30 Juni 2008

INIKAH PENDIDIKAN KITA?

Seorang ibu guru SMP sedang mengajar di kelas. Dia menerangkan dengan hanya membaca buku pelajaran di meja tugasnya. Suasana di kelas hening dan yang tersisa hanya suara guru itu. Setelah satu jam berlalu pelajaran itu akan segera berakhir. Ia membuka pertanyaan. Ada salah seorang anak bertanya karena memang benar-benar tidak mengerti. Susi namanya. Susi merasa heran sekaligus minder dengan jawaban ibu gurunya. Beginilah jawabannya: “Mengapa masih bertanya? Kan sudah sangat jelas. Kalau begitu belajarlah sendiri di rumah. Sekarang baca doa.” Sejak saat itu Susi menjadi takut untuk bertanya lagi.
Sebuah cerita memilukan datang lagi dari SDN yang terletak di desa terpencil. Ada seorang bapak guru yang sedang mengajar matematika. Karena muridnya tidak cepat mengerti, maka dia mencoba menggunakan kekerasan dengan cara memukuli muridnya satu per satu. Kemudian ada anak yang protes. “Pak, kata ibu saya, kalau mengajar tidak boleh menggunakan kekerasan.” Seketika itu juga muka bapak guru itu merah padam dan tak lama kemudian melontarkan kata-kata. “Kalau begitu berhentilah saja kau dari sekolah ini. Suruh ibumu itu yang menjadi guru. Toh tanpa kalian di sini, aku tetap digaji oleh pemerintah.”
Haruskah seorang guru menjadikan seorang murid takut bersekolah dan menjadikannya takut bertanya?
Guru yang baik menurut saya adalah guru yang bisa mencarikan jalan keluar bila saya tidak mengerti akan apa yang ia sampaikan, lemah lembut, tidak mudah marah (sabar), murah senyum dan baik hati kepada semua orang. Harapan saya sebagai siswa adalah proses pembelajaran yang bisa membuat siswa kreatif, cerdas dan unggul dalam setiap bidang. Bukan guru yang bisa membuat siswa menjadi patah optimis.
Pada kenyataannya banyak guru yang belum paham tentang cara menjadi guru yang profesional, tetapi tetap mengajar. Akhirnya jika seorang guru yang mengajar di kelas kemudian dikritik oleh siswa, maka pasti ia tidak mencari alternatif dari kritikan tersebut, bahkan memusuhi yang memberi kritik. Itukah wajah pendidikan kita sekarang? Sungguh menyeramkan.
Sebuah masalah pasti ada jalan keluarnya jika ada orang yang mau mencari. Salah satu jalan keluar yang baik agar guru lebih maju, unggul dan profesional adalah lembaga harus mengadakan seleksi dan proses yang benar dalam merekrut guru. Bukan model kolusi dan uang suap, seperti yang selama ini telah menjamur di dunia pendidikan kita.
Mungkin solusi ini sangat enteng dan kurang memuaskan. Tetapi apakah negeri ini sudah pernah mencoba merekrut guru dengan cara yang bersih, tanpa uang suap? Jika memang tidak, mengapa tidak dicoba? Tujuannya paling tidak agar guru di Indonesia tidak terkesan dengan sebutan guru asal masuk, tetapi guru yang benar-benar memiliki potensi dan semangat juang patriotisme.
Penulis tidak ingin menyinggung perasaan seorang guru, tetapi ingin menyadarkan bahwa negeri ini hampir tenggelam dalam hal pendidikan. Maka dari itu, seseorang yang belum siap dan belum benar-benar matang untuk menjadi guru yang profesional, janganlah bersombong hati memiliki sebutan guru agar nanti tidak mendapatkan cemoohan dari masyarakat: salah sendiri memilih jalan menjadi guru tetapi tidak siap dengan tanggung jawab yang harus diemban sehari-hari.


