28 Juli 2009

AIR MATA

“Nenek ceritakanlah kepadaku tentang mengapa ayah pergi dan mengapa pula ibu sering kutemui dalam keadaan sesenggukan di kamar!” Kata Qarin pada neneknya sebelum tidur.
Di mata perempuan berumur 65 tahun itu terbentang bayang-bayang lama yang begitu pilu. Di matanya pula ada gurat lara yang mendalam hingga tetesan air suci dari kedua bola bening itu mengalir. Tik, tik, tik. Membasahi pipi Qarin yang sedang merebah di dadanya.
“Baiklah.” Kata perempuan tua itu kemudian. Wajah tegar selalu bersahabat senyum. Ia menatap bangga pada cucunya yang kini berumur 8 tahun, yang sedari dulu sulalu menjadi peraih prestasi tahunan disekolahnya. Bahkan ia merasa selalu kejatuhan bintang. Cucu yang merupakan anak dari anak pertamanya. Aini.

Siang itu, sekitar pukul 13.00 matahari benar-benar telah berhasil menggigit seorang perempuan bernama Nur. Tapi tampaknya ia riang saat berlari-lari kecil menuju gerbang rumahnya. Bahkan ia bernyanyi-nyanyi santai tak mau peduli dengan ganasnya matahari. Kemudian diselingi dengan merentangkan kedua tangannya. Wajahnya mendongak menatap langit, angkuh. Namun sesaat kemudian, tiba-tiba angin berhembus membelai rok panjangnya yang berwarna dongker dan baju putih lengan panjang ber badge warna merah di lengan kanannya. Ia tersenyum menatap ibunya yang sedari tadi mengikat pandang kepadanya dari pintu. Lurus dengan gerbang yang Nur lewati. Perempuan setengah baya itu melebarkan bibirnya---mengerti akan anaknya yang kini sedang merasakan sesuatu yang manis. Kemudian ia pun merentangkan kedua tangannya, menyambut putrinya dalam dekapan hangat.

