31 Maret 2009

RASA YANG BERBEDA

Hari ini kepala saya pening. Seluruh badan saya nyeri. Saluran pernafasan saya tersumbat. Ada gangguan di pita suara sehingga membuat saya serak. Panas rasanya. Mungkin ini gejala dari seringnya saya tidur terlalu larut. Ditambah lagi, tadi malam saya dan teman-teman sanggar Al-Faidah Karang Jati tampil dalam acara perayaan maulid Nabi Muhammad di Karang Jati Assaudah putri. Perlu menguras tenaga untuk berjingkrak-jingkrak di penampilan teater. Meski demikian, saya begitu menikmati dunia saya yang menurut saya sangat mengasikkan.
Tapi, kini saya sakit.
Padahal masih banyak hal yang harus saya lakukan: tugas proyek tim konservasi gula merah untuk lomba School Climate Challange, mengurus kegiatan OSIS, baca, dan menulis. Belum lagi memikirkan masalah pentas seni yang harus saya kordiner di pondok saya. Karang Jati.
Kini saya tak dapat melakukan apa-apa...
Saya benar-benar lemah. Hanya terbaring tak berdaya guna. Saya hanya ingat mati.
Tuhan, kenapa saya baru ingat engkau ketika saya sakit. Ketika saya sehat, saya lupa akan nikmat sehat-Mu yang begitu berharga. Padahal saya bisa melakukan apa saya yang saya mau. Makan rasanya enak, ngemil asyik, 'calmancal' ke sana ke mari. Benar-benar nikmat.
Sekarang, saat saya dalam keaadaan terbaring, semua berubah. Beda. Seluruh makanan rasanya pahit. Saya tak dapat calmancal lagi. Parahnya saya baru sadar secara benar-benar kalau sehat itu anugrah, sehat itu berkah. Mengapa saya tak pernah memikirkan itu? Mengapa saya jarang bersyukur kepada engkau, Tuhan...

Hanya engkau yang dapat menyembuhkan saya. Tak ada obat yang lebih mujarab, kecuali 'kunfayakun-Mu' yang maha ajaib. Hanya Engkau yang dapat membantu saya untuk bangkit dari tempat tidur ini. Tiada yang lain.

Saya berjanji, ketika saya sembuh nanti saya akan menjaga kesehatan yang telah engakau anugrahkan. Saya akan selau ingat bahwa sehat-Mu adalah sesuatu yang tak dapat diukur nilainya denan materi.

Tetapi, karena hamba-hambaa-Mu---termasuk saya memiliki sifat lupa, saya mohon ingatkan selalu saya pada-Mu. Saya akan menjalani hari-hari saya dengan stok semangat yang penuh. Saya akan selalu menyertai langkah dengan senantiasa mengingat bahwa saya hanyalah makhluk tak berdaya yang dapat rapuh kapan saja bila engkau mau. Tanpa kekuatan yang engkau berikan saya musnah.



Guluk-Guluk,31 Maret 2009
di gubuk/kantor PPA. Karang Jati

29 Maret 2009

CERITA SINGKAT TENTANG SEBUAH RASA

Selama ini, seingatku, aku tidak pernah satu kali pun menulis kata-kata tentang cinta. Tak pernah membahas apa itu cinta dan aku memang tak mau untuk membahasnya. Selalu saja terdengar bisikan-bisikan kawan bahwa insan itu memiliki rasa yang indah---cinta namanya. Ya, katanya cinta pada lain jenis. Bila tidak, berarti ia tidak normal. Dan itu masih kata kawanku.
Bila kawan-kawan sekelasku---XI IPA SMA Langgar Asem* bertanya tentang siapakah orang yang aku cintai, aku hanya beku seperti es bahkan seperti batu karang yang sama sekali tak mau mencair. Sejujurnya aku takut bila aku diberi julukan ‘abdi penyimpangan seksual’. Ngeri.
Namun pada suatu hari, tepatnya hari Jumat, dipertengahan jalan simpang tiga desa Langgar Asem, saat aku hendak menyebrangi jalan sepulang dari rumah paman, Tuhan telah menamatkan kisah itu. Tuhan telah mengubah semuanya. Mengubah matahari menjadi gumpalan es dan sinarnya dingin. Tiba-tiba seperti ada rasa masis di ragaku yang dapat kurasa tapi ketika ingin kucicipi tak bisa. Aku hanya bergumam, ada apa denganku?
Sepasang mata elang tajam lengkap dengan sayapnya dari tadi menatapku. Aku diam menyaksikan langit yang tak bertepi. Rumah, pohon, rumput bahkan semuanya telah menghilang. Dunia ini kosong tinggal aku, lelaki si mata elang, dan pecahan-pecahan gunung yang membentuk gumpalan-gumpalan batu lambang cinta.

