuh rebana itu turun. Kami bergegas ke depan kamar. Di sana ada Gus Aa’ Abdullah, Lora Idi (Kiai dari desa Karduluk yang juga berkunjung ke tempat ini), dan Mbah Matruki. Mereka telah siap melepas kepulangan kami. Semua barang-barang kami angkut ke atas mobil penghantar dari panitia yang telah menunggu kami. Namun sebelum beranjak kami berpose bersama dan bercurah tentang kesenangan kami berkunjung ke tempat ini kepada Mbah Matruki. Beliau hanya tersenyum-senyum.

Sekitar jam 19.00 WIB mobil kami melaju meninggalkan ranu Klakah. Kami berlalu meninggalkan tempat itu dengan membawa jutaaan kenangan dan banyak pengetahuan yang nantinya akan kami ceritakan pada teman-teman di sekolah. Aku tanamkan janji pada angin malam itu tentang kewajibanku untuk menceritakan pengalaman ini.


Guluk-Guluk, 20 Mei 2010

07 Juni 2010

Permen dari Pulsa yang Hangus

Di dering ketiga tanda sms masuk, aku akan menari
seperti sekawanan semut merah membawa gula merah.
Pada detik kesepuluh kita akan sama-sama tahu bahwa rasa kita
laksana suara kenalpot yang meletup-letup.

Huruf dan angka yang menyala-nyala, persis cahaya memar
dalam lipatan daging yang terhantam batu.
Cahaya itu sebenarnya adalah isyarat bahwa;
rindu, cinta, dan hujan merupakan siklus yang berkepanjangan
dan tak kan pernah usai.

Di tanganku, tiba-tiba ada beberapa permen gula-gula.
Entah itu dari mana dan akan kubagi dengan siapa.
Sementara,
Sebentar lagi pulsaku hangus.
Aku takut bila tak sempat berbagi manis dengannya.
Ah! Tapi kata si Kecil aku tak boleh menjadi penakut.
Lalu bagaiman caranya agar aku dapat menunjukkan permenku
saat tuts dan layar handphone sudah tak berguna?

“Apakah engkau ingin permen-permen ini?” tak ada jawaban.

Pulsa benar-benar telah hangus, tapi denyut inginku semakin akut.
Di dering ketiga sms yang kedua aku mulai gila dan menemukan mantra baru:
“Rasaku tak kan habis hanya sampai di ujung pulsa.”



Ruang rindu,
Tambuko, 02 Juni 2010

Perempuan Ambigu

Setumpuk tahu isi berceloteh. Seorang lelaki
Sore itu jalanan membagi waris, katanya.
Separuh untukmu, separuh untuknya
Lalu sekelebat perempuan menyela kata pada senar cello
“Aku memang telah menempuh ribuan kilo meter untuk
membujuk jalan agar terbelah.”
Sesosok itu mengaku diriku
Aku ambigu

Lelaki itu mematung pada garis senyum
Perempuan itu menyeret jarak, seolah lupa
kalau mereka pernah kenal
Di jalanan, aspal berubah merah
Menjadi latar dua pasang mata

Sayang,
Suara deru sepeda motor tergesa
Adalah irama potongan adegan terakhir
Dari fragmen drama spontanitas, kali itu
Aku hanya tertunduk

Di jalanan sisa bensin tumpah dalam genangan air
tersiram cahaya lampu neon
Jalanan yang basah
“Hey! Ada pelangi di malam hari,” kata tahu isi sambil menunjuk
Aku sekali lagi ambigu


Tambuko, 22 Mei 2010

03 Mei 2010

Telettubies dalam Balutan Putih Abu-Abu

Lewatlah sudah titik kedelapan belas perjalananku. Tepatnya Senin kedua bulan April lalu. Semua berlalu begitu cepat. Masa-masa TK, SD, MTs, dan kini aku akan menaggalkan seragam putih abu-abuku. Rasanya mustahil. Baru kemarin aku menghirup angin SMA, sekarang aku sudah harus bersiap-siap untuk berkenalan dengan angin baru.

Seminggu terakhir ini, aku susah berkata-kata, merangkai aksara menjadi puisi, malas berdiskusi, atau sekedar berkumpul melepas tawa bersama kawan-kawan. Hanya air mata kegetiran yang terus ngalir bersama suara-suara mereka. Hanya itu. Tak ada yang lain.