Mendekap Nur yang merupakan impian lamanya telah tewujud, karena sejak kecil Nur menjadi perempuan yang jarang tersenyum. Ia tak suka keramaian, sedirilah yang menjadi pilihannya. Murung di kamar telah menjadi kebiasannya. Tak ada yang mengerti tentang hidup Nur. Bahkan Aini, saudara kandung selisih 3 tahun dengannya juga tak dapat menerjemah hidup Nur.
Nur adalah perempuan misterius yang bila orang ingin mendengar suaranya maka harus “membeli”. Bila ditanya oleh ayah atau ibunya ia hanya menjawab seperlunya saja. Sepatah atau dua patah kata saja. Kosa kata yang sering ia gunakan adalah: ia atau tidak. Yang lebih parah terkadang ornga yang menjadi lawan bicaranya hanya mendapat respon anggukan atau gelengan kepala. Hingga para tetangga menjulukinya dengan sebutan anak aneh. Dan sebutan itu membuat keluarga Nur merasa tak enak, namun Nur tak acuh dengan julukan yang disandangnya. Menurutnya itu hanya angin lewat.
“Nur kamu kenapa, Nak?” Tanya ayahnya suatu ketika. Nur tak menjawab. Ia hanya menatap ayahnya beku kemudian berpaling dan berlalu pelan menuju kamarnya. Letaknya di samping kamar Aini. Ayahnya hanya geleng-geleng kepala memikirkan kebiasaan Nur itu. Ia jera untuk bertanya lagi.
Konon Aini sering kali mendengar Nur berbicara sendiri di dalam kamar. Bahkan pernah pula suatu ketika Aini memberanikan diri mengintip Nur dari celah anak pintu. Katanya Nur menatap dirinya di cermin. Lama sekali. Kali itu Aini celaka. Ia tak sengaja menjatuhkan vas bunya berukuran kecil di depan kamar Nur yang berposisi di atas meja mungil. Nur marah besar. Bukan karena jatuhnya vas bunga kesayangannya, melainkan ia malu karena Aini mengintipnya. Keesokan harinya Nur tampak marah dan tak menyahut sapaan Aini. Sekitar 3 hari lamanya. Bagi Aini itu hal biasa karena keseharian Nur memang jarang menyapanya. Sampai-sampai teman-teman Aini tak percaya kalau mereka itu adalah saudara.
Sedari kecil Nur dan Aini bagai kucing dan tikus. Kadang yang mereka ributkan hanya hal-hal sepele. Berebut kue-kue basah buah tangan ibu mereka dari pasar yang tak dibagi rata dan baju lebaran yang berbeda harga. Anehnya yang sering kali mengajukan gugat adalah Nur. Ya, hanya waktu bertengkar saja ia mengeluarkan celoteh yang panjang lebar untuk kakanya. Atau barang kali sedikit menyinggung ibunya.
“Ibu memang tak pernah adil. Baju-baju kakak selalu bagus dan mahal, sedangkan untukku hanya baju murahan dan pasaran. Sebenarnya aku ini anak siapa?” Katanya pada Aini berharap ibunya mendengar perkataanya. Tak sempat ibunya menjelasakan semuanya Nur telah hilang ditelan pintu kamarnya. Nur marah tapi baju itu pasti ia pakai ketika hari raya tiba. Protes Nur hanyalah luapan emosi sementara saja.
Persaudaraan Nur dengan Aini memang tak pernah tak mengenal pertarungan, tapi masing-masing dari mereka mempunya cara tersendiri untuk mengungkapkan kasih sayang mereka. Itu terbukti saat Aini ulang tahun, Nur meletakkan selembar kertas kecil di atas meja belajar Aini. Kertas itu bertuliskan: “Selamat ulang tahun kakakku yang aku banggakan”. Aini merasa paling beruntung memiliki adik kandung seperti Nur, walaupun tak jarang mereka beradu mulut.
Hari kelahiran Nur dengan Aini bertolakbelakang. Aini hari Ahad dan Nur hari Senin. Jadi tak heran bila Nur dan Aini seringkali beradu mulut. Walau begitu Nur juga pernah membuat Nur menangis haru. Saat Nur ulang tahun, aini pun membalas surat yang pernah Nur berikan padanya. Beginilah isi suratnya:
”Maaf bila samapai detik ini aku belum bisa menjadi kakak yang baik utukmu. Tapi satu hal yang harus kamu tahu: tidak ada seorang pun di dunia ini yang tak menyayangi adiknya sendiri. Aku bangga memilikimu. Aku bangga pada semua yang ada pada dirimu. Semoga mimpi-mimpimu dipeluk oleh Tuhan.Ini adalah hari bahagiamu. Hari ini adalah milikmu. Jadi hari ini bahagiakanlah orang lain. Lebih-lebih orang yang ada di sekelilingmu. Karena kebahagiaan itu seperti sebuah kecupan. Kamu harus membaginya jika ingin menikmatinya.Kita seperti anjing dan kucing. Tak pernah akur dalam jangka yang lama, tapi kita sama-sama tahu bahwa sebenarnya kita saling menyayangi. Cuma, kita memiliki cara tersendiri untuk mengungkapkannya. Aku akan menyayangimu dengan caraku sendiri.
Kuharap kamu dapat menerima ini semua, karena mungkin kita ditakdirkan menjadi sepasang saudara yang unik oleh Tuhan. Adikku, sekali lagi aku menyayangimu”.
Begitulah isi suratnya. Nur membacanya sambil sesenggukan. Aini pun mengahampirinya dan memeluknya erat-erat.

Betapa tidak terkejutnya ibu Nur melihat putrinya berubah siang itu. Putri yang selalu memonyongkan bibir itu kini menebar senyum dalam dekapannya.
“Anakku yang ibu cintai, kuharap kamu dapat memilih sikap seperti ini untuk hari-hari selanjutnya. Buanglah hari kemarin yang ibu anggap lelucon aneh.” Kata ibu Nur dengan memegang kedua pipi putrinya. Nur mengangguk tersenyum pasti. Ubun-ubun seorang ibu akan sejuk bila anaknya menjadi penurut dan solehah.