Oleh : Ummul Corn

Akukah Malin Kundang itu?

Sedalam hati menggali kasih, sejauh kaki mengejar sayang, sepekat mata memandang asa, tetapi semua tak pernah kuraih. Hanya sia-sia kudapat. Selalu.
Ketika hujan turun parit yang keringpun akan mengalirkan air. Begitu pula denganku ketika sadar bahwa aku sudah dewasa, tetapi tak pernah aku mandiri. Hujan yang biasa turun dari langit kini menjadi berubah turun dari sudut mataku.
Perih rasanya hati ini ketika memandangi Bapak membawa cangkul bersamaan dengan terbitnya matahari, yang biasanya kalau orang kaya duduk santai dengan meminum secangkir kopi hangat. Hati ini bertambah pilu ketika memandangi Ibu membawa rantang yang berisi nasi dan lauk pauk untuk Bapak di sawah. Dan lebih parah ketika aku sadar bahwa mereka melakukan semua ini hanyalah untukku.
Aku hanya bisa tertawa riang dengan menghabiskan uang orang tuaku. Bisa melanjutkan sekolah SMA dengan teman tanpa memiliki rasa prihatin sedikitpun. Kenapa aku baru sadar sekarang? Kenapa tidak dari dulu?
Walau aku sadar, tapi apa yang harus aku lakukan. Aku tak lebih dari seorang Malin Kundang yang terdapat dalam legenda. Kejadian ini mengingatkanku pada suatu cerita. Dan dongeng ini memang benar adanya. Beginilah kisahnya :
Dulu aku pernah berbincang-bincang dengan Bapak selepas pulang dari sawah. Ketika sinar matahari lurus berada di tengah. Aku memberanikan diri membuka percakapan walau dengan rasa tersipu.
“Kalau aku sukses nanti Bapak mau minta apa?” tidak sempat Bapak menjawab, Ibu sudah datang dengan membawa secangkir teh dan mengeluarkan sifat humorisnya.
“Siapa yang mau sukses ndok?” tanya Ibu dengan senyum yang membuatku tambah semangat.
“Ya Luluk, Bu. Kalu Bapakkan sudah terlambat sekolahnya.” Jawabku dengan polos.
“Ayo Pak dijawab pertanyaan putrinya. Saya ke dalam dulu. Maaf mengganggu.” Sambung Ibu yang kemudian ditelan pintu.
“ Kalau Bapak pengen dibelikan sarung baru, karena sarung Bapak sudah kusam semua.”
“O… tenag saja, Pak! Jangankan sarung baru, sarung yang paling mahalpun akan aku belikan.” Jawabku meniru gaya orang sombong.
Kami berdua tertawa terbahak-bahak. Meski kami miskin ternyata bisa juga kami bahagia. Ketika suasana reda dari gelak tawa. Aku pamit ke dapur pada Bapak untuk menanyakan keinginan Ibu jika aku sukses nanti. Bapak hanya menggeleng dan tersenyum. Sesampainya di dapur aku langsung ajukan pertanyaan yang persis dengan yang kuajukan pada Bapak.
“Kalau aku sukses nanti Ibu mau minta apa?” Ibu hanya menebarkan senyumnya. Dan aku tahu senyum itu begitu indah di masa mudanya. Ibuku cantik. Pantas saja Bapak mau sama Ibu.
“Kalau Ibu punya satu keinginan yang harus kamu kabulkan.”
“Apa,Bu?” tanyaku makin penasaran.
“Ibu hanya ingin anak Ibu benar-benar rajin belajar agar nati benar-benar meraih cita-cita yang kamu inginkan.” Begitulah sifat Ibu yang tak pernah menjawab dengan jujur ketika kutanya dengan sebenar-benarnya. Ibu dan Bapak bagaikan 1 kapur lain warna.
Suatu pagi aku melihat Ibu sedang sholat Subuh. Aku sangat terkejut ketika melihat mukenah Ibu yang penuh dengan tambalan kain lain. Aku meletakkan tanganku di dada.