Otot-ototku semakin terasa lemah, saat aku sadari umurku di SMA semakin berlengkesa terbawa waktu. Saat aku mengingat masa-masa indah oragnisasi di sekolah bersama Ibu Mus’idah, Nu Jaim, Iroel, Izul, Ulfa, dan kawan-kawan seorganisasi lainnya. Saat aku sadar aku tak kan lagi mendengar suara Pak Nasir di kala pagi memanggil seluruh siswa untuk masuk kelas dan berdo’a menggunakan pengeras suara.

Aku akan rindu pada semua fragmen kisahku di SMA. Juga pada sudut-sudur tempat favoritku: markas PSG (Pemulung Sampah Gaul), gang di belakang kelas, dan pohon asam yang rindang di depan perpustakaan. Terlebih saat aku tersadar bahwa aku akan ditinggal pergi oleh sekawanan Telettubiesku. Aku tak kan lagi merasakan pelukan hangat mereka: tingkah aneh Izul si Tingky Wingky, tawa Iroel si Lala, dan teriakan semangat Nu Jaim si merah Poo.

Hanya Dipsy sendirian yang melinangkan bulir-bulir putih dan bening. Sesuatu yang basah dan terasa saat ia mengusap pipinya dengna punggung tangannya. Hanya Dipsy yang merasakan hatinya terkikis oleh belati yang tajam. Hanya Dipsy yang merasakan air matanya terus mengalir melewati selokan-selokan, parit, sungai, dan akhirnya menyatu bersama karang dan pasir di lautan. Suara tangis itu amat keras dalam duninya, karena ia sadar tak kan ada lagi frekuensi Telettubies putih abu-abu. Lalu ia terjatuh di tepian ruang seraya menopang dagu dengan tungkai bawahnya.

Ia membisu dari waktu ke waktu. Namun matanya isyaratkan teriak: kawan, apa kau mendengar tangisku?


Gubuk Cerita
Guluk-Guluk, 01 Mei 2010

12 April 2010

Secangkir Kopi; Candu Rindu

#1
Malam masih belum genap umur. Di atas meja tempat kau bergadang hanya cangkir berisi ampas kopi, mungkin telah sepi dari isi. Tapi gula dan bubuk kopi, yang menari-nari dalam toples menggoda sendok untuk beirama teng-teng-teng dalam gelas. Setelah itu, mereka akan melepas aroma lewat angin yang mengepul di atas air hangat, seperti umpan.

#2
Kau amati udara yang serta-merta sibuk berlarian ke dekat hidungmu. Juga kepada ruang sunyi penuh puisi. Semua sudah tak sabar menunggu. Sementara pupil dan retina memaksa untuk mengatup kelopak mata. Semua bersipandang tanpa aksara. Namun geming hati mereka penuh ancaman: kalau saja!
Kopi memang sungguh penuh candu dan rindu.

#3
Sebenarnya apa yang kau harapkan dari malam yang panjang ini? Setelah tumpukan gelas dan sisa-sisa kopi tumpah berhasil mengundang nyamuk-nyamuk. Mungkinkah kau tengah berharap adanya sebuah kenyataan dalam perjalanan malam?
Segalanya harus ada rencana dan tour yang jelas. Bukan sekedar harapan.
Apa kau mau tersesat dengan harap bersama kopi-kopimu?
Jawab!

#4
Kawan, malam masih panjang. Meski akhirnya ia akan tiba pada saatnya. Saat cangkir-cangkir berisi kopi tengah bersedia menjadi cermin dalam sebuah pesta. Akan kusiupkan secangkir kopi gula merah yang tak biasa untukmu. Lalu nikmatilah. Sendirian…



Gubuk Cerita

Guluk-Guluk, 11 April 2010

09 April 2010

Sinestesia: Aku dan April

Bulan ini penuh pertunjukan wayang cerita Sinansari dan Mahabrata. Aku begitu menikmati kisahnya yang mengalun di antara tanggal-tanggal April. Bulan keempat yang sarat akan makna bagi tunas-tunas jagung.