Seminggu setelah hari itu, Aini dipinang oleh seseorang yang memiliki rupa tak tampan dan tak jelek. Lelaki itu adalah tetangganya yang dua minggu lalu datang dari tanah Jawa, Bondowoso.Namun justru pertunangan Aini membuat Nur menekuni ritualnya yang dulu lagi. Besemedi di kamar tanpa senyum, tanpa mengeluarkan ucap. Nur telah menjemput hidupnya yang dulu. Bapak dan ibu Nur tak tahu mengapa anaknya berubah lagi. Mereka juga tak tahu apa yang harus mereka lakukan. Nur sering mereka temui dalam keadaan muka memerah dan mata bengkak.
“Mengapa sekarang anak kita tambah parah, Pak?” Kata ibu Nur lirih.
“Entahlah, Bu. Bapak juga tak mengerti apa maunya. Tapi bukankah ia anak kita? Dan pasti ia memiliki sifat seperti masa remaja kita? Mungkin…”
“Mungkin sama seperti ibu? Begitu kata bapak? Potongnya. Kemudian suaminya menggeleng.

Pertunangan Aini tak berlangsung lama karena Fayat---calon suaminya telah mengajukan permohonan segera kawin. Bapak dan ibu Aini tak mempunyai alasan lain untuk menolak lamaran lelaki yang terkenal mandiri itu.
Acara pernikahan berlangsung, namun Nur masih mengunci pintu juga mengunci mulut. Ia meletakkan sepucuk surat lagi di kamar Aini: “Kak, hari ini milikmu. Namun aku sakit. Tak dapat keluar kamar”.
Aini tak tahu Nur sakit apa. Yang jelas Aini tak dapat masuk ke kamarnya untuk menanyakan keadaan saudaranya. Aini hanya mengintip Nur yang sedang terbaring dalam isakan.

Tupai memang pandai melompat, tapi ia tak kuasa bila ia tersandung. Ia akan terjatuh jua. Ibu Nur menemukan 3 foto Nur bersama seorang lelaki didalam guci hias yang besar saat ia membersihkan ruang tamu. Ia membaca kata-kata mesra di balik foto itu. Ternyata hari itu Tuhan memberi tahu padanya tentang mengapa Nur bahagia kemudian murung kembali.

“Qarin, kau pasti masih tak mengerti tentang foto-foto itu.” Kata nenek Qarin dengan membiarkan jari-jarinya menari di sela-sela rambut Qarin.
“Maka lanjutkanlah ceritamu, Nek!”
“Untuk cucuku tersayang.” Perempuan tua itu tersenyum.

“Ternyata foto-foto laknat itu yang membuat nenek menderita karena rindu pada senyum tante Nurmu. Sebab foto-foto itu pula ibumu dengan ayahmu sering kali memecahkan gelas di dapur. Kemudian ayahmu pergi dari rumah ini. Meninggalkanmu saat usiamu lima tahun.”
“Lalu kenapa hanya gara-gara tiga foto itu? Aku makin bingung saja, Nek?” Tanya Qarin sambil menguap.
Angin semakin merayu mata untuk terpejam. Perempuan itu berat menjawab pertanyaan cucunya. Dan…
“Entah percaya atau tidak bahwa foto lelaki yang bersama tantemu itu adalah seorang yang pernah meminang ibumu. Lelaki itu papamu, sayang.”

Malam semakin menua. Anginpun berhasil menyelimuti rumah-rumah. Qarin terlelap dalam pangkuan neneknya. Neneknya pun tak tahu apa ia mendengar ending cerita itu atau tidak. Yang jelas perempuan keriput yang mempunyai tahi lalat di tengah-tengah dagu itu takut bila besok pagi Qarin meminta agar ia menceritakan tentang foto-foto itu lagi.*)


Guluk-Guluk, 23 Juni 2009
*) Ummul Corn adalah santri PP.Annuqayah
Daerah Karang Jati Assaudah Putri.