Tuhan…inikah cinta?
Seperti inikah rasanya orang yang sedang jatuh cinta?

Rasanya jantungku mau berlari kemudian ngumpet di semak-semak. Malu, karena tatapan itu terikat padaku. Aku menjadi tak menentu, menjadi salah tingkah. Aku tak tahu apa yang harus kuperbuat. Cinta benar-benar indah sekaligus menyiksa.
Akhirnya kuputuskan untuk juga mengikat pandang padanya. Walau aku tahu resikonya akan kutanggung sendirian. Entah setelah ini aku menjadi sinting, bisu, buta, atau bahkan gila. Kami bertatap. Tak ada kata atau pun kalimat. Kami berdua seperti dikutuk menjadi bisu oleh Tuhan.
Sesaat suara asam lepas dari tangkainya menjadi musik latar drama cintaku. Pohon asam yang menjulang tinggi dipinggir jalan, tertawa menyaksikan kisah indah cinta pada pandangan pertamaku. Aku dan dia bagaikan terbingkai figura dari bahan pohon asam. Sungguh indah. Percayalah padaku kawan.
Ia memandangiku lagi kemudian berkata,
“Kasian bila asam-asam ini tidak dipungut,” katanya sambil tersenyum-senyum.
Setelah itu, yang terjadi adalah acara pemungutan asam-asam terlantar. Ia memungut satu kemudian kembali menatapku tanpa mempedulikan kendaraan yang melaju. Tanpa mempedulikan yang lain.
Tak sadar seperti ada magnet yang menarikku untuk ikut-ikutan memungut asam-asam tak berdaya itu. Aku pun telah terhipnotis. Lebih parahnya, aku tak mau mengalihkan pandanganku darinya.
“Asam ini manis,” sambungnya saat kami bersama-sama menghisap kemudian mengunyahnya.
Aku ingin sekali mengatakan ia, namun mulutku serasa tersumbat batu. Aku memilih diam saja.
Asam di Langgar Asem memang kesohor manisnya. Apalagi yang memakannya orang yang sedang jatuh cinta, meski asam tak seluruhnya manis pasti rasanya melebihi manisnya tebu. Tak kenal kecut.
Oke kawan! Agar cerita ini tidak berputar-putar masalah asam saja mari kulanjutkan ceritaku.
Terus terang, aku merasa menjadi orang yang paling beruntung hari itu. Dan rasa indah di hari itu kubawa, kurasa, kurindu sampai saat ini. Hari-hariku menjadi tak menentu. Aku menjadi setengah gila. Dan sebelumnya aku mendengar dari kawan sekelasku yang sedang jatuh cinta, bahwa perbedaan cinta dengan gila itu sangat tipis. Sekarang aku bisa merasakannya sendiri di mana rasa cintaku dan di mana letak rasa gilaku.
***
Setiap hari setelah hari itu, aku selalu dirundung tanya mengenai: sipa orang itu? Orang yang telah berani mencuri hatiku. Dari mana ia? Apa ia orang asli Langgar Asem? Atau hanya kebetulan lewat? Bisakah aku bertemu dengannya lagi?
Semua pertanyaan ini tak dapat kujawab. Karena aku tidak bisa menjawab, maka cita-citaku berubah menjadi detektif. Aneh! Cinta juga bisa mengubah cita-cita. Cita-cita kawan! Bukan main.
Setelah kejadian itu pula, aku berani menulis puisi, kata-kata cinta, dan bercerita seputar cinta pada teman sebangkuku. Atul namanya.
“Kalau kuperhatikan, sebenarnya kamu ini lagi jatuh cinta kan?!” atul mulai curiga. Ia menonjok-nonjokkan telunjuknya tepat di depan mukaku. Aku berusaha mengelak. Seperti maling tertangkap basah yang ketinggalan rombongan.
“Qarin…Qarin. Dari matamu saja tidak bisa bohong. Kenapa matamu kau paksa bohong dengan melarikan pandangan.