April adalah bola berisi gas hidrogen yang berpijar memberikan terang dan panas bagi hidup pertamaku. Pada bulan inilah aku mengerti seberapa putih hidup ini dan seberapa wajib kita memerahkannya. April bulan putih yang membara.

Aku melihat semangat pada gerak April yang berkobar. Seolah terjadi senestesia antara aku dan ia di tubuhku. Sungguh aku ingin berbagi denganmu. Meski lewat cerita yang sulit dipercaya.



Gubuk Cerita
Guluk-Guluk, 08 April 2010

07 April 2010

Janji dalam Gelang Berempat

Kita berempat adalah bundaran manik
Menyatu dalam benang gelang coklat tua
Sesaudara, seiman, dan seperjuangan

Kitalah cahaya nyata yang akan menjadi
Surya kedua di dunia
Kitalah empat bersaudara
Yang kan terukir sepanjang sejarah
Hingga usai tanggal, bulan, tahun, dan abad
Kitalah yang akan berjuang untuk tanah air bersama

Ini bukan sumpah-serapah ataupun
kalimat dusta yag mengada-ada
Ini adalah janji sahabat berempat
Terbingkai dalam gelang berwarna millenium
Pemberian Ibu Mus’idah sejak kami menetas
dan belajar terbang di Madaris III Annuqayah

Bu Mus, gelang darimu masih kami simpan
Bersama terima kasih yang tak cukup hanya diucapkan


Guluk-Guluk, 06 April 2010
Untuk Ibu Mus’idah dan ketiga sahabatku
-bagimu teman kecilku

Datanglah seorang kawan dari
desa tetangga ke desaku
Di tangannya ia menggenggam pensil
untuk mencatat cerita-cerita hijau Tambuko
pada garis strimin jejarinya yang mungil

Diam-diam ia menyimpan rasa iri
Tapi membisik cinta dan cemburu

Hari telah sore, kawanku tetap setia
mencatat ladang-ladang hijau yang terbentang
Ibunya datang hendak menjewer
karena bermain seharian tak berpamit
Kawanku berlari di atas lumpur-lumpur yang coklat
Persis es krim rasa capucino
Lalu kejar lalu dikejar lalu mengejar
Lalu kejar-kejaran

Kawanku itu nakal, tapi ia cinta alam
Kawanku akhirnya terjatuh di bawah jebakan burung
Ia ditangkap dan dibawa pulang
Kawanku beranjak meninggalkan bekas cinta dan cemburu
Juga rindu yang memabukkan burung-burung
Lalu aku berteriak: pinanglah desaku!



Di gubuk cerita
Guluk-Guluk, 05 April 2010

Pinanglah Desaku

-bagimu teman kecilku

Datanglah seorang kawan dari
desa tetangga ke desaku
Di tangannya ia menggenggam pensil
untuk mencatat cerita-cerita hijau Tambuko
pada garis strimin jejarinya yang mungil

Diam-diam ia menyimpan rasa iri
Tapi membisik cinta dan cemburu

Hari telah sore, kawanku tetap setia
mencatat ladang-ladang hijau yang terbentang
Ibunya datang hendak menjewer
karena bermain seharian tak berpamit
Kawanku berlari di atas lumpur-lumpur yang coklat
Persis es krim rasa capucino
Lalu kejar lalu dikejar lalu mengejar
Lalu kejar-kejaran

Kawanku itu nakal, tapi ia cinta alam
Kawanku akhirnya terjatuh di bawah jebakan burung
Ia ditangkap dan dibawa pulang
Kawanku beranjak meninggalkan bekas cinta dan cemburu
Juga rindu yang memabukkan burung-burung
Lalu aku berteriak: pinanglah desaku!



Di gubuk cerita
Guluk-Guluk, 05 April 2010

26 Maret 2010

Martabak Rindu di Malam Bercakap

Sekiranya kau menyimak kembali catatan tercecer dalam kerlip lampu pasar malam lalu. Enam sekawan menukar uang dengan karcis untuk masuk rumah hantu tak berhantu. Lalu tawa, lalu canda, lalu kuda-kudaan berputar-putar.

Setidaknya kau bisa melanjutkan percakapan, kalau saja tidak kau lupakan malam itu. Dering handpone, panggilan tak terjawab, SMS masuk, dan pulsa-pulsa yang berdansa. Kalau saja. Tapi mungkin kau lupa. Ah! Sudahlah.