Bagai kendaraan tak perlu sopir. Air mataku berlinang. Kenapa Ibu tidak jujur kepadaku? Jika memang ini adanya aku harus berhasil meraih cita-citaku. Ibu harus kubelikan mukenah baru.
Begitulah kisahku. Kisah anak kampung miskin, hanya bisa menepuk dada menahan rasa sakit yang selalu datang. Mencabik hatiku.
Sekarang adalah nyata. Aku benra-benar dewasa dan harus mnenepati janjiku dulu. Janjiku sejak kelas 5 SD. Yang terus-menerus kuingat.
Aku harus sadar bahwa selama ini aku hidup dengan hasil jerih payah orang tuaku. Mereka berdua dengan susah payah menabung hasil panen untuk keperluan pokok dan biaya sekolahku. Sedang aku hanya bisa bahagia dengan penderitaan kedua orangtuaku sendiri. Hari ini juga tepat jam 09.00 aku membeli koran dari uang saku pemberian kedua orang tuaku setiap hari yang kutabung. Kucoba menjadi pedagang kelping koran. Setelah keliping yang kubuat selesai, aku membuat pengumuman :
“Bagi teman-teman yang mau beli keliping cerpen edisi bulan Desember silakan hubungi “Luluk” kelas X SMA”
Kalimat tahmid itu selau mendampingi gumam hatiku. Keliping yang kubuat laku tanpa sisa. Uang yang kuperoleh Rp. 30.000,-. Lumayan dari mulanya Rp.10.000,- menjadi Rp.30.000,-. Aku akan segera berangkat ke pasar memberi kejutan kepada Bapak dan Ibu.
Sampai di pasar aku mendatangi pedagang baju di pinggir jalan. Lalu terjadilah tawar menawar antara aku dan si pedagang.
“Sarung yang itu berapa harganya?”
“Kalau yang ini mahal. Karena motifnya tidak norak dan kainnya lembut. Harganya Rp. 50.000.”
“Wah mahal sekali. Uangku tidak cukup membelinya, karena uangku hanya Rp. 30.000,-.”
“Kalau begitu ayo cari yang lain dan tawarlah!” rayu si pembeli.
“Kalau yang ini berapa?” tunjukku sambil meraba.
“O, yang ini agak lebih murah sedikit karena cara pakainya licin dan motifnya bergaris lebar. Jadi harganya Rp. 40.000.” jawab si pedagang sambil menggaruk kepala.
“ Wah masih juga belum cukup.” Gerutuku penuh harap akan diberi kortingan.
“ Kalau begitu bisa ditawar.”
“Maaf, Pak! Aku tidak tahu bagaimana cara menawar, jadi harga pasnya berapa?”
“ Wah adek ini benar-benar lugu. Kalau begitu ambillah sarung ini dengan harga Rp. 25.000.”
“Baiklah. Tolong dibungkus Pak.”
Aku segera menyerahkan uang itu dan si pedagang mengembalikan Rp. 5.000.
“Terima kasih neng. Lain kali de sini lagi ya.”
“ Sama-sama, Pak. Insya Allah.”
Aku jadi teringat Ibu. Dengan uang yang kupegang ini tedak myngkin aku bisa membeli mukenah. Biarlah besok saja, kalau aku sudah bisa mengumpulkan uang lagi. Uang Rp. 5.000 ku akan ku tabung dulu sebagai tambahan agar besok dapat membeli mukenah yang mahal dan bagus.
Dengan tersenyum aku pulang. Dalam hatiku selalu bergumam pasti Bapak senang dengan sarung baru ini. Bagus dan harganya tidak terlalu murah. Semoga Bapak benar-benar senang.