Aku benar-benar seperti buronan tertangkap basah. Tapi senang rasanya bila Atul tahu kalau aku ini normal dan aku bisa menceritakan tentang sejarah hari itu. Hari yang membuatku menjadi lebih hidup.
“Ayolah kawan! Cetitakan kepadaku tentang hari bahagiamu, agar aku ikut merasakan bahagia seperti yang kau rasa saat ini.” Atul memang pintar memaksa. Ia merengek dengan nada bijaksana. Alhasil aku menceritakan tentang hari berarti itu. Tentang sepasang mata elang itu.
“Kau tahu Atul, aku merasa dewasa. Merasa telah menemukan arti hidup yang kucari selama ini. Aku merasa telah menemukan separuh nafasku. Lebih-lebih aku merasa perjalananku hampir menginjak sempurna. Pecahan mozaik yang kucari selama ini telah banyak kutemukan.”
Kuceritakan semua. Kubahas satu per satu ciri-ciri lelaki itu. Kisah ini itu kubagi dengan Atul. Berharap ia tahu tentang mahluk yang kuceritakan, karena teman sebangkuku itu orang asli langgar asem.
Atul diam sejenak, menarik nafas panjang dan ia mulai merespon kisahku. Mataku berbinar-binar. Merasakan bunga seroja sedang mengelilingiku.
“Qarin, ketahuilah bahwa aku berasal dari kebobrokan. Kawanmu ini sudah pernah merasakan asam-manisnya cinta. Aku merasa semua lelaki itu sama. Ya...walau pun masih ada juga yang setia. Tapi menurutku sebagian besar mereka tak dapat dipercaya. Bila kuserahkan separuh hatiku, mereka permainkan dengan berbagi ke lain hati. Bila aku memberi sesuatu dengan ikhlas, mereka ketagihan. Aku tak mengerti apa mau mereka.”
“Apa maksudmu, Tul?” mataku menyala-nyala. Seperti dikerumuni kunang-kunang.
“Kita tak pernah sadar bahwa kita hanyalah setitik sperma yang berhasil bertarung dengan ribuan sperma lainnya. Dulu di alam rahim, kita berjuang untuk hidup. Sekarang kita adalah pemenangnya. Kitalah juara nyawa yang berhasil bertarung untuk memperjuangkan hidup di dunia.” Kata-kata Atul seperti berkhotbah. Nadanya serius.
“Jelaskan yang sebenarnya padaku,” mataku semakin berkobar-kobar.
“Bersyukurlah karena kitalah yang ditakdirkan menang oleh Tuhan. Jangan sia-siakan hidup kita. Jangan kau berikan hatimu pada lelaki brengsek yang kau maksud si mata elang itu. Jangan!”
“Katakan padaku siapa orang itu sebenarnya!” kuturunkan volume suaraku. Datar. Aku tertunduk.
“Maaf kawan. Aku ingin melihatmu seperti Qarin yang kukenal dulu. Qarin yang selalu riang dan penebar kedamaian. Bukan Qarin si pemurung dan penebar cinta palsu akibat sakit hati.”
Aku semakin tersesat dalam setiap kata, dalam setiap kalimat yang diucapkan Atul.
“Lelaki yang kau maksud si mata elang itu adalah Afiq. Dia sudah pernah menggilir semua gadis-gadis desa Langgar Asem. Termasuk aku.”
Aku merasa dijebloskan ke dalam jeruji. Aku benar-benar maling. Aku tak mau berontak. Inilah takdir Tuahan. Tuhan mengerti keaadaanku. Aku tahu Tuhan itu adil. Dan aku percaya sepenuhnya apa yang dikatakan Atul, tapi entahlah apa aku bisa menepis rasa itu?


The End

* Langgar Asem adalah nama kampung di kecamatan Ganding yang berkabupaten Sumenep, tapi karena namanya bagus dan berkaitan dengan tulisan saya, maka saya jadikan nama desa.