Sepertinya malam itu kau tahu betapa mudahnya martabak itu dibuat. Pijat-pijat bola pimpong tepung, pecahkan telur dalam gelas karet berisi bawang, kocok-kocok, goreng dalam genangan minyak yang meletik-letik. Lalu kau gigit pinggir martabak dalam lumatan rindu. Sendiri.

Semestinya kau mengajak kami untuk makan bersama-sama. Bernyanyi di beranda, melihat bintang-bintang, tertawa, atau mungkin puisi. Sementara kau tak pernah tahu bagaimana persahabatan itu seharusnya dinikmati seperti mengunyah sepotong martabak sambil menggigit cabai.



Guluk-Guluk, 25 Maret 2010

20 Maret 2010

Perkenalkan; Namaku Apa?

Enam tahun seperti tak terasa. Aku beranjak dewasa dalam status anak titipan di desa yang bukan tempat kelahiranku. Aku berkutat dengan berbagai aktivitas: pengajian, sekolah diniyah, sekolah formal, mencuci di kali, dan bergurau bersama kawan. Tanpa bosan kutelusuri rutinitas ini sepanjang enam tahun.

Enam tahun seperti tak terasa. Pertengahan musim hujan yang sama. Embun-embun menetes dari pucuk daun mangga di depan gubuk, langit sore yang memesona dengan semburat pelangi usai gerimis, suara air berkejar-kejaran, dan bulan temaram di balik daun-daun jati. Sungguh keelokan Karang Jati telah membuatku terkapar pada kalimat subhanallah.

Enam tahun seperti tak terasa. Bapak dan Ibu menyambangiku setiap minggu. Berkumpul di tempat yang sama–––ruang tunggu di balik gubuk kantor. Mereka berkunjung untuk sekedar membawakanku serantang nasi dan lauk-pauk, menanyakan keaadaanku, serta mereka sempatkan bercerita tentang keaadaan sanak famili di rumah yang tak bisa ikut berkunjung. Tanpa keluh mereka jadikan ini sebagai rutinitas wajib.

Enam Tahun seperti tak terasa. Perjalananku ramai tapi kurasa kosong. Enam tahun lamanya dari tahun 2004 lalu aku diperintah untuk mencari jati diriku. Tapi sampai saat ini aku masih bingung bagaimana caranya untuk melihat diriku dari luar atmosfer. Aku tak tahu bagaimana cara mengeppakkan sayap dan cara terbang yang baik. Hingga sampai detik ini aku tak tahu arti diriku. Kawan bila kau tahu caranya, maka ajarila aku!



Guluk-Guluk, 20 Maret 2010.

18 Maret 2010

Korket Hangat Menyambut Pagi

Pada sebuah pagi dini di bulan Maret, semerbak wewangi bunga-bunga menusuk hidung. Tambuko tampak riang menyaksikan angin yang asyik bersenda gurau bersama burung-burung. Sesekali angin yang berdesir-desir itu mengendap-endap masuk ke rumahku melewati jendela untuk meniup tubuhku yang terbungkus mukenah.

Aku merasa pagi juga ingin bermain-main denganku. Maka untuk sebuah permintaan yang tulus aku lekas membuka mukenah dan beranjak mengajak nenek untuk lari pagi. Nenek mengabulkan permintaanku.

Aku dan nenek menyusuri jalan panjang yang tak berujung. Menikmati indahnya butir-butir air yang berlindung di ujung daun padi. Sisa-sisa gerimis semalam ternyata telah menitik dalam embun tipis pada rumput-rumput hijau. Kami juga terlena oleh suara air yang mengalir dari parit di tepi jalan. Mereka terasa menyapa pagi yang bersahaja.

Rumah-rumah tampak kabur terselimuti kabut putih yang begitu tebal. Hingga orang-orang yang berlalu di kejauhan tak dapat dikenali. Setelah orang-orang itu berpapasan secara jarak dekat, barulah aku tahu kalau mereka adalah pedagang keliling di pagi hari.