Sepotong Kisah Tentang Saya, Perjuangan, Tantangan, dan Nyawa

Saya tidak tahu dari mana saya harus memulai kisah ini. Yang jelas, saya ingin katakana bahwa tak ada 1 pun dari kisah saya dengan tim gula merah yang tak berkesan. Lebih-lebih saat saya merasakan indahnya kebersamaan. Serasa saya tak ingin berpisah dengan mereka. Saya selalu ingin berpegangan tangan, berjalan seiiring menendang batu kerikil tajam---para manusia yang tak bertanggungjawab dan seenaknya merusak alam demi kepentingan modal tanpa peduli nasib sahabat yang selama ini setia memberikan yang terbaik untuk kita. Alam, aku mencintaimu seperti gerimis melukis pelangi di sore hari. Aku berjanji demi sebutir air matamu yang menetes, aku akan membuatmu kembali hidup tenang.
Perjuangan dalam 1 tim begitu keras. Demi belajar tentang lingkungan untuk memperluas wawasan, mereka mengkliping data, mengadakan acara penguatan kapasitas, mengikuti berbagai acara lingkungan, membaca buku sampai larut, bahkan lewat tengah malam pun tak terasa. Inilah awal mula kami bergerak. Hingga semangat kami untuk damaikan alam juga begitu keras seperti baja.
Dalam mengikuti lomba ini, ada beberapa hal baru yang saya temukan. Di antaranya saya dapat belajar lebih dalam tengtang kepenulisan melalui acara yang diadakan oleh BPM PPA (Biro Pengabdian Masyarakat Pondok Pesantren Annuqayah) yang bertajuk “Success Story” dan dikhususkan untuk peserta tim proyek SCC. Pada awalnya saya memang sudah mengenai dunia tulis menulis, tapi dalam acara itu saya mendapatkan tambahan ilmu dan selalu berusaha untuk belajar memahami apa yang saya cerna. Ternyata akhirnya lebih bisa dari yang sebelumnya. Dari pengalaman berharga ini saya dapat merasakan bahwa kita tak boleh puas dengan hasil yang kita peroleh. Ya, kita harus selalu ingin tahu tentang hal-hal yang baru.
Perjalanan kami tak semulus kaca. Bila kaca bening dan licin, namun kisah kami penuh bercak-bercak. Salah satu bercak yang saya maksud adalah saat kami hendak mengadakan praktik pembuatan makanan dari gula merah. Kami mengalami kegagalan dalam permbuatan Jubethe yang lantas jadi dodol, juga saat ibu Mus'idah---pendamping tim dan teman-teman tim lainnya kesulitan dalam mencari pangan lokal. Mereka harus berputar-putar mengitari dua pasar. Betapa peluh gemar bersimbah di tubuh mereka. Belum lagi saat ada salah satu tim yang sakit. Berarti kami telah kehilangan beberapa urat dalam tubuh. Masalah-masalah ini bagi saya begitu menantang sekaligus memikat.
Saya hampir saja lupa menceritakan tentang kisah saya yang begitu pilu. Dari sekian banyak kisah saya, ada satu kisah yang membuat saya terpaksa menangis. Kisah ini bermula dari sebuah pertanyaan yang saya lontarkan pada bu Halik saat saya melakukan riset ke bumi Cecce', tepatnya saat belajar membuat gula merah yang prosesnya memakan waktu + 2 jam. Pertanyaan itu adalah: “Apakah hasil dari penjualan gula merah yang ibu lakukan cukup untuk mengusap keringat ibu selama 2 jam?” Kemudian ia menjawab dengan lirih: “Bila tidak pun tak kan ada lagi yang bisa saya lakukan. Kecuali pak Halik menebang pohonnya untuk dijual sebagai bangunan. Namun itu tidak ibu biarkan karena ibu takut alam semakin kehilangan rambutnya dan ibu juga khawatir tak ada lagi orang yang membuat makanan berbahan gula merah. Ini masalah nyawa, Nak!” Saya pun hanya menelan ludah kemudian mengambil kesimpulan tentang niat mulya bu Halik yang mau bertahan hidup dengan gula merah. Lalu saya mempunyai satu pertanyaan lagi untuk semua orang yang ada di muka bumi ini: “Jika bu Halik mau untuk melestarikan pohon siwalannya, mengapa kita tidak bisa menahan nafsu untuk tidak menebang pohon sembarangan?”