Tepat pada jam 15.30 aku sampai di rumah. Aku segera panggil salam dan menghampiri Bapak yang duduk muram di kursi teras depan. Sedang di sini banyak orang. Kufikir sekarang ada acara ajian yang aku sendiri tidak diberi tahu oleh Ibu karena pulang sore. Ah Ibu, aku jadi kangen Ibu.
“Pak, ini sarung yang kujanjikan dulu. Aku ke dapur kulu ya, Pak. Soalnya mau bantu-bantu masak untuk acara ajian ini. Kok aku tidak diberi tahu kalu hari ini ada ajian.”
Aku jadi heran ketika Bapak memegang tanganku dan menangis seolah-olah Bapak tidak bahagia dengan sarung yang kuberikan.
“Kenapa Bapak menangis. Apa sarung yang kuberi kurang bagus. Kalau begitu besok akan kubelikan lagi. Sekarang izinkan aku menghampiri Ibu di dapur.
Bapak melepaskan tanganku. Ketika itu aku segera masuk. Kenapa hatiku menjadi begitu beku ketika melihat banyak orang mengelilingi mayat dengan ditutupi sarung batik. Mataku terbelalak memancarkan kunang-kunang tangis. Aku melihat semua orang yang ada di ruangan ini. Dan ternyata dugaanku benar. Tak ada Ibu di sini. Aku langsung mengeluarkan suara histeris campur tangis dan dengan terpekik.
“Di mana Ibu sekarang? Jawab!”
“…”
“Apa perempuan yang tertutup sarung batik itu Ibu?” suaraku agak diperhalus karena aku sadar semua orang yang ada di sini juga lara. Apalagi Bapak. Aku tidak ingin Bapak semakin duka dengan keadaan ini.
Ternyata benar. Mereka mengangguk kemudian tertunduk. Tanganku dan kakiku menjadi kaku. Bibirku dingin. Sedang parit yang dulu mengalair, kini menjadi semakin banjir.
Sebagai anak yang sudah ckup dewasa, aku merasa malu untuk meratapi nasib Ibu di depan banyak ornag. Bukan aku tak rela melepas Ibu kepangkuan-Nya, tetapi sebuah mukenah saja aku tak dapat membelikan semasa hidupnya. Inilah yang membuatku sakit hati dan merasa akulah generasi Malin Kundang itu.


Oleh : Ummul Corn
Kakek Rasyid
Oleh : Ummul Karimah [ Siswi SMA 3 Annuqayah]

Bukan hanya Lubang Buaya yang punya sejarah. Bagiku, gubuk reyot yang ada di hadapanku ini juga punya sejarah yang tak kalah penting bagi bangsa Indonesia yang katanya makmur, aman, dan senotsa ini. Penghuninya adalah sepasang suami istri. Usia mereka kira-kira 80 tahunan. Sebuah keluarga yang serba kekurangan. Seorang lelaki tua, tampak di depan gubuknya sedang merenungi hari-harinya.
Kuperhatikan gerak-geriknya. Wajahnya yang sudah hampir dimakan usia itu membuatku semakin miris. Kini ia telah memandangiku dengan raut muka yang kecut. Aku tidak bisa memandanginya karena ia juga telah memandangiku. Seandainya ia sampai menghembuskan napas terakhirnya karena kelaparan, maka aku tidak akan bisa memaafkan diriku sendiri.
“Kakek butuh bantuanku?”
Lelaki itu memasang raut mukanya yang semakin diperkecut, lalu meludah dan berkata,
“Aku tidak butuh bantuan siapa-siapa. Aku bisa bertahan hidup walaupun dengan kemiskinan seperti ini.”
“Kakek tak perlu membohongi diri sendiri. Aku yakin kalau kakek sebenarnya sangat lapar.”
“Siapa bilang! Kamu itu tidak tahu apa-apa. Aku sudah biasa dengan hidup yang seperti ini.”