Para penjual itu adalah pahlawan pagi. Mereka menawarkan dagangan berupa: kalepon cettot, peslopes, anak ayam, korket, dan leppet sebagai penawar rasa pahit mulut sisa-sisa mimpi semalam. Berpapasan dengan mereka membuatku membayangkan betapa nikmatnya korket hangat bila dicelup pada sambal pedas.

Di antara para penjual itu, ada yang ku kenal. Nyi Hatip namanya. Sejak kecil aku memang sudah terbiasa menunggunya di beranda rumah. Ketika ia datang dengan nampan di atas kepala, aku memanggilnya. Sementara ia menunggu, aku bergegas menuju ibu yang masih berada di atas sajadah. Kutengadahkan tangan. Lalu ibu memberiku uang recehan sebesar Rp 500,-. Saat itu korket seharga Rp 100,- jadi aku bisa mendapatkan lima buah korket.

Nyi Hatip memberiku 7 buah korket dibungkus plastik. Aku langsung menerimanya begitu saja karena aku belum mendengar isu tentang lingkungan. Yang sebenarnya bila kutahu dari dulu tentang bahaya sampah plastik, niscaya aku akan menerimanya menggunakan dua tanganku saja. Akhirnya aku hanya tertawa girang menerima bonus dua korket dari Nyi Hatip.

Aku menyudahi penyesalanku di masa kecil yang tak pernah dididik untuk tahu dari mana dan akan ke mana sampah-sampah itu. Kini aku sudah besar. Aku harus tanamkan tekad kuat untuk menjadi pahlawan alam.

Cukup lama aku berjalan-jalan kembali ke masa kecil. Aku sampai lupa kalau di sampingku ada nenek. Ia tampak serius. Aku menoleh dan memperhatikan bentuk wajahnya yang bulat. Beberapa garis di jidat dan satu tarikan kendor di pipi kanan dan kirinya membuatnya tampak sangat tua. Namun aku tak bisa memungkiri bahwa ia adalah gadis yang amat ayu di masa mudanya. Itu tampak dari hidung mancung dan bibirnya yang bergaris sensual.

Sayang aku tak mirip dengannya. Sementara sepupu-sepupuku banyak yang mirip. Tapi inilah takdir Tuhan: menciptakan seorang Ummul yang berwajah pas-pasan. Aku cukup bersyukur atas karunia yang amat indah ini, sebab beruntunglah aku yang tidak ditakdirkan menjadi perempuan cacat atau idiot. Aku hanya berharap semoga suatu saat nanti ada seseorang pangeran Wortel yang mencintaiku tanpa syarat. Ah! Aku jadi malu berbicara tentang cinta.

Rupanya tatapanku yang tak sebentar itu membuat nenenk tersadar. Karena aku takut ia bertanya sesuatu, maka aku berpura-pura mengambil bulu matanya yang jatuh di pipinya.
“Kakek merindukanmu di alam sana, Nek. Nih bulu mata nenek jatuh,” kataku meyakinkan.
“……”
“Nenek, sebenarnya aku ingin tahu wajah kakek.”
“Sebuah foto saja nenek tak punya. Ia sudah pergi saat kau berada dalam goa ibumu. Waktu itu umurmu baru 4 bulan,” jelas nenek.
Kini giliranku yang diam.
“Nenek juga merindukannya,” ungkap nenek, jujur.
“Aku mengerti,” sambungku pelan.

Aku berujar layaknya orang dewasa. Padaha kata orang aku masih bau kencur. Tapi untuk masalah ini aku mengerti bagaimana rindu nenek bergerak, sebab pada uratnya yang berbisik aku dapat merasakan sebuah kerinduan mendalam. Kami menunduk tanpa suara beberapa saat.

Tiba-tiba saja dari korket menuju rindu. Aku sadar sepenuhnya bahwa pagi ini aku benar-benar memanjakan lamun. Beberapa kisah tentang masa lalu telah selesai kuputar.

Perjalanku pagi ini cukup panjang. Bersama nenek telah ku habiskan embun yang mesra dan bersahaja. Nenek mengajak pulang. Kami berlalu bersama kabut yang terbunuh oleh jarum cahaya surya. Aku bersiap menyambut pagi dengan korket hangat Nyi Hatip.




Tambuko, 03 Maret 2010

17 Maret 2010

Mengintip Setan Bermain

Jam 01:23 WIB.