21 Maret 2009

SESOBEK CATATAN TENTANG SAYA, SAMPAH PLASTIK DAN ARTI PERSAHABATAN


Kemarin siang (20/03/2009) adalah hari menyenangkan sekaligus melelahkan. Saya bersama teman-teman PSG mulung sampah di TPA Annuqayah umum dan TPA Al-Amir. Sungguh begitu indah kebersamaan. Mengingatkan saya pada tahun lalu 22 April 2008. hari itu saya dengan teman-teman PSG juga aksi seperti sekarang. Bedanya hanya dulu kami dibagi menjadi 4 kelompok, sedangkan sekarang karena anggotanya hanya berjumlah 32 maka dibagi menjadi 2 kelompok.
Kami datang untuk menyelamatkan alam. bila difikir memang amat kecil sesuatu yang kami lakukan, tapi bila saya harus memberi harga maka tak dapat saya tentukan nominal karena yang besar berasal dari yang kecil. Suatu yang kami lakukan itu dapat membantu alam yang sekarang sedang menjerit kepanasan.
Ketika sampah yang kami kumpulkan sudah banyak dan kelompok Al-Amir telah datang bergabung ke TPA umum, tentunya kami juga sudah lelah, lalu kami berpose besama dengan 4 pembimbing. Tempatnya di tengah-tengah lokasi TPA. Momen ini adalah momen yang dapat membuat saya mengenang kisah PSG apabila kelak ketika saya tua saya dapat memandangi hasil cetakan fotonya. Momen yang memang cocok untuk diabadikan. Pemulung gaul yang berdiri di atas sampah dan mendongak menghadap langit. Begitu gagah dan penuh harap akan kedamaian alam yang benar-benar tentram. Bila diumpamakan seperti hari nyepi. Tak ada polusi. Pohon menghirup CO2 dan manusia menghirup O2. Proses valid yang justru kini terbalik karena ulah manusia.
Dalam perjalanan pulang kami melewati batu-batu licin tanjakan curam di sebelah timur TPA. Ada yang menjerit hampir jatuh, ada yang tertawa, dan ada pula yang melinangkan air mata haru akan kisah alam yang begitu mengenaskan. Seharusnya memang haru karena alam adalah sahabat dalam suka duka kita.
Sejenak kami beristirahat melepas lelah.menghilangkan dahaga dengan meminum es gulah merah campur kacang ijo. Bersama kami kembali tertawa saling pandang.
Setelah penat berhasil kami usir, maka kami kembali aksi mencuci tumpukan sampah-sampah plastik itu ke kali. Dekat dengan sekolah kami. Rasa lelah yang saya rasa telah hilang mengalir bersama arus di kali itu. Suasana menjadi ramai seperti pasar. Kami main percik-percikan air. Menyenangkan. Seperti kembali pada masa ‘Taman Kanak-Kanak’ lagi. Sekaranglah kesempatan saya untuk kembali bermain-main melepas semua permasalahan hidup.
Acara ini benar-benar melahirkan berjuta manfaat.
Sesuatu yang kami lakukan setelah itu adalah memenuhi panggilan jiwa yaitu makan bersama. Dari tadi pagi perut saya terus mendengdangkan lagu bersyair lapar. Ya, karena paginya saya hanya sarapan mi instant.
Kebersamaan pada saat acara makan bersama berlangsung membuat hati saya tersentuh. Lalu bisikan-bisikan halus mengatakan bahwa saya tak rela jika harus berpisah dengan mereka. Mata yang bening dan indah memancarkan arti persahabatan yang tulus. Tawa yang menggemaskan menumbuhkan inspirasi baru. Merekalah sumber inspirasi saya. Bagaimana bila saya harus berpisah dengan mereka.
Ah. Saya tak boleh hanya memikirkan ini saja.
Karena tenaga telah kembali penuh, maka kami bergegas melanjutkan pekerjaan selanjutnya, yaitu proses penjemuran. Sampah plastik yang sudah kami cuci tadi kini akan dijemur dengan dijahit menggunakan benang. Dalam proses ini saya bersama kawan bernyanyi-nyanyi santai sambil membunuh sepi. Hampir tuntaslah pekerjaan kami, namun kisah ini akan saya abadikan dalam setiap goresan pena perjalanan hidup saya. Selamanya.




Oleh: Ummul Karimah
PP. Annuqayah daerah Karang Jati Assaudah Putri



05 Maret 2009

PELANGI UNTUK IBU


Ibu,

aku mencintaimu

seperti gerimis

hendak melukis pelangi


Ibu,

aku merindumu

seperti malam

menanti matahari


Ibu,

untukmu

akan kupetik pelangi