Sejak saat itulah, kali pertama aku merasakan kekecewaan yang seolah-olah mencabik harga diriku. Kemudian aku meneliti lebih lanjut dari wajahnya yang sudah keriput, rambutnya sudah rata memutih, dan dari bibirnya yang pucat pasi sudah terlihat kalau dia sudah beberapa minggu ini tidak makan. Kakek itu tampak gemetar. Entah apa penyebabnya ia bisa bernasib seperti itu. Mungkin itu sudah suratan dari yang maha kuasa.
Sebagai orang yang suka berderma, seharusnya aku membantu keluarga ini. Tapi, kalau dia tidak mau, ya, tidak apa-apa. Mungkin dia lebih senang dengan nasibnya ini. Aku juga sempat heran, karena orang yang seperti ini biasanya sangat senag jika dibantu. Kenapa kakek ini tidak mau ketika mau dibantu? Sekalipun aku telah dikecewakan dengan sikapnya, aku tetap mencoba bersikap ramah terhadapnya.
Aku sangat terkejut waktu kakek itu berkata,
“Hei, kenapa kau masih saja berada di sini anak muda? Pulanglah! Jangan memberikan seluruh keprihatinanmu padaku, karena aku tidak butuh.”
Tak lama sesudah lelaki tua itu berkata ia lalu pingsan. Aku segera mencegah ia terjatuh lalu mengangkatnya ke atas ranjang yang terbuat dari bambu yang letaknya berada di samping gubuk itu. Aku segera mengeluarkan sebotol air putih yang ada dalam tasku. Tak lama kemudian dia sadar.
“Untung saya tidak langsung pergi seperti apa yang diperitahkan kakek tadi. Kalu tidak entahlah apa yang akan terjadi.”
“Aku tak menyangka anak muda, ternyata kamu sangat baik. Kukira kau hanya ingin menghinaku karena aku sangat miskin.”
“Sudahlah kek, itu memang sudah kewajiban kita untuk saling tolong menolong.”
Ucapan terima kasih itu mambuatku semakin ingin cari tahu dan membuktikan kalau kakek ini pasti baik. Aku tidak yakin kalau dia jahat, buktinya dia masih mau bertarima kasih pada orang yang menolongnya.
“Kamu siapa? Sepertinya kau bukan penduduk sini. Kenapa kamu mau menolongku? Sudah cukup lama aku tidak percaya terhadap orang yang mendekatiku dan mau membantuku. Aku trauma terhadap kejadian-kejadian lalu yang pernah aku alami. Penderitaan selalu berpihak kepadaku. Kau mungkin tidak kan percaya kalau dulu aku pernah kehilangan harga diri.”
Aku tertegun mendengar cerita kakek. Aku segera menjawab pertanyaan- pertamanya yang diajukan kepadaku.
“Kenalkan namaku Mujibur Rahman, kakek bisa memanggilku Mujib.”
“Kalau nama kakek Rasyid, kamu bisa memanggilku kakek saja, tak perlu nama biar lebih akrab.
Entah mengapa sepertinya aku sudah kenal lama dengan kakek Rasyid. Mulai dari jabat tangan sampai perbincangan kami yang semakin luas. Aku semakin yakin pula kalau sebenarnya kakek Rasyid benar-benar orang yang baik. Aku mulai mencoba bertanya-tanya lagi.
“Boleh tidak kalau aku masuk ke dalam gubuk kakek? Sekedar ingin tahu saja seperti apa isinya di dalam.”
“Tentu saja boleh.lagi pula hari sudah semakin siang. Jadi kalau nak Mujib berada di luar akan kepanasan. Mari nak masuk!”
Aku segera memasuki gubuk itu dan aku terkejut ketika melihat pintu gubuk itu yang hampir rapuh karena dimakan rayap. Aku mendongak ke atas langit-langit gubuk itu. Kulihat gentingnya sudah banyak yang bocor. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, sedangkan kakek Rasyid hanya memandangiku dengan penuh senyum. Aku mulai lebih terkejut lagi ketika memandangi tulisan di meja tempat duduk santai kakek Rasyid. Tulisan itu adalah, JANGAN MUDAH MENERIMA PEMBERIAN ORANG LAIN. Kudengar kakek berderham ketika aku memegang tulisan itu. Aku tersentak kaget ketika mendengar derhaman kakek Rasyid.