Malam di bulan Februari, untuk alasan yang tidak diketahui, mataku sulit mengatup. Suara angin mendesau dipadu dengan suara tokek di kejauhan membuatku memeluk ibu yang pulas di samping kiriku. Kutarik selimut tebal berwarna merah hingga ujung kepala. Aku memilih berlindung di bawah naungan selimut saja dari pada membangunkan ibu.

Fikiranku bertarung dengan batin waktu itu. Saat suara cicak juga berpartisipasi megusik hening malam. Ditambah lagi dengan tabuhan gayung dan suara byar-byur air di kamar mandi. Bulu kuduku berdiri tegang. Aku merasakan mereka semua ingin lari tapi tidak bisa.

Dua menit setelah kupejamkan mata dan menekuk tubuh, akhirnya aku penasaran akan suara-suara yang bersumber dari kamar mandi itu. Benarkah setan bermain-main di malam hari? Kalau iya, aku ingin mengintip mereka malam ini. Sebelum semuanya terlambat. Sebab mungkin besok malam setan-setan itu tak nafsu untuk bermain.

Demi sebuah keinginan, akhirnya dengan terpaksa aku membangunkan ibu dengan alasan hendak buang air kecil. Ibu tak menggerutu, tapi lantas bangun dan melangkah gontai di depanku. Aku juga melangkah perlahan bersama dag-dig-dug jantung yang mengalahkan suara gendang India pada sebuah pesta pernikahan. Ibu menoleh karena aku tertinggal. Ia mengerti kalau aku ketakutan.
“Ayoh, cepat!” perintah ibu.
“Anu… sebenarnya Ummul cuma ingin tahu siapa yang bermain air di kamar mandi, Bu,” ungkapku lirih dan menunduk. Aku takut ibu marah karena aku lancang membangunkannya. Apalagi dengan alasan mengintip setan.
“Memangnya ada suara apa?”
“Suara byar-byur dan gayung dimainkan.”
“Ah kamu, Mul! Itu hanya halusinasi kamu saja. Kamu sendiri yang mengundang suara-suara itu,” tuduh ibu.
“Tapi, Bu… suara itu benar-benar ada,” kilahku.
“Ya sudah. Kalu kau memang penasaran, ayo kita intip bersama-sama.”
Aku mengangguk mantap. Rasa takutku sedikit terhapus oleh kekompakan dan semangat ibu.

Kini kami bagaikan dua sekawan yang tak gentar meski halilintar menggelegar. Tekadku makin bulat. Ibu tersenyum-senyum geli melihat diriku yang berapi-api.

Hanya 15 langkah saja kami sudah tiba di depan kamar mandi. Pintunya terkunci rapat. Sedang suara gemercik air semakin jelas dan nyaring. Oh, kini aku semakin yakin kalau ada hantu di dalam ruangan itu.

Aku dan ibu berjinjit menuju sumur di samping utara kamar mandi. Kami merapatkan tubuh di tembok untuk mendengarkan suara-suara selain percikan air. Sungguh kami amat kompak, hingga rasa takutku berganti penasaran: kapan pintu akan dibuka? Siapakah yang akan keluar?

Sesaat kemudian suara engsel pintu beradu membuat kami tak bersuara. Langkah-langkah tertatih semakin membuat mataku melebar. Kupeluk ibu dari belakang. Erat. Kurapatkan mata.

Suara seorang kakek tua terbatuk-batuk tiba-tiba membuat kami sadar kalau yang kami intip itu ternyata kakek sedang berwuduk untuk shalat malam. Beliau membetulkan lengan bajunya seraya tersenyum memandangi kami yang bertingkah serba salah.

Aku dan ibu saling lempar pandang. Ibu melotot geram ke arahku. Lalu ia menjewer telingaku dengan hangat dan penuh kasih sayang. Aku mengerti ia malu pada kakek.
“Ini akal-akalanmu saja, Mul. Ibu jadi ikut-ikutan pensaran. Kamu pintar merayu, padahal ibu tak pernah mengajarimu seperti itu.”
Aku tersenyum tak menjawab. Aku sadar bahwa aku salah. Tapi ibu tak marah. Ibu malah mengacak-acak rambutku. Aku senang.
“Kalau begitu mari kita ambil wudluk untuk sebuah shalat malam. Kita wajib minta maaf pada Tuhan karena percaya akan adanya hantu gentayangan. Habis itu kita minta maaf kepada kakek karena telah su’udzan,” ajak ibu.