“Kek, boleh aku tanya sesuatu?” Aku lebih memberanikan diri bertanya lagi. Tentunya dengan bekal mental kuat tanpa rasa kecewa ketika mendengar jawaban kakek Rasyid yang selalu mengecewakan.
“Tentu boleh.” Jawabnya.
“Kenapa kakek menulis seperti itu?”
“O, itu dulu ketika kakek masih muda.”
“Bisakah jika kakek menceritakan tentang masa muda yang kakek katakan tadi?” aku melanjutkan pertanyaanku semakin luas.
“Kenapa kau meminta macam-macam padahal kau masih baru kenal denganku. Aku tidak mudah percaya terhadap orang baru.”
Dugaanku tak pernah meleset. Kata-kata kakek Rasyid sangat menerkam hatiku yang terdalam. Perih…rasanya, kecewa, malu, telah menyatu berkecamuk dalam dadaku.
“Baik, tidak apa-apa jika kakek tidak mau menceritakan masalah kakek kepadaku.” Aku mencoba bersikap biasa terhadap kakek. Aku tak ingin mengungkapkan isi hatiku yang sebenarnya.
“Nak, maaf jika kata-kata kakek begitu menyingung perasaanmu tadi. Tapi kakek hanya merasa kurang percaya terhadap orang yang baru ku kenal.” Sepertinya kakek mulai ingin menyejukka hatiku yang tadi sangat panas.
Memang benar kata kakek, aku ini masih baru dikenal. Jadi sangat wajar jika kakek Rasyid tidak percaya terhadapku. Aku bisa mengambil hikmah dari pengalaman yang tak kan pernah ku lupakan ini.sebuah kekecewaan yang terus akan membekas dalam hati.tiba-tiba…kakek menepuk pundakku. Seketika aku terbuyar dari lamunanku.
“Kenapa kau melamun? Apa kamu masih dendam terhadap sikap kakek tadi?”
“Oh…tentu tidak kek, aku mengerti bahwa kakek tidak mungkin menceritakan rahasia kakek terhadap orang baru. Lagi pula kenapa aku harus bersikap dendam terhadap kakek, padahal kakek telah menghargaiku dengan menjawab pertanyaan pertamaku.”
Yang sejujurnya bekas itu akan tetap ada. Apa perbincangan kami dari tadi masih kurang untuk menumbuhkan kepercayaan terhadapku. Mulai dari tadi pagi hingga siang ini aku seperti batu yang tak kan pernah dianggap berharga. Sunguh aku benar-benar merasa tersinggung dengan apa yang telah dikatakan kakek tadi. Walau begitu tak apalah, kisah ini akan kusimpan dalam hatiku. Sendiri.
Suasana tempat hening sejenak, ketika aku dan setan-setan itu berkecamuk dalam dada tadi. Seharusnya aku tidak boleh menuduh orang sembarangan, apalagi terhadap orang yang sudah kuanggap sebagai kakekku sendiri.
Tidak terasa hari sore telah datang bertamu tapi perbincanganku denga kakek seperti hanya sekerjapan mata saja. Seperti ini bisa terjadi dalam hidupku mungkin karena rasa kprihatinanku terhadap keluarga ini sangatlah besar. Seandainya kakek Rasyid mau untuk dibantu, mungkin dari tadi aku sudah menyiapkan sesuatu yang membuatnya bahagia. Oh ya, dari tadi pagi sepertinya ada yang kurang. Ya…kakek memiliki istri, tapi di mana istrinya? Dari tadi pagi istri kakek Rasyid tak pernah muncul. Aku harus bertanya pada kakek. Aku tak peduli jika kakek menjulukiku dengan sebutan ‘Gudang Tanda Tanya.’
“Ngomong-ngomong di mana istri kakek? Kenapa dari tadi pagi tak pernah muncul.”
“Istriku membantu rumah-rumah orang yang mengadakan acara atau apalah yang semacamnya. Jika dia pulang mungkin dia akan mendapat upah atau hanya ucapan terima kasih. Aku malu terhadap istriku, dia yang menghidupiku, sedangkan aku sebagai seorang laki-laki tidak dapat melakukan apa-apa. Aku tidak bisa bekerja. Mau bekerja kemana, kalau pnduduk sini sudah tak ada yang menyukaiku lagi. Istrikupun masih untung ada yang mempercayainya.
Dalam benakku tumbuh berubu-ribu tanda tanya mengenai, kenapa kakek yang sejujur itu tak lagi diparcaya oleh penduduk kampung? Kenapa? Aku sempat tak percaya terhadap cerita kakek Rasyid. Kenapa para peduduk begitu tega terhadap orang yang sangat sekali membutuhkan bantuan mereka. Kalau aku bertanya lagi boleh atau tidak ya…? Aku harus bertanya.
“Maaf kek, aku harus bertanya lagi.”
“Ya, silakan.”
“Kenapa para penduduk begitu tega melihat nasib kakek yang seperti ini?”
“Rasa kepercayaan kakek muncul seketika. Mungki kamu memang perlu mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Juga tentang tulisan di meja kakek pula.”
“Ya kek, memang kepercayaan itulah yang sangat aku butuhkan.” Akhirnya kakek telah tergugah hatinya untuk menceritakan apa yang sebenarnya telah terjadi.
“Begini," kakek memulai ceritanya
“Dulu kakek adalah orang yang sanagat kaya raya. Tak ada seorang pun yang berani menandingi kekayaan yang kumiliki itu. Waktu itu pula kakek adalah orang yang sangat sombong, tamak, angkuh dan kikir. Bertahun-tahun kakek hidup dengan kekayaan yang terus melimpah itu. Namun di balik semuanya kakek tak pernah mendapatkan karunia yang sangat kakek inginkan. Yaitu memiliki seorang putra. Suatu ketika, orang-orang beramai-ramai menyerbu rumahku. Mereka datang dengan membawa obor.
“Oy…keluar kau bajingan!” kakek terkejut. Segera kakek bangun dari tidur. Kau tahu apa yang mereka lakukan? Mereka melempari rumahku dengan batu-batu yang sangat besar.
Setelah itu, mereka membakar rumahku. Aku hanya bisa berteriak “Hentikan…!Hentikan…!Hentikan…!mereka semua tidak menghiraukan omonganku. Untung saja kakek dan istri kakek lewat pintu belakang. Sementara rumah kakek sudah hangus dilahap oleh api. Sejak itulah kakek insaf dan tidak mudah menerima bantuan orang yang tidak jelas asal-usulnya. Itulah cerita masa lalu kakek.
“Sepertinya ada yang mengganjal dalam cerita kakek tadi. Cerita kakek tak ada sangkut pautnya dengan kepudaran kepercayaan para penduduk..”
“Ha…ha…ha..” Kakek ketawa.
“Kenapa kakek ketawa?”
“Mungkin sekaranglah pula kau mengetahui siapa aku yang sebenarnya.”
“Apa cerita kakek tadi bohong?”
“Cerita kakek tidak bohong, hanya saja ada yang kurang.”
“Apa kek? Aku bertanya dengan raut muka yang penuh rasa ingin tahu.
“Baiklah, dengarkan! Bahwa sebenarnya dulu, kakek adalah orang yang gemar sekali ngipri, bersekutu dengan setan untuk mendapatkan uang.”
Aku diam seribu bahasa. Aku menganga lalu aku menelan ludahku. Pahit.


Ummul Corn