Sekali lagi kupeluk ibu bersama malam yang penuh cahaya gemintang. Bulan tersenyum ke arah kami. Ia mengerti, karena sedari tadi ia memperhatikan langkah kami.




Guluk-Guluk, 25 Februari 2010

13 Maret 2010

Berkenalan dengan Rindu

Dalam perjalananku menuju titik dewasa, aku dapat merasakan betapa keras ingin tahuku merangkak saat balita. Lalu mulailah ibu mengajariku cara berjalan dan berlari cepat secara tekun. Berulang-ulang setiap hari sampai aku bisa. Bahkan ibu tak pernah mengeluh atas keringat dingin yang tersirat saat mengganti popokku usai kukencingi. Hari-harinya hanya repot memikirkan bagaimana aku bisa tumbuh menjadi manusia dewasa yang beretika.

Kini aku ingin katakan pada ibu bahwa saat ini aku mulai mengenal rindu. Diam-diam seseorang telah berhasil meniupkan rindu di sela-sela bantal malam-malamku. Ia juga berani mengubah sekenario hidupku yang nyaris berantakan dan menaburi bintang-bintang di hatiku yang hampa dalam kegelapan. Aku bagai manari di tengah hamparan salju putih.

Aku tidak menyadari sejak kapan rindu itu menyelinap masuk ke dalam rumahku. Tiba-tiba saja ia datang menelusup ke dalam lubang jendela pori-poriku. Dan aku telah berhasil dibuatnya senang bercermin.

Rindu ini bukan inginku. Dan aku yakin dia juga tak pernah berharap. Tapi Tuhan yang mengatur kisah kita. Hingga aku ingin melintasi alam azali barang sebentar untuk melihat kisah seperti apa yang telah kuatur bersama Tuhan, dulu.

Akhirnya kusadari sepenuhnya bahwa kita adalah kisah yang mengatur dan diatur. Cukup menjadi langkah yang teratur saja untuk mengatur keseimbangan kita dalam berenang di laut Tuhan.

Sekelumit kisah berkenalan dengan rindu ini adalah sebuah dentuman keras dalam hidupku. Aku tak dapat mengelak dari karunia Tuhan yang penuh warna ini. Namun aku selalu berdoa agar Tuhan membangunkan tembok kokoh dalam hatiku yang akan menjadi benteng bagi dunia remajaku. Sebab aku tahu tentang jalan lurus untuk mencintai: menolak ketika ingin dan berkata tidak ketika mungkin.

Lalu, aku ingin berbisik di dekat telinga ibu: “Ibu, apakah aku sudah dewasa?”



Guluk-Guluk, 12 Maret 2010

05 Maret 2010

Membelah Topeng

Mad, nyala matamu adalah kunang kunang, malam itu
;saat kau menjelma katak bertapa dengan mahkota
Gigil angin menyapu telingaku
Lembut
Kau pintar meniup rasa
Kau lihai membisik kata
Tapi bagiku
Tak perlu kacamata untuk ku mengikat mata
Sebab aku tak rabun untuk
melihat tubuhmu yang biru, jernih, cahaya, dan panas
(hanya, aku takut terbakar…)

Ssst!
Suaramu berisik, Mad
Seperti tak tik hujan yang jatuh di seng kamar mandi
Hampir kau buat aku luluh oleh abjad
yang kau pahat pada relung relung rumah kayuku
Untuknglah
Tuhan masih melekat dalam urat
Hingga topengmu dapat kubelah




Guluk-Guluk, 04 Maret 2010

Rindu Belum Pecah

Seharusnya ku tatap wajahmu hari ini
bersama mekar bunga yang basah oleh gerimis
embun di pagi buta

Seharusnya ku tatap senyum mendalam detik ini
bersama nyanyian burung yang berpindah
dari ranting ke ranting
Seharusnya rindu ini telah tumpah
Saat dimensi mengadu gelas gelas kaca menjadi
pecah
Tapi terkadang harap itu musuh
Dan pertemuan ini adalah harap yang menikam




Guluk-Guluk, 18 Februari 2010
Bersama kepingan rindu

Dentuman Rasa

Galaksi itu ada di matamu
Retak menyembur pecahan pecahan kaca
Halus menusuk;
di bilik kanan dan kiri jantung
Berdegup darah
Muncrat nanah
Lalu,
Terdampar ke langit luas malam
Darah nanah bercampur gula bintang bintang
Manis
Tapi tetap amis



Guluk-Guluk, 02 Maret 2010

Buyutku Bukan Materi

Dalam dimensi sudut barzah
Buyutku berlingdung pada stomata daun pakis
yang berjejer rapi menghias kali bening
lumut lumut basah oleh ludah
Berhentilah meludah!
Buyutku memang hanya menantu
tapi ia juga raja
yang memenda selendang rakyat
dari tanah ke atas bahu

Buyutku yang agung,
Adakah dulu kau melepas diri dari materi?
Memecahnya bersama pecah
Mengirisnya bersama iris
Adakah kau melebur materi bersama tanah?
Menguburnya dalam lemari
Menginjaknya dengan kepala
Buyutku,
Semoga kalu tak lagi materi
Sebab materi adalah bahan bakar neraka




Guluk-Gulu, 19 Februari 2010
Yang berharap membus sejarah dan waktu
Yang berharap bertemu dengan buyutnya

Lelaki Angka Angka

Lelaki itu
yang meniupkan rindu
di sela sela bantal malam malamku
Lelaki itu
yang hadir
dengan sihir bermantra gigi putih
mampu membuatku mabuk dalam mimpi
hingga dejavu di negeri nyata
Lelaki itu
yang mengajariku berjalan
dari bukit
menuju surau tempat kekal kami
bersemayam
Lelaki itu
adalah guru
namun ia tak bisa menerjemah puisi
sebab di tangan kirinya hanya angka angka





Guluk-Guluk, 5 Januari 2010

24 Februari 2010

Bola-Bola Air yang Bernyanyi

Oleh: Ummul Corn

Aku dapat melihat pelangi dalam sebuah botol. Botol itu bukan botol ajaib, tetapi hanya berisi 600 ml air. Di dalamnya berisi bola-bola kecil yang berwarna-warni dan setangkai ranting patah dengan beberapa daun hijau.

Bola-bola itu lucu dan menggemaskan. Aku dapat melihatnya tersenyum dan menari-nari di bawah terpaan cahaya gubuk. Sesekali mereka dapat menghiburku kala aku lara. Aku dapat merasakan mereka bernyanyi ketika botol itu kuposisikan di dekat telinga. Hal ini terkadang aku lakukan saat aku hendask tidur. Mereka seperti menggantikan nenek membacakan shalawat sebelum tidur.

Bila kau rindu padsa semua orang; ayah, ibu, kakak, nenek, Alya dan Upik---ponakanku, dan semua orang lainnya, wajah mereka seolah terbentang menjadi siluet dalam bola-bola itu. Tawa geli mereka masing-masing menyapaku dengan penuh kasih secara serempak. Bola-bola itu dapat mengobati rinduku pada semua orang. Aku dapat membunuh sepi bersama warna-warna meereka yang penuh suara.

Sungguh ini pernyataan yang sulit dipercaya, namun aku berkata jujur dan membiarkan apa menjadi adanya. Entah kau percaya atau tidak, tapi yang jelas aku ingin katakan bahwa bola-bola itu benar-benar bernyanyi dan sarat akan inspirasi.


Guluk-Guluk, 22 Pebruari 2010

Di gubuk Ceria

19 Februari 2010

KITA ADALAH ROBOT

Pada sebuah jembatan sore
Kau tengkurap di atas hamparan karpet merah
Kuda putih menari-nari di punggungmu
Aku berada di bawah cahaya bulan
Yang violet
Matamu
Juga pedangmu
Kita bertemu di rel kereta api siang bolong
Bohong
Khayal
Semua jadi kacau
Balau
Kau tertawa
Ada apa?
Aku menangis
Mengapa?
Pada sebuah keadilan
Kita tak pernah bertemu
Kau sore keemasan
Aku malam pekat
Siang itu rumah mereka
Pertemuan kita bohong!
Kita semua tidak gila
Tapi robot